Untuk Indonesia

‘Anjayyy’... Lampu Merah Pilkada Menyala, Kenapa Tidak Stop Saja?

Anjayyy, lampu merah Pilkada menyala, kenapa tidak stop saja? Pelajaran dari OTT Bupati Jombang, Bupati Ngada, Bupati Subang, dan Bupati Lampung Tengah.
Ilustrasi, korupsi. (Gambar: Ist)

Jakarta, (Tagar 17/2/2018) – Ironis! Hanya dalam dua minggu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap empat kandidat peserta Pilkada yang juga menjabat kepala daerah. Celakanya, keempatnya diduga menerima uang suap untuk membiayai kampanye dalam Pilkada 2018.

Bermula dari OTT KPK di Jawa Timur terhadap Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko pada 3 Februari 2018. Nyono diduga menerima suap Rp 434 juta dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyowati. Imbalannya, agar Inna mendapat jabatan definitif sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

Padahal uang itu berasal dari kutipan jasa pelayanan kesehatan atau dana kapitasi dari 34 Puskesmas di Jombang yang dikumpulkan sejak Juni 2017.

Di Pilkada Jombang 2018, Nyono berpasangan dengan Subaidi Muhtar, diusung lima parpol, yaitu Partai Golkar, PKS, PKB, PAN, dan Partai Nasdem. Meski sudah tersangka, Nyono tetap mengikuti Pilkada dan mendapat nomor urut 2.

Calon kedua yang terjaring OTT KPK terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Bupati Ngada, Marianus Sae. Marianus maju sebagai calon gubernur NTT, diusung PDI Perjuangan dan PKB berpasangan dengan Emelia Julia Nomleni.

Marianus yang kena OTT pada 11 Februari 2018 diduga menerima suap dari kontraktor di Kabupaten Ngada, Wilhelmus Iwan Ulumbu. Orang ini membuka rekening atas namanya sejak 2011 dan memberikan ATM bank itu kepada Marianus tahun 2015. Total uang yang ditransfer maupun diserahkan secara tunai sekitar Rp 4,1 miliar.

Ada dugaan awal, kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, uang tersebut digunakan tersangka untuk Pilkada 2018.

Kandidat ketiga dari Jawa Barat, yakni Bupati Subang Imas Aryumningsih. Imas diamankan petugas KPK pada 13 Februari 2018 di rumah dinasnya di Subang.

Imas diduga menerima pengurusan perizinan di lingkungan Pemkab Subang yang diajukan dua perusahaan yaitu PT ASP dan PT PBM senilai Rp 1,4 miliar. Pemberian uang dilakukan melalui orang-orang dekat bupati yang bertindak sebagai pengumpul dana. Uang komitmen awal antara pemberi kepada perantara adalah Rp 4,5 miliar sedangkan dugaan selanjutnya antara bupati ke perantara adalah Rp 1,5 miliar.

Imas maju sebagai calon Bupati Subang berpasangan dengan Sutarno dalam Pilkada Subang 2018. Imas merupakan calon petahana yang diusung Partai Golkar dan PKB.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, sebagian uang yang diterima diduga untuk kampanye Bupati Subang. Imas juga menerima fasilitas pemasangan baliho dan sewa kendaraan untuk kebutuhan kampanyenya. Hal ini tampak dari kendaraan mewah yang disita KPK dari Imas bergambar dirinya sebagai kendaraan kampanye.

Calon kepala daerah terakhir yang diamankan KPK adalah Bupati Lampung Tengah Mustofa yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Lampung 2018 bersama Ahmad Jajuli yang diusung oleh koalisi tiga partai yakni Nasdem, PKS, dan Hanura.

Mustofa ditahan pada 15 Februari 2018 malam. Ia diduga mengarahkan agar terkumpul dana sebesar Rp 1 miliar yang digunakan untuk mendapat persetujuan DPRD atas pinjaman daerah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 300 miliar.

Pinjaman daerah kepada PT SMI sebesar Rp 300 miliar direncanakan akan digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur yang akan dikerjakan Dinas PUPR Kabupaten Lampung Tengah.

Uang Rp 1 miliar itu terdiri atas Rp 900 juta dari kontraktor dan sisanya Rp 100 juta berasal dari dana taktis.

Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, Nyono, Marianus, Mustofa, dan Imas dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU untuk mengikuti Pilkada 2018.

Pilkada Uang

Pertemuan antara kandidat kepala daerah dengan konstituennya memang mengakibatkan biaya tidak sedikit. Biaya yang dikeluarkan kandidat terbilang tinggi, mulai dari biaya di tingkat partai pendukung, biaya kampanye hingga biaya saksi.

Biaya untuk partai pendukung mungkin dapat dihilangkan bila calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah adalah kader partai tersebut. Tapi biaya kampanye (yang sejak 2015 sebagian dibiayai KPU setempat) sungguh besar.

Mulai dari produksi iklan, konsultan, penyebaran bahan kampanye, pertemuan tatap muka yang biasanya ada penggantian ongkos maupun makan bersama. Apalagi bila diisi artis ditambah "oleh-oleh" perbaikan infrastruktur di daerah masing-masing.

Biaya untuk saksi pun bisa bikin geleng-geleng kepala. Saat pemilihan suara, bayaran seorang saksi biasanya Rp 200 ribu, tiap tempat pemungutan suara (TPS) ada ditempatkan dua saksi. Bila Pilkada Gubernur Jatim ada 70 ribu TPS, artinya butuh Rp 28 miliar di luar biaya konsumsi dan pelatihan sebelum hari pemilihan.

Berdasarkan survei KPK pada Pilkada 2016 dan 2017, biaya Pilkada memang mahal yaitu Rp 20 miliar-Rp 30 miliar untuk bupati dan walikota serta Rp 20 miliar-Rp 100 miliar untuk gubernur.

Padahal harta para calon kepala daerah dan wakilnya rendah yaitu rata-rata Rp 6,7 miliar (613 calon bupati-walikota) dan Rp 714 miliar (tujuh orang calon gubernur). Bahkan ada harta minus dari dua calon dan hartanya nol untuk empat calon.

Artinya dari mana biaya kampanye itu?

Ada benturan kepentingan calon kepada daerah pada pendanaan Pilkada. Faktanya terdapat 77 kasus korupsi kepala daerah pada 59 kepala daerah yang ditangani KPK hingga 2017. Tentu jumlah itu belum termasuk empat OTT dalam dua pekan terakhir.

"KPK harus bersuara mengenai sistem Pilkada langsung, karena benar-benar merusak. Kita tahu masalahnya begini, tapi tidak ada yang mau memulai untuk keluar dari lingkaran ini!" kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Jakarta.

KPK, menurut Pahala, punya program anti korupsi ke berbagai parpol pada 2017 lalu. Dalam perbincangannya ke berbagai partai besar seperti Golkar, PDIP, dan PKS, partai-partai itu juga mengaku mengeluh dengan sistem Pilkada langsung.

Penyebabnya adalah kader-kader partai yang bagus dan sudah di tingkat atas tidak bisa maju di Pilkada. Pasalnya karena tidak punya uang untuk membiayai kampanye, akhirnya mendatangkan para bintang tamu yang punya modal lebih sehingga kaderisasi di partai pun mandek.

"Tapi persoalannya meski dapat membiayai kampanye sendiri, partai juga berjarak sama dia karena bukan kader murni, alhasil dua tahun kemudian pindah partai dengan santainya jadi transaksinya ya selesai," ungkap Pahala.

Kalaupun partai membantah menarik mahar untuk para kandidat Pilkada, partai bahkan memungut biaya formulir pendaftaran hingga salah satu daerah yang menyelenggarakan Pilkada provinsi, belum lagi ongkos untuk memperkenalkan sang calon kepada para anggota parpol.

"Biaya sampai rekomendasi keluar itu namanya mahar, bayar semua, ini paling murah bisa Rp 5 miliar di kabupaten, apalagi di tingkat provinsi yang penduduknya banyak seperti Jabar, Jateng, dan Jatim?" ungkap Pahala.

KPK juga bertemu asosiasi kepala daerah seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang mengeluhkan sistem Pilkada langsung. Persoalannya karena ekses dari biaya tinggi Pilkada adalah korupsi yang juga menganggu kerja aparatur sipil negara (ASN) di daerah.

Contohnya, bila ada kepala daerah petahana yang ingin kembali mencalonkan diri di Pilkada, biasanya pada tahun ke-4 atau ke-5 pemerintahannya, ia akan mulai menabung biaya Pilkada, mencari kepala-kepala dinas yang mampu menyetorkan uang kepadanya.

Dinas-dinas yang biasanya menjadi sasaran adalah dinas pendidkan, dinas kesehatan, dinas pekerjaan umum, dinas perhubungan, dan dinas ESDM. Para kadis ini biasanya menjadi timses sang kepala daerah.

"Dua kali survei Pilkada, KPK pada 2016 dan 2017 menunjukkan kampanye dibiayai sponsor. Sponsor berasal dari para pengusaha yang mengurus pengadaan barang jasa, perizinan dan kelanggengan usaha serta ASN di pemerintahan baik BUMD maupun dinas, itu-itu saja dan sekarang berulang," ungkap Pahala.

Pola tender di daerah juga bisa berubah jelang Pilkada. Bila biasanya tender dimulai pada Juni-Juli, maka pada Januari-Februari tender sudah mulai digulirkan agar para petahana dapat memperoleh uang muka 20 persen dulu di depan dari para calon kontraktor.

Kontraktor memang jadi pihak yang keluar banyak uang jelang Pilkada. Pasalnya karena dari merekalah uang untuk mengurus APBD ke pusat yaitu ke kementerian dan DPR. Bila proyek sudah jadi mata anggaran definitif maka untuk memenangkan tender, pihak di daerah kadang juga masih meminta komisi, dan hingga akhirnya proyek dibayar penuh masih ada permintaan "fee" yang besarannya bisa sampai 30 persen dari total nilai proyek.

Tentu pengusaha tidak mau rugi begitu saja. Mereka lalu menggelembungkan harga (mark up) untuk membiayai pengeluaran tersebut. Risiko bagi masyarakat adalah bila mata anggaran yang ada di APBD tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat maka uang itu berhamburan untuk suatu sistem yang dikeluhkan berbagai pihak.

Jalan Keluar

Sayangnya, KPK belum berani mengusulkan bentuk Pilkada seperti apa yang tetap demokratis tapi tidak menghamburkan banyak uang.

"LIPI pernah membuat usulan berdasarkan maturitas daerah, misalnya kalau daerah terpencil dan miskin bisa lewat sistem perwakilan dan bukan langsung. Sedangkan daerah seperti Jakarta atau Bandung boleh. Kalau ekstrimnya ya kembali ke DPRD sehingga kita mengawasi yang main gila lebih gampang, tapi apa usulan seperti itu disetujui?" tambah Pahala.

Apalagi banyak juga yang menangguk untung dari sistem Pilkada langsung, mulai dari orang di partai politik yang menerima mahar hingga berbagai pihak yang diuntungkan dari sistem ini.

"Kalau ada argumentasi yang mengatakan sistem Pilkada langsung itu bagus ya boleh saja, tapi yang rusak jadi lebih banyak. ASN jadi ikutan politik, apa saja dibawa-bawa jadi barang politik. Kalau dari 100 pemimpin daerah yang dihasilkan dari Pilkada langsung ternyata yang bagus cuma dua orang apa itu disebut sistemnya bagus?" tegas Pahala.

Akhirnya, apakah Pilkada langsung lebih membawa banyak manfaat atau mudarat bagi masyarakat? Bila lampu merah bagi Pilkada langsung sudah menyala, kenapa tidak berhenti saja? (Desca Lidya Natalia/ant/yps)

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.