Tradisi Jurung Petani Banyuwangi di Tengah Pandemi

Dulu makan nasi jagung dikira tidak mampu, sekarang semua makan nasi jagung. Bahkan orang luar sengaja ke sini cari nasi jagung. Petani Banyuwangi.
Muasnah menunjukkan simpanan jagung di jurung, lumbung yang diletakkan di atas tungku dapur, di Dusun Papring Jaya, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu, 29 April 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Banyuwangi - Sore itu, Rabu 29 April 2020, Tagar mengunjungi Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur. Menempuh perjalanan sekitar 40 menit, melewati jalan terjal bebatuan hingga sampai di sebuah dusun, yaitu Dusun Papring Jaya, lokasinya sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi.

Di dusun ini terhampar pemandangan yang asri, pohon-pohon besar, rindang, membuat udara sejuk di tengah cuaca cukup panas di wilayah Banyuwangi. Banyak warga menjemur jagung di halaman rumah masing- masing.

Di antara mereka ada yang memasukkan jagung ke dalam wadah berukuran dua kali tiga meter di atas tungku. Mereka menyebutnya jurung, atau istilah populernya lumbung pangan

Widi Nurmahmudi, seorang tokoh di dusun ini. Ia menemani Tagar mengunjungi rumah-rumah warga, para petani jagung. Ia bercerita tentang latar belakang kenapa masyarakat menyimpan bahan pangan dalam jurung. Pada awalnya para pemuda tergabung dalam komunitas Kampung Papring, mendorong para petani agar tidak langsung menjual hasil panen. Menyimpannya untuk berjaga-jaga menghadapi pandemi Covid-19.

“Saat ini dari 69 keluarga di dusun ini sudah ada 20 lebih keluarga yang mengaktifkan kembali jurung (lumbung) di rumahnya, untuk menyimpan jagung dan bahan makanan lain," tutur Widi.

Dulu makan nasi jagung itu dikira orang tidak mampu. Sekarang di dusun Papring ini semua sudah makan nasi jagung. Bahkan ada orang dari luar dusun yang sengaja ingin memakan nasi jagung. 

Petani BanyuwangiWidi Nurmahmudi menunjukkan jagung yang sedang di jemur di halaman rumah warga, di Dusun Papring Jaya, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu, 29 April 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Sebelumnya mereka biasanya langsung menjual hasil panen ke tengkulak. Transaksi dilakukan di kebun. Jadi ketika panen warga tidak membawa hasil panen tapi membawa uang hasil penjualan. Sekarang hasil panen mereka bawa pulang.

Sebenarnya, kata Widi, tradisi jurung sudah lama ada, sudah puluhan tahun tapi kemudian banyak petani langsung menjual hasil panen ke tengkulak, hingga jurung lama tidak berfungsi. Bahkan meski mempunyai kebun jagung sendiri, banyak warga membeli jagung dari luar, karena hasil panen sudah habis dijual.

“Masyarakat ini baru mau kembali menyimpan bahan makanan lagi sejak dua pekan lalu,” kata Widi.

Jagung merupakan makanan pokok warga Dusun Papring. Cara mengolahnya, jagung dimasak bersama beras. Warga menyebutnya nasi jagung. Di dusun ini semua orang menanam jagung di sebuah lahan berukuran seperempat hektar, lahan milik Perhutani. Warga juga memanfaatkan pekarangan rumah untuk bercocok tanam.

“Warga juga menamam kacang tanah dan kacang panjang di pekarangan rumah. Setelah panen, kacang panjang langsung dijual, sedangkan kacang tanah sebagian untuk bibit agar bisa ditanam lagi, sisanya dijual untuk keperluan membeli pupuk,” tutur Widi.

Ia berharap dengan cara ini warga Dusun Papring Jaya bisa bertahan hidup, tidak sampai kekurangan makanan di tengah pandemi. Karena mereka hanya bekerja sebagai petani, mengandalkan hidup dari hasil panen.

“Ini sebagai bentuk ikhtiar kita sebagai pemuda untuk menyadarkan masyarakat, meski saat ini era modern, akan tetapi ketika dihadapkan dengan situasi sulit seperti saat ini, cadangan pangan juga sangat penting,” ujar Widi.

Petani BanyuwangiWidi Nurmahmudi, koordinator komunitas Papring Keratif di Dusun Papring Jaya, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu, 29 April 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Harga Jual Murah

Abdul Hadi, seorang petani, mengatakan sejak sepekan lalu sudah kembali mengisi jurungnya dengan jagung, delapan puluh persen hasil panen jagung disimpan, dua puluh persennya dijual.

“Ini hasil panen langsung kita simpan di jurung, hanya sedikit yang kita jual,”kata Abdul Hadi.

Ia mengatakan tidak menjual hasil panen jagung karena harga jualnya murah. Per satu kilogram hanya dihargai Rp 3.000 untuk jagung pipilan, sedangkan jagung beserta jonggolnya hanya dihargai Rp 1.500 per kilogram. Harga murah dan dorongan para pemuda untuk membuat lumbung pangan, menggerakkannya untuk mengisi kembali jurungnya.

“Harganya murah, mungkin karena panan raya saat ini, sehingga pemborong, tengkulak, tidak datang lagi membeli jagung. Selain itu mungkin karena ada corona ini. Ya akhirnya lebih baik saya simpan saja di jurung, seperti yang dikatakan pemuda sini,” kata Abdul Hadi.

Ritual Mengisi Jurung

Muasnah, juga seorang petani, turut mengaktifkan jurung yang sekian lama menganggur. Ia mengatakan warga dusun gemar makan nasi jagung.

“Dulu makan nasi jagung itu dikira orang tidak mampu. Sekarang di dusun Papring ini semua sudah makan nasi jagung. Bahkan ada orang dari luar dusun yang sengaja ingin memakan nasi jagung. Mudah-Mudahan dengan menyipan jagung ini masyarakat di daerah sini tidak kekurangan bahan makanan,” ujur Muasnah.

Petani BanyuwangiWidi Nurmahmudi menunjukkan jurung jagung di Dusun Papring Jaya, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu, 29 April 2020. (Foto: Tagar/Hermawan)

Satu jurung milik Muasnah bisa menampung sekitar 200 bonggol jagung. masyarakat di Dusun Papring tidak menghitung berdasarkan per kilogram melainkan menggunakan satuan berat untuk mengisi jurung tersebut.

“Kalau mengisi jurung ini hitungnya bulan kilo. Masyarakat disini biasa menghitung bijian atau berdasarkan bonggol jagung. Jurung punya saya ini sekitar 200 bongkol jagung bisa muat,” katanya.

Ternyata memasukkan jagung ke dalam jurung ada ritualnya. Kata Muasnah, kalau ritual itu tidak dilakukan, jagung akan habis dimakan tikus atau binatang lain.

“Kita tidak boleh ngomong saat melakukan penyimpanan di jurung. Selain itu proses penyimpananya juga tidak boleh ramai-ramai, cukup berdua atau sendirian saja. Jika pantangan ini dilanggar, kemungkinan besar jagung yang disimpan di jurung akan habis dimakan tikus,” tutur Muasnah

Umumnya, kata Muasnah, orang-orang membuat jurung di atas tungku, bertujuan mempercepat proses pengeringan jagung.

Proyeksi Panen

Kepala Bidang Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyuwangi Nur Choiri mengatakan pada April hingga Mei 2020, Banyuwangi memasuki masa panen jagung yang kedua. Harga jagung turun karena stok melimpah.

“Harga Jagung pipil saat ini berkisar antara Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kilogram. Padahal sebelumnya berkisar Rp 5.000 per kilogram. Saat ini masih panen raya jagung kedua, hasil tanam jagung pada musim hujan kemarin,” ujur Choiri.

Ia memproyeksikan hasil panen raya pada April hingga Mei ini mencapai 37.052 ton jagung pipil. Proyeksi pangan jagung pada April-Mei jauh lebih tinggi dibandingkan periode sama pada tahun lalu.

“Pada tahun lalu di periode yang sama berkisar hanya 3.425 ton. Naiknya hasil panen raya karena seiring naiknya luasan lahan jagung pada tahun 2020 yang mencapai 5.469 hektare dari sebelumnya 476 hektare tahun 2019,” kata Choiri. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Guru di Gowa, Mantan Anak Band yang Terus Berkarya
Guru Bahasa Inggris di Gowa ini punya jiwa seni dalam darahnya. Ia terus berkarya. Mantan anak band itu mengkombinasikan musik dan pelajaran.
Kisah Warga Lebak Tak Makan Dua Hari karena Covid-19
Salah seorang warga di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten merasakan kesulitan, sampai tidak makan dua hari, imbas dari pandemi Covid-19.
Rindu Ibadah Terobati di Zona Hijau Kulon Progo
Kerinduan warga Kulon Progo beribadah bersama di tempat ibadah akhirnya terobati. Kulon Progo sudah termasuk zona hijau Corona.