Untuk Indonesia

Tolak Pemantau Pemilu Asing 'Pesanan'

Jika terindikasi 'pesanan keberpihakan', maka sudah selayaknya kehadiran pemantau pemilu asing itu ditolak.
Warga yang masuk kategori Daftar Pemilih Khusus (DPK) didampingi petugas mengikuti serangkaian acara simulasi pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (37/2/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Batang mengadakan simulasi pemungutan dan penghitungan suara untuk memberikan gambaran teknis penyelenggaraan pemilu pada 17 April 2019 mendatang. (Foto: Antara/Harviyan Perdana Putra)

Oleh: Girindra Sandino*

Sejatinya kehadiran gerakan sipil untuk memantau proses pelaksanaan pemilu baik dalam dan luar negeri adalah  sebuah praksis demokrasi yang memang kehadirannya diperlukan untuk memberikan kontribusi, masukan kritik yang membangun, protes terbuka jika ada penyimpangan dalam proses tahapan pemilu, sebagai penyeimbang, penyumbang legitimasi pemilu yang pertanggungjawabannya kepada publik. Juga dalam sistem politik demokrasi modern, pemantau pemilu  dapat merupakan bagian dari kelompok penekan (pressure groups), atau organisasi publik.

Pemantau pemilu harus bersifat independen, namun ada juga yang mengklaim independen namun 'partisan', sebagai bagian dari pertarungan wacana dalam konteks  pemenangan pemilu. Akan tetapi lembaga pemantau pemilu semacam itu akan terusir dengan sendirinya dari medan interaksi wacana kontestasi demokrasi, apabila kinerja mereka menyimpang dari kaidah-kaidahnya sebagai pemantau pemilu independen, serta tidak mampu mengedepankan pertanggungjawaban publik.

Pemantau pemilu pertama dalam sejarah Indonesia lahir sejak tahun 1996 yakni Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang dengan perjuangan militannya melawan rekayasa pemilu Orde Baru, dan memantau pemilu 1997 ditengah situasi teror terhadap aktivis pro demokrasi.  Pasca reformasi pemilu 1999 baru menjamur pemantau pemilu baik dalam negeri dan luar negeri memantau jalannya pelaksanaan pemilu di Indonesia hingga pemilu serentak 2019 ini. 

Pemantauan pemilu juga merupakan  bentuk komunikasi politik yang merupakan salah satu ciri kehidupan demokrasi yang semakin menunjukkan dinamika tersendiri sebelum, saat dan pasca pemilu dilaksanakan. Bahkan temuan-temuannya menjadi rujukan berbagai  pihak. Jadi tidak aneh jika ada kehadiran pemantau asing hadir untuk menyaksikan dan memantau proses kontestasi demokrasi, walau sempat terjadi friksi pada tahun 1999 antara lembaga asing dan pemantau dalam negeri soal menata transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya.

Saat ini marak sekali di media sosial soal meminta dan memohon-mohon pertolongan dengan sangat kepada lembaga atau organisasi pemantau pemilu asing untuk hadir dan memantau pemilu di Indonesia, mulai dari tagar #INAelectionObserverSOS, #IndonesiaCallObserver, dan baru muncul lagi #IndonesiaCallsCarterCenter, mungkin maksud dari memanggil atau meminta pertolongan dari The Carter Center, ada cerita sejarahnya, bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemilu Tahun 2004, mendapat pengakuan dari dunia internasional, sebagai pemilu yang demokratis, jujur dan adil. 

Pengakuan tersebut berasal dari negara Uni Eropa, pemerintah negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat, negara-negara ASEAN, dan lembaga-lembaga seperti PBB, The Carter Center, The Australian Electoral Commission. Bahkan seperti yang dikatakan Presiden Carter saat itu bahwa pemilu Indonesia Tahun 2004 saat itu membuktikan bahwa tidak benar Islam tidak compatible dengan demokrasi. 

Mungkin itulah alasan pihak kubu capres-cawapres bernomor urut 02 dan pendukungnya ingin sekali mereka datang. Namun demikian, dari paparan di atas berikut tanggapan kami Seven Strategic Studies:

Pertama, bahwa kehadiran pemantau asing adalah hal yang sudah tidak aneh lagi, juga saat ini sudah diatur dalam Pasal 435 hingga Pasal 447 UU No. 7/2017 Tentang Pemilu, dan Perbawaslu No. 4 Tahun 2018 tentang Pemantau Pemilu. Sehingga sah-sah saja kehadiran pemantau asing itu hadir asal patuh terhadap aturan main yang telah ditetapkan oleh regulasi-regulasi terkait pemantauan pemilu dalam negeri.

Kedua, hebohnya tagar yang dibuat para politisi seperti INAelectionObserverSOS, #IndonesiaCallObserver, #IndonesiaCallsCarterCenter, seperti politik yang kekanak-kanakan, tidak usah dipanggilpun mereka akan datang sendiri atau diundang. Namun, menurut Bawaslu lembaga pemantau asing yang terakreditasi di Bawaslu hanya ada dua lembaga, yakni, Asia Democracy Network dan Asian Network For Free Elections. Dan bagi lembaga pemantau pemilu asing yang ingin terlibat memantau harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Pemilu dan Perbawaslu.

Ketiga, tagar-tagar yang bermunculan meminta tolong, memohon dengan sangat kepada pemantau asing untuk datang ke Indonesia seperti ingin menunjukkan kepada dunia mereka yang "ngebet" pemantau pemilu asing datang ke Indonesia, seperti pahlawan kesiangan yang baru saja  merobohkan dinding pemerintahan otoriter menuju pemerintahan transisi demokrasi. Seakan negara dalam keadaan kritis dalam penyelenggaraan pemilu di mata internasional

Keempat, hal ini sudah merupakan pelecehan baik bagi penyelenggara pemilu dan gerakan sipil pro demokrasi yang selama ini kritis terhadap pelaksanaan tahapan pemilu 2019. Walau memang gaungnya tidak besar. Akan lebih baik melatih saksi-saksi mereka agar lebih militan dan memadai wawasannya terkait pengetahuan teknis pemilu di TPS, agar jeli dalam mendeteksi penyimpangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara serta proses rekap selajutnya.

Kelima, mengimbau kepada penyelenggara, khususnya Bawaslu harus membuka ruang komunikasi politik seluas-luasnya kepada gerakan sipil demokratik untuk saling memberi masukan, kritikan, kerja-kerja aktivisme demokrasi yang memiliki sinergi tinggi dan berkualitas, tidak hanya mengakomodasi beberapa kelompok yang itu-itu saja. Namun demikian, kerja-kerja Bawaslu bagaimanapun harus dihargai sebagai garda terakhir pengawasan pemilu yang resmi. Dan Bawaslu agar selektif terhadap lembaga pemantau asing yang akan hadir ke depan memantau proses pelaksanaan Pemilu 2019, jika terindikasi "pesanan keberpihakan", maka sudah selayaknya kehadiran pemantau pemilu asing itu ditolak.

*Penulis adalah Wakil Sekjen KIPP Indonesia, Direktur Eksekutif 7 (Seven Strategic Studies)

Baca juga:

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.