Surat RA Kartini untuk Sahabatnya di Belanda, Curahan Hati Wanita yang Terpenjara oleh Budaya

Selain mendirikan sekolah Kartini juga mengirimkan surat-surat kepada kenalan dan sahabatnya yang kebanyakan berada di Belanda.
Tulisan RA Kartini. (Foto: Tagar/Ist)

TAGAR.id, Jakarta - Tokoh pahlawan wanita Indonesia, Raden Adjeng (RA) Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.

Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.

Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.

Beruntung, sang suami mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak satu-satunya dari pernikahan mereka, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904.

Namun, beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Selain mendirikan sekolah Kartini juga mengirimkan surat-surat kepada kenalan dan sahabatnya yang kebanyakan berada di Belanda.

Berikut ini adalah isi surat R.A Kartini untuk Stella Zeehandelaar:


“Saya sulung dari tiga anak perempuan Bupati Jepara yang belum menikah, dan saya memiliki enam saudara-saudari. Dunia apa ini, eh? Kakek saya, Pangeran Ario Tjondronegoro dari Demak, seorang pemimpin besar dalam gerakan progresif di era beliau, dan bupati pertama dari Jawa tengah yang membuka pintu kepada tamu dari seberang laut – peradaban dunia barat. Semua anaknya memiliki pendidikan Eropa; mereka semua memilikinya. Semua cinta terhadap kemajuan, cinta yang diwariskan ayah mereka, kemudian diwariskan ke anak-anak mereka, didikan keluarga yang sama seperti yang mereka sendiri telah terima. Banyak dari sepupu dan saudara-sau ara lelaki saya yang lebih tua lulus dari Sekolah-Hoogere Burger, institusi tertinggi yang kami miliki di Hindia; dan anak bungsu dari tiga saudara lelaki saya yang lebih tua telah belajar selama tiga tahun di Belanda, dua lainnya bahkan telah bekerja di negara itu. Kami, anak perempuan, terbelenggu oleh tradisi dan konvensi kuno. Adalah kejahatan besar terhadap adat di tanah kami jika kami harus di didik, dan terutama jika harus meninggalkan rumah setiap hari untuk pergi ke sekolah. Karena kebiasaan negara kami yang sangat kuat melarang gadis untuk keluar rumah. Kami tidak pernah diperb olehkan pergi kemana saja. Satu-satunya tempat pengajaran yang dibanggakan oleh kota kami, yang ter buka bagi kami, adalah sekolah dasar gratis bagi gadis-gadis Eropa.”

“Ketika saya mencapai usia dua belas tahun, saya ditahan di rumah – saya berada di dalam “kotak”, dikurung, terputus dari semua komunikasi dengan dunia luar, di samping calon suami – orang sing lelaki yang tidak dikenal yang dipilih oleh orangtua saya untuk saya – lelaki yang ditunangkan kepada saya tanpa sepengetahuan saya. Teman-teman Eropa, ini saya dengar kemudian –telah berusaha dengan segala cara yang mungkin untuk menghalangi orang tua saya agar tidak melakukan hal kejam itu terhadap saya, seorang gadis muda yang mencintai kehidupan, tetapi mereka tidak mampu melakukan apa-apa. Orangtua saya tak bisa ditawar. Saya harus masuk penjara. Di sana, empat tahun lamanya, saya habiskan di antara dinding- dinding tebal, tanpa pernah melihat dunia luar.”

“Jika Anda bertanya, bagaimana saya melewati waktu?, saya pun tidak tahu. Saya hanya tahu bahwa itu sangat mengerikan. Tapi ada satu kebahagiaan besar yang tersisa buat saya: membaca buku Belanda dan korespondensi dengan teman-teman Belanda tidak dilarang . Ini satu-satunya cahaya di tengah kekosongan itu. Hanya itu, tanpa itu, mungkin saya sudah jatuh, ke dalam keadaan yang lebih menyedihkan Akhirnya di usia enam belas, saya kembali bisa keluar. Terima kasih Tuhan! Terima kasih Tuhan! Saya bisa meninggalkan penjara saya sebagai manusia yang bebas dan tidak dirantai kepada mempelai pria yang tak saya inginkan. Kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang memberikan kembali kepada kami, anak perempuan, kebebasan yang pernah hilang. Tepatnya saat penobatan Ratu Muda (Ratu Wilhelmina). Orangtua kami memberikan kembali kebeb asan kami secara “resmi”. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami, kami diizinkan meninggalkan kota dan pergi ke kota-kota tempat di mana perayaan diadakan dalam menghormati kesempatan itu. Betapa itu suatu kemenangan besar yang tak ternilai! Gadis-gadis muda seperti kami dapat menunjukkan diri di depan umum dan belum pernah terdengar kejadian sebelumnya. “Dunia” berdiri terperanja t, lidah-lidah bergoyang-goyang akan kejahatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teman- tema n Eropa kami bersukacita, dan untuk diri kami sendiri, tidak ada ratu yang sekaya kami.”

“Tapi saya jauh dari puas. Saya mengidamkan untuk menjadi bebas, untuk dapat berdiri sendiri, untuk belajar, untuk tidak tunduk kepada siapapun, dan di atas semua itu, tidak pernah diwajibkan untuk menikah. Tetapi kami harus menikah, harus, harus. Tidak menikah adalah dosa terbesar yang bisa dilakukan oleh wanita muslim, aib terbesar oleh seorang seorang gadis terhadap keluarganya. Dalam perkawinan kami, penderitaan adalah suatu ungkapan yang lemah untuk mengekspresikannya. Bagaimana tidak, saat hukum menyajikan segalanya untuk pria tetapi kosong terhadap wanita? Hukum dan konvensi hanya untuk lelaki, segalanya diperbolehkan untuk lelaki.”

“Dalam tradisi kami, tidak ada pesta pernikahan tanpa minum. Botol persegi besar selalu tersedia, dan mereka hemat dalam menggunakan ini. Tetapi setan yang lebih hebat daripada alkohol ada di sini dan itu adalah opium. Oh! Penderitaan, kengerian yang tak terkatakan itu telah dibawa ke negara saya! Opium adalah hama Jawa. Ya, opium jauh lebih buruk daripada hama. Hama tidak bertahan selamanya; cepat atau lambat, ia hilang, tapi kejahatan opium, setelah terbentuk, tumbuh. Semakin lama semakin menyebar, bertambah, dan tidak akan pernah meninggalkan kami, tidak pernah berkurang– opium itu dilindungi oleh Pemerintah! Semakin menyeraknya penggunaan opium di Jawa, semakin penuh uang kas bendahara.”

“Pajak opium adalah salah satu sumber terkaya dari penghasilan Pemerintah – apa masalahnya jika berakibat baik atau buruk terhadap penduduk? – Pemerintah menjadi makmur. Kutukan dari penduduk ini mengisi kas Pemerintah Hindia Belanda Timur dengan ribuan – bukan itu saja, bahkan jutaan. Banyak yang mengatakan bahwa penggunaan opium bukan hal buruk, tetapi orang yang mengatakan itu tidak pernah mengenal Hindia atau mereka pasti buta.”

“Apa yang membunuh kami sehari-hari, kebakaran?, perampokan ?, bukan! melainkan akibat langsung dari penggunaan opium. Ketagihan opium tidak begitu buruk selama seseorang itu bisa mendapatkannya – ketika seseorang itu memiliki uang untuk mem beli racun itu; tapi apabila seseorang itu tidak dapat memilikinya, ketika seseorang itu tidak memiliki uang untuk membelinya, dan dia adalah seorang pengguna yang berat? Orang itu menjadi berbahaya, seo rang yang tersesat. Kelaparan membuat seseorang menjadi pencuri, tapi rasa lapar akan opium akan membuat dia menjadi seorang pembunuh. Ada pepatah di sini – “Pada awalnya Anda makan opium , tetapi pada akhirnya opium itu akan memakanmu.”


Demikian isi surat RA Kartini yang dikirimkan untuk sahabatnya Stella Zeehandelaar tahun 1899. []



Baca Juga




Berita terkait
Quotes Inspirasi Memperingati Hari Kartini, Jelang 21 April
Peringatan Hari Kartini 2022 menjadi satu di antara bentuk apresiasi bangsa Indonesia terhadap perjuangan R.A Kartini. Ini deretan quotes terkait.
Inilah 15 Link Twibbon untuk Ramaikan Peringatan Hari Kartini
Untuk menggunakannya, langkah pertama yang harus dilakukan adalah klik salah satu link tersebut yang akan mengarahkan Anda ke laman Twibbonize.
Peringati Hari Kartini, Kerajinan Batik Warga Binaan Perempuan Dilelang Secara Daring
Lelang batik ecoprint beragam motif karya WBP Perempuan Lapas Kelas IIA Semarang akan berlangsung dari tanggal 18 hingga 21 April 2022.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.