Spotify Salip iTunes Sebagai Raja Streaming Musik

Setelah 13 tahun di layanan streaming musik, akhirnya Spotify jadi pemutar musik digital terbesar dengan laba Rp 1,48 triliun.
Ilustrasi foto Spotify. (Foto: Tagar/ Nuranisa Hamdan)

Jakarta - Setelah 13 tahun malang melintang dalam layanan streaming musik, akhirnya Spotify menjadi pemutar musik digital terbesar di dunia. Bahkan, untuk layanan ini pertama kalinya membukukan laba operasional sebesar 94 juta euro atau sekitar Rp 1,48 triliun (asumsi 1 euro sekitar Rp 15.781, kurs Bank Indonesia pada Februari 2019).

Bukan rahasia umum lagi jika layanan ini sering merugi. Namun, bagaimana Spotify akhirnya bisa meraup keuntungan?

Sejak awal, Daniel Ek, Pendiri dan CEO Spotify tidak selalu menemukan jalan mulus kala membesarkan perusahaan yang diinisasi pada 2006. Pria 35 tahun itu butuh pematangan ide selama dua tahun, menghindari masalah hukum seputar pembajakan, mengembangkan layanan, serta meyakinkan label rekaman dan artis untuk mengizinkan Spotify mempublikasikan musik mereka. Pada akhirnya, platform pemutar musik digital itu diluncurkan.

Pernah Diboikot Taylor Swift

Pada Oktober 2008, Daniel Ek untuk pertama kali memasarkan Spotify pada pengguna Eropa. Tiga tahun kemudian, Ek melebarkan sayapnya ke Amerika Serikat, tapi Miliuner industri teknologi itu menghadapi kesulitan untuk mendapatkan lisensi musik internasional.

Spotify pun terus menghadapi hambatan, yaitu berselisih dengan label rekaman besar, bersaing dengan Apple, dan mendapat boikot dari Taylor Swift. Swift memang sangat kritis terhadap royality artis yang dihasilkan oleh Spotify.

SpotifySpotify Simbol. (Foto: ostreet.co.uk)

Puncak Pencapaian Laba

Bertahun-tahun dalam kondisi merugi, akhirnya pada kuartal keempat 2018, Spotify mendapat untung operasional. Laba Spotify saat itu lebih baik dibanding kuartal ketiga 2018 yang masih rugi enam juta euro, bahkan kuartal keempat 2017 merugi sampai 87 juta euro.

Berdasarkan laporan resmi yang dipublikasikan Spotify pada awal Februari 2019, layanan ini membukukan laba operasional sebesar 94 juta euro atau sekitar Rp 1,48 triliun (asumsi 1 euro Februari 2019 Rp 15.781, kurs Bank Indonesia). Dari sisi laba kotor, Spotify berhasil meraup 399 juta euro atau naik 42 persen sebesar 282 juta euro dari tahun 2017.

Platform ini mencatatkan total pendapatan sepanjang 2018 sebesar 1,49 miliar euro. Pendapatan yang naik 30 persen sebesar 1,15 miliar euro, dari tahun 2017 yang mencatat total pendapatan Rp 23,51 triliun.

Pundi-pundi yang dicapai itu tak lepas dari keberhasilan menambah 9 juta pelanggan premium selama empat bulan terakhir. Dari jumlah tersebut, 16 juta diantaranya adalah pengguna aktif hasil perluasan pasarnya ke 13 negara baru di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Selain itu, Spotify berhasil membawa kenaikan pengguna aktif sampai 207 juta, di mana 96 juta di antaranya adalah pelanggan berbayar. Angka tersebut naik sebanyak 160 juta dari 2015, yang hanya 91 juta pengguna.

Pencapaian Spotify pun tak lepas dari strategi Spotify sebagai pemutar musik digital yang bekerjasama dengan pengiklan. Sebab, kini pengiklan dapat menargetkan iklan berdasarkan podcast yang didengar pengguna. Kerja sama itu jauh lebih spesifik dan bermanfaat.

Turunnya Popularitas iTunes

Aplikasi Apple, iTunes telah mundur Apple. Fungsi utama iTunes kini dipisahkan menjadi aplikasi Music, TV, dan Podcast seiring dengan sistem operasi Apple 10.15 Catalina.

Dalam dua dekade terakhir, iTunes adalah primadona karena berhasil membuat terobosan menjadi toko musik digital. Kala itu, pengguna bisa membeli single musik, bahkan album musik dari para musisi tanpa perlu memiliki CD berbentuk fisik.

Pada 2003, iTunes yang saat itu adalah penyelamat industri musik dari pembajakan membawa kabar gembira karena bisa digunakan oleh Windows. Pengguna non-Mac bisa membeli musik dari Apple dan menyinkronkan dengan iPod kesayangannya.

Di masa puncak kejayaannya, piranti lunak ini juga menyediakan unduhan digital musik. Namun hal itu tidak disukai para pelaku industri musik. Pasalnya, iTunes memberlakukan paket pembelian satu lagu (single) dengan harga 99 sen dan pengguna tidak perlu membeli lagu lain dalam album musik yang tak mereka sukai.

Kebijakan ini membuat para artis dan perusahaan label rekaman menuduh Apple menghilangkan nilai musik. Sesuai data International Federation of The Phonographic Industry 2012, pendapatan industri musik turun menjadi US$ 15 miliar karena masyarakat enggan membeli album fisik.

Perkembangan pemutar musik digital yang berkembang dengan cepat pun menggerus kejayaan iTunes. Software gratis ini gagal bersaing dengan produk pemutar musik digital lain, salah satunya adalah Spotify.

Penyebabnya adalah pemutar musik digital menawarkan akses lebih banyak ke album dan lagu tanpa perlu mengunduh. Pengguna cukup berlangganan setiap bulan dengan tarif tetap. Konsep itu jelas beda dengan iTunes. []


Berita terkait