Vaksinasi Virus Corona di Jepang Partisipasi Warga Rendah

Sejarah kontroversial imunisasi di Jepang mengindikasikan rendahnya partisipasi warga dalam program vaksinasi virus corona
Situasi di Tokyo di tengah pandemi corona, Mei 2020 (Foto: dw.com/id)

Tokyo - Sejarah kontroversial imunisasi di Jepang mengindikasikan rendahnya partisipasi warga dalam program vaksinasi virus corona (Covid-19). Hal ini dinilai fatal ketika Jepang sedang menghadapi gelombang ketiga pandemi virus corona yang lebih mematikan.

Ketika tahun lalu dunia dikejutkan oleh lonjakan skeptisisme terhadap vaksin corona, di Jepang fenomena itu sudah berakar lama.

Saat ini pun, pemerintah di Tokyo mengumumkan baru akan memulai program vaksinasi paling cepat akhir Februari 2021, ketika negara industri lain sudah jauh lebih dini mengawali.

Sebagai perbandingan, WHO menjadwalkan tenggat waktu serupa untuk negara-negara miskin yang mengikuti skema vaksin Covax.

Pada Desember 2020, jajak pendapat oleh Ipsos dan Forum Ekonomi Dunia mencatat cuma 60 persen warga Jepang yang ingin divaksin. Jumlah itu tergolong rendah dibandingkan tingkat kesediaan sebesar 80% di Cina, 77% di Inggris, 75% di Korea Selatan atau 69% di Amerika Serikat. Hanya Prancis yang mencatat tingkat kesediaan sebesar 40% berada di posisi yang lebih rendah.

Survei oleh stasiun televisi NHK pun hanya mencatat separuh responden yang bersedia menjalani program vaksinasi, sementara 36% lainnya menolak.

1. Sejarah Vaksin yang Babak Belur

Skeptisisme di Jepang punya sejarah panjang, dan mengeras dalam lingkaran setan antara gugatan hukum perihal efek samping, kesalahan informasi media, dan reaksi berlebihan pemerintah.

"Alasan kenapa warga Jepang ragu, saya kira, adalah karena minimnya kepercayaan terhadap informasi yang disediakan pemerintah,” kata Harumi Gomi, Guru Besar Epidemiologi di International University of Health and Welfare, kepada AFP.

Pada dekade 1970-an, warga ramai-ramai melayangkan gugatan terhadap pemerintah seputar efek samping vaksin cacar dan sejumlah vaksin lain.

Dua kasus kematian setelah pemberian vaksin gabungan untuk difteri, pertusis, dan tetanus memaksa pemerintah menghentikan program imunisasi untuk sementara. Ketika program itu kembali dilanjutkan usai perbaikan, kepercayaan warga tidak memulih.

negaraNegara yang sudah memulai program vaksinasi terhadap virus corona di dunia (Foto: dw.com/id)

Lalu pada akhir 1980 dan 1990-an, amarah warga kembali tersulut ketika vaksin kombinasi yang disediakan pemerintah untuk penyakit campak, parotitis, dan rubela memicu kasus meningitis di antara anak-anak.

Pukulan paling telak dialami pemerintah melalaui putusan pengadilan di Tokyo pada 1992. Saat itu pemerintah divonis bertanggung jawab atas kemunculan efek samping akibat vaksinasi massal, meski tanpa adanya bukti ilmiah.

2. Trauma dan Kepercayaan

"Setelah gugatan itu, saya kira pemerintah berpikir mereka akan digugat kalau secara aktif menjalankan program imunisasi, lalu misalnya timbul masalah,” kata Tetsuo Nakayaman, seorang profesor di Institut Kitasato untuk Sains Kehidupan yang fokus pada virologi.

"Warga berpikir sesuatu yang negatif akan terjadi kalau mereka mendapat vaksin,” imbuhnya. "Akibatnya, program imunisasi di Jepang tidak pernah berkembang selama 15 hingga 20 tahun terakhir.”

Contoh paling segar terjadi 2008 silam, saat vaksin Haemophilus atau Hib diperkenalkan ke publik. Namun baru digulirkan, pemberitaan deras media terhadap dugaan efek samping menyurutkan minat warga.

Penelitian lanjutan membuktikan dugaan tersebut tidak memiliki dasar ilmiah. Tapi minat publik sudah lebih dulu menukik tajam, dari 70 persen di awal, menjadi kurang dari 1 persen. "Situasinya sangat mengecewakan buat ilmuwan,” kata pakar epidemiologi, Harumi Gomi.

corona jepangPuluhan orang mengenakan masker untuk mencegah penyebaran virus corona melintasi persimpangan sibuk di distrik perbelanjaan Shibuya Tokyo, Sabtu, 26 Desember 2020. (Foto: voaindonesia.com/Kyodo News via AP)

Untuk saat ini Jepang dinilai masih tertinggal selama berpekan-pekan, atau bahkan beberapa bulan, dalam program imunisasi massal. Padahal pemerintah di Tokyo sebelumnya sudah memesan ratusan juta dosis vaksin dari Moderna, AstraZeneca dan Pfizer untuk memenuhi kebutuhan 127 juta penduduknya.

Menurut Gomi, pemerintah harus lebih dulu meyakinkan penduduk sebelum bisa menjalankan program vaksinasi. "Mereka harus menjelaskan risiko terinfeksi virus, keuntungan vaksin dan efek sampingnya,” kata dia.

"Tidak ada vaksin yang 100% aman. Program imunisasi tidak akan bisa berjalan jika hal itu yang dituntut warga.” [rzn/ae (afp, rtr)]/dw.com/id. []

Berita terkait
Jepang Didesak Deklarasi Status Darurat Pandemi Virus Corona
Tokyo dan tiga prefektur di dekatnya minta pemerintah pusat untuk mendeklarasikan status darurat untuk cegah pandemi virus corona
Cegah Virus Corona Baru Jepang Larang Masuk Warga Asing
Untuk mencegah varian varu virus corona (Covid-19) warga ssing dilarang masuk ke Jepang pada tanggal 28-31 Desember 2020
PM Jepang Yoshihide Suga Langgar Aturan Virus Corona
Langgar aturan virus corona yang dibuat pemerintahannya sendiri, PM Jepang, Yoshihide Suga, menyatakan sangat menyesal
0
Lirik Lagu Until I Found You Stephen Sanchez yang Viral di TikTok
Stephen Sanchez melalui kanal YouTube-nya pada pada 1 September 2021, merilis lagu terbarunya yang berjudul Until I Found You.