Skema ‘Blended Finance’ Untuk Proyek-proyek Komunitas

"Blended finance", skema pembiayaan yang tengah dikaji pemerintah, dinilai memiliki potensi besar untuk diimplementasikan.
KERJA SAMA INVESTASI INDONESIA-AS: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kedua kiri) dan Menko Maritim Luhut B. Panjaitan (kedua kanan), berbincang dengan kalangan pebisnis Amerika Serikat (AS) dalam forum yang diselenggarakan Business Council for International Understanding (BCIU), di Washington DC, Kamis (12/10) Menteri Bambang menyampaikan, sudah saatnya pengusaha AS meningkatkan investasi di Indonesia khususnya dalam bidang infrastruktur melalui skema Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) dan Public Private Partnership (PPP), sedangkan Menko Maritim Luhut menegaskan Indonesia aman untuk investasi seiring membaiknya iklim investasi. Kedua Menteri berharap AS meningkatkan investasinya di Indonesia yang selama Januari-Juni 2017 berada di posisi lima besar. (Foto: Ant/HO).

Jakarta, (Tagar 20/10/2017) – "Blended finance", skema pembiayaan yang tengah dikaji pemerintah, dinilai memiliki potensi besar untuk diimplementasikan meski memerlukan dukungan besar dari pemerintah.

"Skema ini 'feasible' (dimungkinkan), tapi porsi pemerintah harus agak besar" kata Country Head Deloitte Infrastructure & Capital Projects Indonesia Bernardus Djonoputro di Jakarta, Kamis (19/10).

Bernardus menjelaskan, skema "blended finance" adalah skema pembiayaan yang memanfaatkan dana-dana filantropis melalui yayasan atau perusahaan dan digabungkan dengan dana swasta atau pemerintah untuk mengembangkan proyek-proyek yang berguna bagi komunitas.

Karena dasarnya merupakan dana konglomerat atau perusahaan besar, kebanyakan dana tersebut disalurkan untuk misi kemanusiaan yang spesifik seperti program kesehatan dan lingkungan.

"Jadi program 'waste to energy' (sampah jadi listrik) atau penanganan sampah plastik laut itu cocok karena proyek seperti itu memang agak susah mendapat pembiayaan yang biasa. 'Blended finance' bisa berperan besar di situ," tuturnya.

Bernardus mengatakan, skema "blended finance" memang banyak ditujukan untuk proyek-proyek yang mendukung kemanusiaan. Oleh karena itu, tren pembiayaan itu kini beralih untuk menggarap proyek-proyek yang terkait dengan Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs).

Ia menambahkan, karena merupakan dana filantropis, pengembalian investasi dalam skema "blended finance" kebanyakan bernilai rendah. Kendati demikian, tetap ada profit yang harus diraih agar proyek tersebut tetap terus bergulir.

"Kalau untuk proyek LRT, bisa dengan skema ini karena transportasi urban kan porsi jaminan pemerintahnya tinggi. Tapi proyek ini sensitif secara politis, terutama soal tarif, sehingga butuh dukungan pemerintah. Porsi dukungan pemerintahnya tinggi," kata Bernardus.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut tengah megkaji skema "blended finance" untuk bisa membiayai sejumlah proyek infrastruktur termasuk LRT atau kereta ringan.

Ia menyebut potensi skema tersebut mencapai hingga 12 triliun dolar AS.

Sejumlah proyek potensial dengan skema pembiayaan tersebut di antaranya penanggulangan sampah plastik di laut, perlindungan kawasan konservasi perairan Indonesia, perikanan dan akuakultur berkelanjutan, teknologi digital untuk perikanan, hunian terjangkau bagi masyarakat hingga proyek infrastruktur kawasan pesisir. (ant/yps)

Berita terkait