Untuk Indonesia

Tak Ada Jokowi, Bagaimana Pertarungan Pilpres 2024?

Setelah memenangkan Pilpres dua kali berturut-turut, Jokowi tak bisa lagi nyapres. Bagaimana peta pertarungan Pilpres 2024?
Ilustrasi: Tagar/Regita Putri

Oleh: Bagas Pujilaksono Widyakanigara*

Pemilu bukan hanya jadi ajang hitung-hitungan perolehan suara di DPR RI dan pemenang Pilpres, namun lebih sebagai perang ideologi.

Pileg dan Pilpres 2019 adalah perang antara ideologi Pancasila dan Khilafah.

Dalam format demokrasi dan suasana kebebasan, ideologi Khilafah seolah-olah boleh ambil bagian dalam kontestasi politik di Indonesia. Padahal jika dilihat dari perspektif Politik Negara, ideologi Khilafah ini adalah ancaman nyata bagi Pancasila dan tegaknya NKRI.

Tidak ada bedanya antara ideologi ekstrem kanan dan kiri, sama saja, sama-sama anti demokrasi, anti kebebasan dan otoriter. Apa yang mereka lakukan selama Pileg dan Pilpres 2019, dengan menyebar fitnah keji, hoax, dan melecehkan simbol negara dengan memanfaatkan infrastruktur demokrasi dan mengatasnamakan kebebasan adalah dalam rangka memberangus kebebasan dan menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Bedanya antara esktrem kiri dan kanan adalah yang kiri dilabeli ateis sedang yang kanan sibuk mempolitisir agama.

Ideologi Khilafah disodorkan seolah-olah bisa sebagai alternatif penyelesaian permasalahan bangsa, padahal buktinya tidak ada dan amat bertentangan dengan Pancasila dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, dengan mencoba menggeser Pancasila yang jelas-jelas jati diri Bangsa Indonesia. 

Pancasila tidak akan pernah bisa bersanding dengan ideologi ekstrem: kanan dan kiri, karena roh Pancasila adalah keseimbangan antara perilaku spiritual dan kultural bangsa Indonesia yang beradab, adil, dan humanis.

Patron perpolitikan nasional pada 2024 sekali lagi amat sangat ditentukan oleh Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan peran PDI Perjuangan.

Saat ini, ada problem serius antara perilaku spiritual dan perilaku kultural pada kelompok radikal kanan di Indonesia, mencoba mengingkari budaya bangsanya sendiri.

Apa yang barusan terjadi pada 2019 menjadi pembelajaran yang sangat berharga dan sekaligus bukti, bahwa ancaman NKRI dan Pancasila bukan hanya PKI namun juga radikal kanan. Modusnya sama, menyusup ke mana-mana dan merusak mental anak bangsa dengan mencekoki dogma-dogma ideologi sesat dan menafikan sejarah bangsanya sendiri.

Apa yang akan terjadi pada 2024, sangat ditentukan oleh Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan peran PDI Perjuangan sebagai partai politik ideologis.

Hasil kongres PDI Perjuangan di Bali mendatang adalah pertaruhan masa depan Pancasila dan NKRI. Harapannya, PDI Perjuangan kembali mengukuhkan jati dirinya sebagai partai politik ideologis, jangan sampai dijangkiti penyakit pragmatisme dan aji mumpung. Marhaenis adalah modus perjuangan politik PDI Perjuangan sebagai perjuangan kaum proletar. PDI Perjuangan harus selalu menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari hedonisme.

PDI Perjuangan adalah satu-satunya partai politik yang bisa dijadikan tumpuan harapan bagi kaum nasionalis.

Patron perpolitikan nasional pada 2024 sekali lagi amat sangat ditentukan oleh Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan peran PDI Perjuangan.

Babat habis ideologi khilafah, penegakan hukum, dan kembali ke jati diri sebagai Bangsa Indonesia yang berbudaya, beradab, adil, dan humanis. Indonesia tanpa diskriminasi.

*Penulis adalah Akademisi Universitas Gadjah Mada

Baca juga:

Berita terkait