Untuk Indonesia

Dosen UGM Desak Presiden Pecat Rektor Sontoloyo

Dosen UGM mendesak Presiden Jokowi memecat rektor sontoloyo anti Pancasila, pendukung HTI dan kelompok radikal lain.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Oleh: Bagas Pujilaksono Widyakanigara*

Saya sangat mendukung rencana pemerintah: Rektor PTN ditunjuk, dilantik dan dipecat oleh Presiden. Sebelum membahas hal ini lebih detail, saya mengusulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Pecat rektor-rektor sontoloyo yang membiarkan kampusnya jadi sarang HTI dan kelompok radikal lain yang jelas-jelas anti Pancasila dan NKRI yang berbhinneka

2. Pecat dosen dan karyawan yang terlibat politik radikal di kampus

3. Fasilitas dan keuangan kampus hanya untuk kegiatan akademik, bukan untuk kegiatan politisasi agama

4. Investigasi dan audit rumah- rumah ibadah di kampus, apakah sudah berfungsi sebagaimana peruntukannya atau justru jadi sarang radikalis dalam menyebar kebencian.

Menguatnya politik ekstrem kanan di perguruan tinggi saat ini penyebab utamanya adalah rektor.

Mohon diingat kembali, saya pernah kirim surat terbuka kepada Bapak Presiden pada bulan Mei 2017 tentang radikalisme di sekolah dan kampus. Surat terbuka itu viral luar biasa bahkan hingga dua kali.

Politik ekstrem: bisa kiri atau kanan, hanyalah wujud aksi yang menerpa perguruan tinggi. Kita, bangsa Indonesia pernah mengalami keduanya.

Kalau saya yang melihat, menguatnya politik ekstrem kanan di perguruan tinggi saat ini, penyebab utamanya adalah rektor. Rektor cenderung leda-lede, mbanci, dan tidak jelas pijakan politiknya. Sehingga radikalisme tumbuh subur di dalam kampus berlindung kebebasan dan demokrasi. Aneh bukan? Kelompok anti kebebasan dan demokrasi, justru saat ini memanfaatkan kebebasan dan demokrasi untuk menghancurkan demokrasi dan kebebasan itu sendiri.

Politik radikal di kampus jelas bertentangan dengan roh perguruan tinggi yaitu rasionality and freedom.

Selain sontoloyo itu sifat pribadi, rektor bisa berperilaku sontoloyo disebabkan karena sistemnya. Perilaku ini terus turun ke level dekan dan kadep. Rektor tidak punya nyali ke dekan dan kadep karena memang keduanya bukan ditunjuk oleh rektor. Padahal keduanya kepanjangan tangan rektor di tingkat fakultas dan departemen. Ironis bukan? Dan hal ini berimplikasi luas, bukan hanya untuk kasus radikalisme, namun juga kejahatan akademik lain. 

Bagaimana rektor bisa tidak berkutik ada dosen yang menjadi profesor dari karya tulis jiplakan? Bahkan kesannya rektor nutup-nutupi untuk kasus-kasus kejahatan akademik. Pemilihan rektor lewat Majelis Wali Amanah (MWA) adalah suatu kesalahan, karena MWA hanya jadi sarang radikalis. Bubarkan MWA! Rektor sebagai kepanjangan tangan Presiden harus steril dari kegenitan MWA dan Senat Akademik. Belum ada rektor yang kredibel dari hasil seleksi di MWA. Bubarkan MWA.

Penyetaraan jabatan Rektor dengan jabatan di sistem Birokrat adalah kesalahan fatal yang berakibat banyaknya pesyaratan-persyaratan non teknis yang harus dipenuhi saat pemilihan Rektor, dimana sebenarnya semua itu tidak konvergen pada perilaku ideal seorang Rektor yaitu akademis, arif namun berani tegas bukan leda-lede. Perguruan Tinggi bukan Kementerian yang pengelolaannya jelas berbeda.

Kehidupan akademis di kampus saat ini sudah tidak akademis lagi karena banyak dimanipulasi untuk kepentingan politik radikal. Kebebasan akademik diperkosa dijadikan modus menyingkirkan orang yang jelas amat sangat militan berideologi Pancasila. Ironis bukan?

Wajar kalau perguruan tinggi di Indonesia tidak berkembang dan ketinggalan jauh dibandingkan negara lain.

Saya secara pribadi memohon, agar perguruan tinggi di Indonesia segera dibenahi dari sisi manajemen dan kualitas SDM.

Jangan sampai Perguruan Tinggi sebagai tulang punggung negara dalam menggapai kemajuan, justru menjadi titik lemah yang menghancurkan sendi-sendi kebhinnekaan Indonesia dan tegaknya Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Teknik, Sekolah Pascasarjana UGM

Baca juga:

Berita terkait