Uni Eropa Imbau Pelabelan Konten AI di Media Sosial untuk Menangkal Disinformasi

Panduan itu bersifat tidak mengikat, meski diniatkan untuk menangkal hoaks dan disinformasi
Simbol kecerdasan buatan (AI) (Foto: dw.com/id - Andrea Verdelli/Getty Images)

TAGAR.id – Uni Eropa (UE) menuntut pengelola media sosial dan platform online untuk mendeteksi dan melabeli konten hasil olahan kecerdasan buatan (AI - Artificial Intelligence).

Panduan itu bersifat tidak mengikat, meski diniatkan untuk menangkal hoaks dan disinformasi.

Tuntutan untuk memberikan "label yang jelas" kepada semua konten karya kecerdasan buatan (AI) dilayangkan Komisi Eropa pada Selasa, 6 Juni 2023. Vera Jourova, Komisioner Eropa untuk Transparansi, mengklaim pihaknya telah meminta 44 perusahaan dan organisasi, yang sudah menandatangani panduan umum UE untuk memerangi disinformasi, untuk menaati klausul baru seputar labelisasi konten AI.

"Penandatangan yang menggabungkan kecerdasan buatan generatif ke dalam layanannya, seperti Bing Chat oleh Microsoft dan Bard oleh Google, harus membangun sistem pengamanan agar layanan ini tidak disalahgunakan oleh aktor jahat untuk menciptakan disinformasi," kata Jurova.

Dia menambahkan, perusahaan "dengan layanan yang berpotensi digunakan untuk menyebar disinformasi dengan konten buatan AI harus mengembangkan teknologi yang mampu mendeteksi dan melabeli konten-konten ini bagi pengguna."

Microsoft, Google, TikTok dan Facebook termasuk penandatangan panduan UE. Adapun Twitter mengundurkan diri dari perjanjian itu setelah dibeli oleh biliuner AS, Elon Musk. Menurut komisioner transparansi UE, keputusan itu menandakan bahwa Twitter "sudah memilih jalan konfrontasi."

"Jangan salah, dengan tidak lagi mematuhi panduan melawan disinformasi, Twitter sudah menyita banyak perhatian. Kebijakan dan kepatuhannya dengan regulasi Uni Eropa akan diperiksa secara terperinci dan sesegera mungkin," kata Jourova, Senin, 5 Juni 2023.

Panduan UE bersifat sukarela dan tidak mengikat. Brussels juga tidak menyiapkan sanksi bagi pelanggaran. Meski begitu, sebagian besar aspek dalam panduan melawan disinformasi ikut diadopsi oleh UU Layanan Digital Uni Eropa yang akan berlaku mulai 25 Agustus mendatang.

teknologi aiPara ilmuwan kini tengah berlomba dalam mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk otak manusia (Foto: dw.com/id - Kheng Ho Toh/Zoonar/picture alliance)

Kebebasan berpendapat bagi AI?

Ragam layanan AI bermunculan sejak tahun lalu, terutama sejak ChatGPT ramai digunakan untuk mengarang tulisan ilmiah atau menjawab ujian sekolah. Sejumlah platform misalnya menawarkan layanan pengolahan gambar oleh kecerdasan buatan. Hasilnya adalah foto-foto realistis namun palsu, seperti Paus Fransiskus yang mengenakan jaket desainer atau bekas Presiden AS Donald Trump yang seakan sedang ditangkap aparat kepolisian.

Tidak hanya itu, layanan AI yang ditawarkan di internet sudah mampu menciptakan video palsu atau rekaman musik.

Analis meyakini, teknologi AI akan semakin mendominasi layanan dan jasa, mulai dari pengaduan konsumen, pelatihan bahasa, hingga mereproduksi aktor-aktor terkenal untuk film layar lebar atau iklan komersial.

Jourova ingin agar perusahaan yang sudah mematuhi panduan UE agar "segera" membubuhkan label AI pada konten terkait, agar "pengguna umum bisa melihat bahwa sebuah teks atau karya visual tidak dibuat, dikembangkan dan diciptakan oleh mnanusia, melainkan robot."

Uni Eropa masih menggodok rancangan legislasi untuk mengatur aplikasi kecerdasan buatan, terutama yang bersifat generatif. Namun, pembahasan sedang tertunda oleh negosiasi alot antara parlemen Eropa dan negara-negara anggota UE.

Jika rancangan naskah RUU berhasil diloloskan, regulasi tersebut baru akan berlaku "secepatnya" akhir tahun 2025, menurut Komisioner Pasar Dalam Negeri UE, Thierry Breton.

"Jika sudah menyangkut konten yang diproduksi oleh kecerdasan buatan, saya tidak melihat adanya hak bagi mesin untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat," pungkas Jourova. [rzn/hp (afp,dw,dpa)]/dw.com/id. []

Berita terkait
PBB Sebut Kecerdasan Buatan Timbulkan Risiko Serius bagi HAM
Minggu ini lebih dari 60 negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan China, menyerukan dibuatnya aturan terkait kecerdasan buatan