Tidak Ada Tempat yang Benar-benar Aman, Bahkan di Rumah Sendiri

Kasus incest atau persetubuhan sedarah lebih rumit, kejahatan seksual di lingkungan domestik. Menyangkut masa depan anak, kondisi psikologis yang terbentuk. 
Ilustrasi (ist)

Jakarta, (Tagar 23/2/2018) - Tidak ada tempat yang benar-benar aman, bahkan di rumah sendiri. Hal itu dialami anak perempuan usia 14 tahun, Bunga (bukan nama sebenarnya), di Toba Samosir, Sumatera Utara. Ayah kandungnya yang seorang petani, DS (48 tahun) yang seharusnya bersikap melindungi justru merusaknya dengan melakukan persetubuhan sedarah (incest).

Situasi dalam rumah sangat mendukung pikiran bejat DS menjadi kenyataan. Istrinya berdagang di tempat jauh, membawa serta dua anaknya (dua adik Bunga), pulang ke Toba Samosir kadang sekali sebulan, kadang sekali tiga bulan.

Hanya ada DS dan Bunga di rumah, sangat sering kondisi seperti itu. DS yang seharusnya mengenalkan nilai-nilai kemanusiaan pada Bunga, justru melakukan manipulasi hingga Bunga jatuh cinta secara seksual pada ayah kandungnya itu.

Semua anak lahir bagaikan kertas putih, orang tua dan lingkungan yang mengisi konten positif atau negatif di lembaran kertas putih itu. Apa yang terjadi dengan Bunga adalah kesalahan orangtuanya. Kini DS sudah diamankan pihak berwajib, sementara Bunga tentu perlu waktu untuk menata psikologisnya agar berada di rel yang tepat untuk kemudian melanjutkan hidup.

Psikolog Kasandra Putranto menjelaskan, adalah sesuatu yang wajar ketika setelah lahir, anak jatuh cinta kepada ibu sebagai sumber pemenuhan kebutuhannya. Kemudian juga adalah wajar jatuh cinta kepada ayah sebagai mekanisme proses pembentukan kualitas diri sebagai seorang anak perempuan yang beranjak remaja.

Peran ayah dan ibu harus bisa mendorong anak untuk mengalihkan cinta itu kepada lawan jenisnya pada waktu yang tepat.

“Tapi kalau ayahnya justru memanipulasi keadaan dan memangsa anaknya artinya ibarat pagar makan tanaman,” kata Kasandra.

Begitu rentan posisi anak hingga negara memberikan perlindungan khusus yang mekanismenya diatur dalam UU Perlindungan Anak.

Kasus incest atau hubungan seksual sedarah lebih rumit, bukan kasus kriminal semacam pemerkosaan biasa. Incest menyangkut kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, kondisi psikologis yang terbentuk.

Sebagai sebuah kejahatan yang terjadi di lingkungan domestik, kesediaan anggota keluarga lain untuk mengangkat kasus tersebut menjadi salah satu faktor penentu bagi korban untuk melakukan upaya hukum.

Incest lebih terkait dengan pasal-pasal yang ada di UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( UU PKDRT ). Kasus incest berada dalam ruang lingkup rumah tangga, sudah selayaknya UU PKDRT diterapkan. Dalam UU tersebut, pelaku incest terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun.

Sistem Perlindungan Anak

“Sesuai Undang-undang, anak wajib mendapatkan perlindungan, untuk itu orang tua harus membangun sistem perlindungan bagi anak,” ujar Kasandra.

Tentu saja itu bisa diterapkan dalam keluarga dengan situasi normal. Memang jadi pelik kalau orang tua kemudian yang malah jadi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Dalam situasi keluarga yang ‘terlihat’ normal, orang tua perlu membuat sistem perlindungan bagi anak untuk menghindarkan anak dari bahaya incest. Ancaman ini bisa datang dari ayah pada putrinya, ibu pada putranya, antarsaudara kandung beda kelamin, bahkan pernah terjadi seorang paman melakukan kejahatan seksual pada kemenakan laki-laki (sodomi) yang kemudian membuat anak laki-laki itu tumbuh dengan orientasi seksual menyimpang, ia menjadi gay.

Beberapa yang bisa ditempuh untuk melindungi anak sejak dini dari ancaman incest di antaranya:

Pertama, mengajari anak-anak untuk mengenali silsilah keluarga, mengajak anak menghadiri acara silaturahmi dengan keluarga besar agar satu sama lain saling mengenal. Memberikan pemahaman pada anak-anak bahwa agama apa pun melarang hubungan seksual sedarah, juga pemahaman ilmiah bahwa secara medis hubungan seksual nyaris selalu menciptakan keturunan bermasalah, tidak normal secara fisik maupun mental, penyakit langka yang obatnya sangat sulit didapatkan, kalau pun ada di suatu negara lain harganya sangat mahal mencapai miliaran rupiah.

Kedua, sejak dini anak laki-laki dan anak perempuan dibuatkan kamar terpisah. Seringkali kondisi perekonomian yang kurang membuat satu keluarga dengan banyak anak tidur bersama dalam satu ruang. Sampai di sini penting untuk memikirkan kemampuan finansial ketika akan menikah atau merencanakan punya anak. Prinsip hidup semacam ‘banyak anak banyak rezeki’ tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja. Seringkali pemikiran realistis yang menyelamatkan seseorang. Seperti ada pasangan yang baru menikah, memutuskan tidak punya anak, karena suami sudah terlalu tua, ia berpikir kasihan anaknya nanti kalau ingin pergi ke mana-mana, ia tidak bisa menemani. Pikiran seperti itu lebih masuk akal.

Ketiga, menghindari memisahkan saudara kandung. Beberapa kasus incest di dunia menimpa saudara kandung laki-laki dan perempuan ketika bertemu setelah terpisahkan sejak lahir. Ketika bertemu itu pada diri mereka muncul rasa sayang yang tumbuh secara naluriah. Sampai di situ aman, tapi menjadi masalah ketika rasa itu berkembang menjadi ketertarikan secara seksual, dan mereka menganggap itu cinta.

Keempat, mengajari anak untuk bisa menjaga diri sendiri, karena orang tua tidak mungkin bisa mendampingi anak setiap hari selama 24 jam. Mengajarkan teknik-teknik pertahanan diri ketika ancaman datang, misalnya dengan mengatakan ‘tidak’, berteriak, berlari ke rumah tetangga yang dipercaya. Berbagai cara sesuai usia anak untuk melindungi diri.

Kelima, anak-anak bersikap kritis pada orang tua. Poin ini agak berbeda karena mengambil sudut pandang anak. Di era digital ini generasi Z lebih maju daripada generasi milenial. Sejak lahir mereka terpapar internet yang terkoneksi pada telepon genggam dan komputer. Anak-anak ini sering kali lebih pintar dari orang tuanya yang gagap teknologi. Mereka menyerap informasi penting di internet termasuk bahaya incest dan bagaimana mengatasinya. Bisa jadi mereka bisa lebih menjaga diri ketika ancaman kejahatan seksual datang dari orang tua atau saudara dekat. Situasi ini mungkin berbeda dengan anak yang lahir di pelosok terpencil atau di tengah keluarga yang tidak menggunakan internet dalam kehidupan sehari-hari. Kepedulian orang-orang di sekitar tentu sangat diharapkan untuk melindungi anak-anak ini.

Siti Afifiyah

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.