Jakarta - Kuasa hukum mantan Sekretaris Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor berinisial IR menyampaikan nota keberatan atau eksepsi pada sidang lanjutan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Maret lalu oleh Polres Bogor, di Pengadilan Tinggi Bandung pada 3 Agustus 2020.
Direktur eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara-JP), Dina Lara Butarbutar mengajukan nota keberatan karena isi ekspesi yang dibacakan dinilai lebih banyak berupa sanggahan atas pasal-pasal yang didakwakan oleh JPU. Menurutnya, banyak pasal yang tidak memenuhi unsur.
Kuat indikasi ada jebakan dalam kasus OTT ini karena prosedur OTT unsur-unsurnya tidak terpenuhi, terjadi sebuah kezaliman terhadap terdakwa
"Yang mengagetkan adalah ketika terdakwa didakwa dengan pasal gratifikasi. Akan tetapi siapa si pemberi uang dan dari mana asalnya belum jelas dan tidak dikenakan pidana," ujarnya, Selasa, 5 Agustus 2020.
Dia menambahkan, terkuaknya nama pemberi uang Rp50 Juta yang mengakibatkan terdakwa (IR-red) ditangkap dalam OTT yang dilakukan Satreskrim Polres Bogor adalah seorang tahanan Polres Bogor yang sudah ditahan sejak 21 Februari 2020 bernama Sony Priyadi alias Yadi, sedangkan OTT terjadi pada tanggal 3 Maret 2020.
"Ini yang kami pertanyakan sebagai kuasa hukum, apakah bisa seorang tahanan keluar dari lapas hanya untuk memberikan uang kepada terdakwa dan seketika itu juga anggota Satreskrim masuk ke ruangan terdakwa sebelum terdakwa membuka dan mengetahui apa isi amplop yang dibawa si pemberi ini," ujar Dina.
Dia melanjutkan, dalam eksepsi tersebut diungkap juga bahwa tidak ada komunikasi yang dilakukan terdakwa kepada si pemberi. Pasalnya, IR tidak mengenal siapa sosok pemberi uang itu.
"Dalam runutan kejadian OTT tersebut, terdakwa tidak mengenal si pemberi uang bahkan terdakwa sempat menolak kedatangannya karena kondisi terdakwa hari itu sedang sakit, tapi karena si pemberi ini memaksa masuk, akhirnya terdakwa mempersilahkan masuk dan bertanya ada perlu apa. Jika sudah ada janji sebelumnya ataupun hal ini sudah direncanakan, terdakwa tidak akan bertanya seperti itu," kata dia.
Dia berpandangan, ada indikasi jebakan yang sangat kuat dalam kasus ini, karena tidak ada komunikasi sebelumnya antara terdakwa dan penerima. Serta kewenangan revisi gambar bukan dalam jabatan terdakwa sebagai sekdis.
"Kuat indikasi ada jebakan dalam kasus OTT ini karena prosedur OTT unsur-unsurnya tidak terpenuhi, terjadi sebuah kezaliman terhadap terdakwa. Karena namanya sudah dicatut dalam tindakan melanggar hukum yang tidak dilakukannya, padahal dalam dakwaan jaksa jelas sekali disebutkan nama-nama yang terlibat langsung dan menguasai sejumlah uang yang diberikan oleh pihak yang mengurus izin," ucap Dina Lara Butarbutar.
- Baca juga: DPR Soal Hadi Pranoto: Ratu Elizabeth Percaya Tidak?
- Baca juga: Sangsi Mendidik dan Efek Jera Langgar Protokol Covid-19
Diakhir, kuasa hukum menuturkan, dengan melihat adanya fakta-fakta yang disajikan hendaknya bisa dijadikan pertimbangan majelis hakim dalam mengambil keputusan dalam kasus tersebut.[]