10 Juta Petani Tebu Menangis Akibat Gula Rafinasi

Asosiasi Petani Tebu RI menyatakan 10 Juta petani tebu menangis akibat peredaran gula rafinasi. Dimanakah itu?
Dua anggota tim Investigasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Yogyakarta - Tim Investigasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menemukan fakta gula rafinasi beredar di pasaran di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Peredaran tersebut sangat merugikan 10 juta petani tebu Indonesia. 

Peredaran gula rafinasi tersebut ditemukan di Pasar Magelang (Jawa Tengah) dan Pasar Cebongan (Sleman, DIY). Fakta ini melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1/ 2019.

"Dalam aturan itu disebutkan, gula rafinasi hasil impor hanya untuk mencukupi industri makanan dan minuman. Tidak dijual bebas untuk masyarakat umum," kata Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPP APTRI Sunardy Edy Sukamto di Yogyakarta, Sabtu petang, 27 Juli 2019.

Edy mengatakan keberadaan gula rafinasi mengancam eksistensi petani tebu di Indonesia. "Petani tebu di Indonesia ada 10 juta orang. Mereka terancam bangkrut dengan peredaran gula rafinasi di pasaran umum," kata dia.

Pihaknya mendesak pemerintah turun tangan, menindak pihak yang mendistribusikan gula rafinasi untuk masyarakat umum. "Karena merupakan pelanggaran, mereka harus ditindak tegas," kata Edy.

Petani tebu di Indonesia ada 10 juta orang. Mereka terancam bangkrut dengan peredaran gula rafinasi di pasaran umum.

Menurut dia, gula rafinasi yang dijual bebas di pasaran dalam tiga kemasan; yakni 5 kilogram (Kg), 1 Kg dan 500 gram. Padahal dalam kemasan gula tersebut juga sudah tertulis 'Gula Kristal Rafinasi dan Gula untuk Konsumsi Industri'.

"Sudah jelas tertulis seperti itu, kenapa dijual bebas? Kami sudah melaporkan ke Polres Magelang," kata Edy.

Dia mengatakan, gula rafinasi yang dijual di pasaran Rp 10.000 per Kg. Lebih mahal gula dari petani tebu yang harganya Rp 11.000 per Kg. "Otomatis konsumen memilih yang murah. Gula hasil petani tebu tidak laku. Ini kerugian bagi petani tebu," ungkap dia.

Edy menilai Permendag Nomor 1/2019 hanya seperti macan kertas. Aturannya jelas, tapi tidak dilakukan secara tegas. "Kalau pemerintah diam saja, kami (DPP APTRI) yang akan melakukan tindakan sendiri sampai ke pengadilan," ujarnya.

Ady menyatakan peredaran gula rafinasi di pasaran umum merugikan petani tebu. Logikanya, secara umum kebutuhan gula di Indonesia 2,5 - 2,7 juta ton per tahun. Produksi gula nasional hanya 2,1 juta ton per tahun. Artinya masih kurang 400 ton untuk mencukupinya.

"Logikanya kalau kurang mencukupi, gula tebu dari petani laku. Tapi faktanya tidak laku. Ternyata di pasaran beredar gula rafinasi," ujar dia.

Distribusi Nakal

Pengurus DPP APTRI lainnya, Agus Santoso mengatakan peredaran gula rafinasi sebenarnya sudah lama. Selalu berulang terus. Saat razia, mereka menyembunyikannya. "Distribusinya nakal," kata dia.

Dia menilai ada oknum yang bermain dalam peredaran gula rafinasi ini. Siapa yang membocorkan saat sidak sampai pertugas tidak menemukan gula rafinasi. Artinya sebelum sidak sudah ada yang membocorkan, sehingga komoditas impor itu disembunyikan.

"Kami minta komitmen bersama. Ini menyangkut nasib 10 juta petani tebu di Indonesia," kata dia. []

Baca juga:

Berita terkait