Jakarta-Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menanggapi perbedaan antara tuntutan dalam kasus penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dengan penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Kedua tuntutan berbeda mencolok meskipun, kata Fickar, tindakan teror dalam kasus Wiranto juga dapat dibuktikan dalam kasus Novel.
"Ada pembuktian terdakwa penusuk Wiranto adalah teroris dan perbuatan itu dianggap tindakan terorisme. Sehingga sangat mungkin (penyerang Novel Baswedan) didakwa tidak hanya dengan pasal percobaan pembunuhan tetapi juga pasal terorisme sebagai peberatannya," ujar Fickar kepada Tagar, Jakarta, Rabu, 17 Juni 2020.
Tapi dua terdakwa penyerang Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut 1 (satu) tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis, 11 Juni 2020. Keduanya dituntut berdasarkan Pasal 353 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sangat mungkin (penyerang Novel Baswedan) didakwa tidak hanya dengan pasal percobaan pembunuhan tetapi juga pasal terorisme sebagai peberatannya.
Sementara penyerang Wiranto, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dituntut pidana penjara 16 tahun. Penusuk Wiranto didakwa merencanakan pemufakatan jahat, persiapan, percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindakan terorisme pada 10 Oktober 2019.
"Tuntutan terhadap terdakwa kasus Novel Baswedan itu ironis," katanya.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti ini berpendapat, perbuatan penyerang Novel sebenarnya juga merupakan teror terhadap penegakan hukum. Tindakan Ronny Bugis dan Rahmat Kadir bukan sekedar penganiyaan biasa seperti yang didakwakan.
"Ini sikap diskriminatif hukum di tangan aparat yang kadang berkelindan dengan kekuasaan," ucapnya.
Dalam kasus Novel, tim jaksa penuntut umum (JPU) yang terdiri dari Ahmad Patoni, Satria Irawan dan Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin menyatakan Ronny dan Rahmat tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata korban. Kedua terdakwa hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel lantaran penyidik KPK itu dianggap mengkhianati institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
"Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan, tetapi di luar dugaan, ternyata mengenai matanya. Akibatnya, mata kanannya tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi lima puluh persen saja atau cacat permanen," kata Jaksa. Dalam kasus ini, menurut JPU, unsur dakwaan primer tidak terpenuhi.[]
Baca juga:
- IPW Bela Jaksa Penuntut Penganiaya Novel Baswedan
- Novel Baswedan, Istana: Ajukan Banding Jika Tak Puas
- Bahas Novel Baswedan, Bintang Emon Banjir Pujian