Ade Armando Soroti Gugatan RCTI terkait UU Penyiaran

Pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menyoroti gugatan RCTI dan iNews TV terkait Undang-Undang Penyiaran murni persaingan bisnis
Pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menyoroti gugatan RCTI dan iNews TV terkait Undang-Undang Penyiaran murni persaingan bisnis. (Foto: Antara/Fianda Rassat)

Jakarta - Pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menyoroti gugatan RCTI dan iNews TV terkait Undang-Undang (UU) Penyiaran. Menurut dia, gugatan tersebut dilayakan murni karena persaingan bisnis.

"Yang dia (RCTI-iNews TV) persoalkan, bahwa definisi penyiaran dalam UU Penyiaran 2002 itu menjadikan jasa layanan over-the-top seperti Netflix itu tidak masuk dalam definisi lembaga penyiaran yang harus diatur oleh UU Penyiaran," ujar Ade Armando saat berdiskusi di kanal YouTube Tagar TV, dikutip Senin, 31 Agustus 2020.

Ade menuturkan, ketika UU Penyiaran dibuat pada tahun 2002 memang belum ada jasa layanan over-the-top. Oleh sebab itu, definisi penyiaran hanya terbatas pada tipe-tipe yang konvensional.

Baca juga: Denny Siregar: RCTI Panik Hadapi Pergeseran Media Sosial

"Kemudian sekarang lahir yang namanya over-the-top, yaitu streaming video yang dipancarluaskan melalui internet. Nah ini tidak diatur selama ini. Sebetulnya yang dia kejar ini, grup RCTI dan iNews, agar UU mencakup juga jasa-jasa penyiaran seperti Netflix ini," ucapnya.

Selanjutnya, Ade menilai RCTI dan iNews meminta agar dilakukan perluasan dalam UU Penyiaran. Sehingga, yang diatur di dalam UU tersebut bukan hanya yang menggunakan frekuensi kabel dan melalui satelit, tetapi juga siaran-siaran yang dipancarluaskan melalui internet.

"Yang sebetulnya mereka kejar itu, agar lembaga steaming video seperti Netflix juga bisa diatur. Harus hadir di Indonesia sebagai sebuah perusahaan yang diwajibkan memiliki izin penyelenggaraan penyiaran," katanya.

Baca juga: Ini Isi Gugatan RCTI-iNews Terkait UU Penyiaran

"Nah untuk itu, definisi penyiaran di dalam UU Penyiaran dia minta ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperluas," ucapnya menambahkan.

Untuk diketahui, RCTI dan iNews menggugat UU Penyiaran ke MK agar setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Mereka khawatir muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila di saluran internet.

Permohonan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi:

Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar-penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu. []

Berita terkait
PKS: Jangan Hukum Siaran Internet dengan UU Penyiaran
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Sukamta mendukung langkah pemerintah melalui Kominfo menolak permohonan RCTI dan iNews.
KPI Sebut UU Penyiaran Saat Ini Sudah Kuno, Kenapa?
Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menilai UU Penyiaran saat ini sudah kuno.
UU Penyiaran Digugat ke MK, PKS: Percepat Revisi
Anggota DPR Sukamta menjelaskan Komisi I periode 2014-2019 sudah mempercepat dan menyelesaikan pembahasan draft Revisi UU Penyiaran selama 2 tahun.