Surabaya - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur mencatat peningkatan drastis Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selama pandemi Covid-19 atau virus corona. Kasus KDRT sering terjadi adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kepala DP3AK Jawa Timur Andriyanto mengatakan di tengah pandemi Covid-19, ketahanan keluarga di Jatim memang sedang diuji. Apalagi saat ini masyarakat harus mampu memasuki new normal life atau tatanan hidup normal baru.
Jadi situasi pandemi Covid-19 itu anjuran stay at home atau di rumah saja justru menimbulkan persoalan-persoalan.
"Tetapi new normal life tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan begitu saja," ujar Andriyanto, dikonfirmasi Tagar melalui telepon seluler, Kamis, 21 Mei 2020.
Pria akrab dipanggil Andri itu menyebut di tengah pandemi Covid-19, KDRT di Jatim mengalami kejadian luar biasa. Di mana sampai akhir Maret 2020 tercatat ada 254 kasus kekerasan perempuan dan anak. Namun, jumlah saat ini naik drastis menjadi 401 kasus KDRT dan paling banyak mengarah pada kekerasan seksual.
"Jadi situasi pandemi Covid-19 itu anjuran stay at home atau di rumah saja justru menimbulkan persoalan-persoalan," tuturnya.
Andri merinci dari 401 kasus KDRT di Jatim, ada 80 kasus di Surabaya, di mana 51 kasus mengarah ke kekerasan seksual, 19 kasus kekerasan fisik, dan sisanya kekerasan lainnya.
Di bawah Surabaya, Kabupaten Sidoarjo mencatat ada 62 kasus KDRT, di mana 24 kasus kekerasan fisik, 3 kekerasan psikis, dan kekerasan seksual 12 kasus. Sementara Gresik ada 16 kasus, diantaranya 12 kasus kekerasan psikis, dan sisanya kekerasan lainnya.
Andri mengaku berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) persentase orang tua mendampingi anak di rumah hanya 32 persen. Tentunya hal ini menjadi persoalan luar biasa, jika anak kurang mendapat perhatian dari orang tua.
Menurut Andri, yang lebih memprihatinkan adalah banyaknya angka karyawan yang di PHK. Di mana sampai akhir April 2020 ada 2,08 juta karyawan kena PHK. Jika perempuan memiliki suami terkena PHK, tingkat kekerasan bisa terjadi hingga enam kali lipat. Baik kekerasan fisik maupun seksual.
"Ini menjadi sinyal merah berbahaya sehingga pada gilirannya. Kalau kekerasan dibiarkan anak menjadi tidak terlindungi, menjadi anak tidak berkualitas, kriminalitas juga akan meningkat," tuturnya.
Kekerasan terjadi bukan disebabkan faktor orang merasa jenuh hanya tinggal di rumah. Tetapi disebabkan adanya perubahan era sebelum pandemi, masuk pandemi, kemudian masuk new normal life. Mengingat tatanan baru membutuhkan proses waktu yang panjang, sehingga semua komponen harus masuk di dalamnya.
"Kita jangan menyalahkan rumah tangga, menyalahkan anak dan sebagainya. Tetapi negara dan pemerintah harus hadir," tuturnya.
Kehadiran Pemerintah tidak bisa optimal tanpa kerjasama dengan masyarakat, media, dan swasta. Semua harus bersatu padu mencegah kekerasan.
Andri meminta agar dalam menata anggaran tidak melupakan hak anak dan perempuan, karena aset bangsa. Di mana dari 40 juta penduduk di Jatim, sebanyak 30 persen anak berusia 0-18 tahun. []