Jakarta - Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil survei pengukuran popularitas kinerja menteri-menteri dalam penanganan pandemi Covid-19. Hasil survei memperlihatkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengalahkan popularitas Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah melalui siaran pers yang diterima Tagar, mengatakan hasil penilaian publik ini berdasarkan aktifitas menteri di masa pandemi Covid-19.
Kondisi Tito Karnavian berbanding terbalik dengan Prabowo, bahkan Erick Thohir
"Prabowo hanya mendapat penilaian 9,6 persen atau berada di urutan ke-13. Rendahnya penilaian terhadap Prabowo menandai jika publik merasa selama pandemi kontribusi atau peran Menteri Pertahanan ini rendah," katanya, Sabtu, 4 Juli 2020.
Sementara, menteri teratas dalam survei ini adalah mereka yang rata-rata memiliki kebijakan selama pandemi di antaranya, Airlangga Hartarto dengan kebijakan Kartu Prakerja dinilai populer dengan perolehan 48,3 persen, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan kebijakan penundaan Pilkada 44,6 persen, dan posisi ketiga Menteri Pariwisata Wishnutama dengan kebijakan penutupan pariwisata dengan 42,8 persen.
"Menariknya, Tito Karnavian dalam survei IPO periode pertama kabinet dinilai publik sebagai menteri paling diragukan, dan terus membaik di survey 100 hari kinerja kabinet, hingga periode satu tahun kabinet semakin membuktikan jika ia berhasil meyakinkan publik," ujarnya.
Lantas ia menyebut popularitas Prabowo Subianto dan Erick Thohir semakin memburuk di mata publik karena manuvernya rendah.
"Kondisi Tito Karnavian berbanding terbalik dengan Prabowo, bahkan Erick Thohir, di awal penunjukkannya mendapat respons positif dan Presiden Jokowi dianggap tepat memilih mereka. Kini setelah satu tahun berkhidmat, keduanya semakin memburuk di mata publik," kata dia.
Kendati demikian, popularitas menteri itu terdiri dari dua respons, yakni respons positif dan respon negatif.
"Sehingga, nama menteri dengan popularitas tinggi, belum tentu populer karena prestasi, bisa saja karena kebijakan yang justru dianggap negatif dan tidak disukai publik," ucap Dedi Kurnia Syah yang mengeluarkan survei tersebut. []