Lima Penyakit Akibat Pernikahan Sedarah

Tak ada penilaian normatif yang membenarkan perkawinan sedarah dari sudut pandang mana pun. Walaupun itu salah tapi banyak terjadi.
Ilustrasi (ist)

Jakarta - Tidak ada penilaian normatif yang membenarkan perkawinan sedarah dari sudut pandang mana pun. Walaupun itu salah tapi realitasnya pernikahan inses marak terjadi di penjuru dunia termasuk Indonesia.

Pernikahan sedarah juga tidak baik bagi keturunannya dan kesehatan. Banyak risiko dari keturunannya yang mengalami cacat fisik dan keterbelakangan mental.

Anak keturunan dari pernikahan inses akan memiliki kode genetik DNA yang tidak variatif karena mewarisi rantai DNA turunan dari ayah dan ibunya yang sangat mirip. Akibatnya, si anak tidak punya sistem kekebelan tubuh yang kuat. Sehingga dia rentan terhadap penyakit.

Anak hasil hubungan sedarah antara dua individu tingkat pertama (keluarga inti) lahir dengan kelainan berupa cacat fisik bawaan, atau cacat intelektual parah. Bahkan semakin banyak riwayat pernikahan sedarah dalam satu pohon keluarga bisa menimbulkan tingkat resiko yang sangat tinggi.

Berikut jenis penyakit yang akan ditimbulkan akibat pernikahan sedarah

1. Albinisme 

Albinisme adalah suatu kondisi di mana tubuh kekurangan melanin, zat pewarna rambut, mata dan kulit. Seorang albino (sebutan bagi mereka yang memiliki albinisme) cenderung memiliki warna mata terang, serta kulit dan rambut sangat pucat bahkan hampir putih susu, bahkan jika mereka berasal dari etnis yang berkulit gelap.

Albinisme adalah penyakit resesif autosomal, yang berarti bahwa ketika dua orang dengan kode genetik sama berkembang biak, sehingga peluang anak-anak mereka jadi semakin besar untuk mewarisinya.

Memang tidak semua orang albino adalah hasil perkawinan sedarah. Tetapi praktiknya inses antara sepupu dekat, saudara kandung, dan orang tua-anak kandung memiliki risiko yang sangat tinggi. Bahkan juga rentan mewarisi masalah ini pada keturunannya nanti. 

Apabila pasangan inses itu sama-sama membawa gen pembuat melanin yang rusak. Sebesar 50 persen peluang akan mewariskan gen rusak pada anak dari hasil perkawinan terlarang tersebut. Kemudian pada keturunan berikutnya, 25 persen akan berpeluang memiliki risiko albinisme. 

2. Fumarase Deficiency (FD)

Defisiensi fumarase (FD) dikenal juga sebagai polygamist’s down. Penyakit ini adalah gangguan yang khususnya memengaruhi sistem saraf otak.  

Kondisi penderita yang mengidap penyakit ini akan menderita kejang tonik-klonik, keterbelakangan mental, dan seringnya memiliki kelainan fisik mulai dari bibir sumbing, club foot alias kaki pengkor, hingga skoliosis.

Keterbelakangan mental yang dialaminya pun cenderung berat. Itu terlihat dari IQ yang hanya mencapai 25, kehilangan bagian tertentu pada otak, tidak bisa duduk dan atau berdiri, kemampuan berbahasa yang sangat minim atau bahkan nol.

Anak hasil inses yang memiliki FD ternyata juga rentan mengidap microcephaly. Microcephaly ini ditandai dengan ukuran kepala bayi yang sangat kecil, tidak seperti kepala bayi normal lainnya. 

Selain itu juga memiliki struktur otak  yang abnormal, keterlambatan perkembangan, kelemahan otak (hipotonia), gagal tumbuh, pembengkakan hati dan limpa, kelebihan sel darah merah (polisitemia), jenis kanker tertentu, dan atau atau kekurangan sel darah putih (leukopenia).

Individu dengan FD biasanya hanya dapat bertahan hidup beberapa bulan saja. Hanya segelintir dari penyintas FD yang dapat hidup cukup lama sampai tahap dewasa muda.  

3. Habsburg Jaw

Habsburg Jaw juga dikenal sebagai Habsburg Lip dan Austrian Lip. Jenis penyakit ini menunjukkan kondisi cacat fisik yang dapat dilihat dari ciri-ciri rahang bawahnya yang menonjol keluar dan penabalan bibir bawah ekstrem, ukuran lidahnya juga terlihat sangat besar, yang biasanya menyebabkan pengidapnya ngiler berlebihan.  

4. Hemofilia

Hemofilia ini tidak secara spesifik penyebab hasil dari perkawinan sedarah. Namun inses dipandang sebagai penyebab tingginya insiden penyakit bawaan ini di banyak keluarga kerajaan Eropa.

Jika ada perempuan yang menderita penyakit ini dalam keluarga maka perkawinan sedarah dalam keluarga patut untuk dicurigai sebagai faktor risikonya.  

Hemofilia merupakan contoh dari penyakit X-linked, karena gen yang cacat merupakan gen dari kromosom X. Wanita memiliki dua pasang kromosom X sementara pria hanya memiliki satu kromosom X dari ibunya. 

Seorang pria yang mewariskan salinan gen hemofilia cacat akan menderita penyakit ini, sementara keturunan wanita harus mewarisi dua pasang gen cacat untuk bisa mengidap hemofilia. Keturunan hasil inses akan mewarisi dua salinan dari gen rusak yang diturunkan dari ibunya.

5. Philadelphoi

Kata 'Philadelphoi' yang berarti 'cinta saudara' berasal dari bahasa Yunani kuno, digunakan sebagai julukan yang diberikan kepada kakak-adik Ptolemy II dan Arsinoe yang terlibat dalam hubungan inses. Meski begitu, Philadelphoi tidak tercatat sebagai kondisi medis resmi dan berbeda dari penyakit Philadelphia Chromosome (Ph).

Keluarga kerajaan Mesir kuno hampir selalu diwajibkan untuk menikah dengan saudara kandung mereka, dan hal ini terjadi hampir di setiap dinasti. Tidak hanya pernikahan kakak-adik kandung, tapi juga 'pernikahan double niece', di mana seorang pria menikahi seorang gadis yang orang tuanya adalah kakak atau adik dari pria tersebut. 

Akibat perkawinan sedarah ini, tingkat bayi yang lahir mati tergolong tinggi dalam keluarga kerajaan, begitu pula dengan cacat lahir dan kelainan genetik bawaan. King Tut sendiri memiliki beragam kondisi yang diakibatkan dari keterbatasan variasi kode genetik gen dari hubungan inses orangtuanya.

Tradisi perkawinan sedarah ini dipelihara karena mereka percaya bahwa dewa Osiri mengawini adiknya sendiri, Iris, untuk menjaga kemurnian keturunan. Tutankhamen, alias King Tut, adalah hasil dari hubungan inses antara kakak-adik. Diduga pula bahwa istrinya, Ankhesenamun, merupakan adik (entah kandung atau angkat) atau keponakannya sendiri.

Akibat perkawinan sedarah ini, tingkat bayi yang lahir mati tergolong tinggi dalam keluarga kerajaan, begitu pula dengan cacat lahir dan kelainan genetik bawaan. King Tut sendiri memiliki beragam kondisi yang diakibatkan dari keterbatasan variasi kode genetik gen dari hubungan inses orangtuanya.

King Tut dilaporkan memiliki bentuk tengkorak yang memanjang, bibir sumbing, tonggos (gigi depan atas lebih menonjol daripada gigi depan bawah), kaki pengkor (club foot), kehilangan salah satu tulang dalam tubuhnya, dan skoliosis, semua 'paket' kondisi ini disebabkan, atau justru diperburuk oleh hubungan inses.

Baca juga:

Berita terkait
0
Staf Medis Maradona Akan Diadili Atas Kematian Legenda Sepak Bola Itu
Hakim perintahkan pengadilan pembunuhan yang bersalah setelah panel medis temukan perawatan Maradona ada "kekurangan dan penyimpangan"