Setelah Kudeta Pengungsi Rohingya Semakin Takut ke Myanmar

Pengungsi Myanmar semakin takut kembali ke Myanmar setelah kudeta militer karena pengalaman buruk mereka berhadapan dengan militer
Warga Rohingya asal Myanmar yang mengungsi dengan kapal Bangladesh (Foto: dw.com/id)

Jakarta - “Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka?'' ujar pengungsi Rohingya di Bangladesh yang tak ingin pulang ke Myanmar setelah terjadi kudeta 1 Februari 2021. Pengungsi Myanmar semakin takut kembali setelah kudeta militer.

Pengungsi Rohingya asal Myanmar yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh mengutuk kudeta militer yang terjadi di tanah air mereka dan mengatakan peristiwa itu membuat mereka lebih takut untuk kembali.

Operasi kontra pemberontakan oleh militer Myanmar pada tahun 2017 yang mengakibatkan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran desa mendorong lebih dari 700.000 Muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.

1. Setiap Repatriasi Damai Akan Sangat Berdampak

Bangladesh telah menampung mereka di kamp-kamp pengungsi yang padat dan sangat ingin mengirim mereka kembali ke Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Beberapa upaya repatriasi di bawah kesepakatan bersama gagal karena Rohingya menolak untuk pergi, takut akan lebih banyak kekerasan di negara yang menyangkal hak-hak dasar mereka termasuk kewarganegaraan.

Penyelundup etnis Rohingya ke AcehPara penyelundup etnis Rohingya ke Aceh dihadirkan dalam konferensi pers di Mapolda setempat, Selasa, 27 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Para pengungsi pada Selasa, 2 Februari 2021, mengatakan bahwa mereka lebih takut dengan keadaan sekarang ini karena militer memegang kendali penuh.

“Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka?" kata Khin Maung, kepala Asosiasi Pemuda Rohingya di kamp pengungsi di distrik Cox's Bazar.

“Setiap repatriasi damai akan sangat berdampak,” katanya kepada Kantor Berita The Associated Press. “Ini akan memakan waktu lama karena situasi politik di Myanmar sekarang lebih buruk,‘‘ tambahnya.

Para pejabat dari Myanmar dan Bangladesh bertemu bulan lalu untuk membahas cara-cara memulai repatriasi. Kementerian Luar Negeri Bangladesh tampaknya sangat mengharapkan upaya repatriasi ini bisa sukses dan mengatakan berharap untuk memulainya sekitar bulan Juni.

Tetapi para pengungsi mengatakan mereka sangat menentang pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

“Kami mengutuk keras kudeta itu. Kami mencintai demokrasi dan hak asasi manusia, jadi kami khawatir kehilangan keduanya di negara kami,” kata Maung.

“Kami adalah bagian dari Myanmar, jadi kami merasakan hal yang sama seperti rakyat Myanmar pada umumnya. Kami mendesak masyarakat internasional untuk bersuara menentang kudeta, ” tambahnya.

2. 'Akan Lebih Menyiksa Kami'

Salah seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Jaffar, yang berusia 70 tahun, mengatakan mereka telah menunggu untuk kembali.

Rohingya di AcehRatusan imigran Rohingya baru saja mendarat ke darat dan dikumpulkan di salah satu pondok di Desa Ujung Blang, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin, 7 September 2020. (Foto: Tagar/Agam Khalilullah)

“Harapan bahwa kami harus kembali sekarang telah terputus oleh perubahan rezim di Myanmar ini,” kata Jaffar. “Repatriasi tidak akan aman sama sekali di bawah rezim ini. ... Sekarang jika kami kembali ke tangan orang-orang yang bertanggung jawab atas penyiksaan terhadap kami, kami mungkin harus menanggung rasa sakit dua kali lebih banyak dari sebelumnya.”

Sementara, para pengungsi lainnya mengatakan repatriasi tidak mungkin dilakukan sekarang.

“Bahkan jika mereka mencoba memulangkan kami, kami tidak akan setuju untuk kembali dalam situasi saat ini. Jika mereka membawa kami kembali ke rezim itu, mereka akan lebih menyiksa kami,” kata Nurul Amin salah seorang pengungsi Rohingya.

Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan pada Senin, 1 Februari 2021, bahwa pihaknya berharap kudeta tidak akan menghambat repatriasi para pengungsi.

aung11Militer menahan Aung San Suu Kyi (Foto: dw.com/id)

“Sebagai negara tetangga yang dekat dan ramah, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar. Kami bertekad kuat dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja dengan Myanmar untuk pemulangan Rohingya secara sukarela, aman dan berkelanjutan yang saat ini berlindung di Bangladesh,” katanya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menggambarkan tindakan keras militer Myanmar terhadap Rohingya sebagai bentuk genosida. Secara total, lebih dari 1 juta pengungsi dilindungi oleh Bangladesh.

Kudeta pada Senin, 1 Februari 2021, adalah kemunduran demokrasi secara dramatis bagi Myanmar, yang muncul dari pemerintahan militer yang ketat dan isolasi internasional yang dimulai pada tahun 1962 [pkp/gtp (AP)]/dw.com/id. []

Berita terkait
PBB Cegah Rencana Militer Myanmar Adakan Pemilu Baru
PBB sebut usul militer Myanmar, yang merebut kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021, untuk mengadakan pemilu baru "harus dicegah"
Ironi Aung San Suu Kyi Sebagai Pejuang Demokrasi Myanmar
Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi Myanmar, memiliki komunitas global yang mendukungnya ketika dia menjadi tahanan politik belasan tahun
Ilusi Demokrasi di Myanmar Berakhir di Tangan Militer
Militer Myanmar lancarkan kudeta dan menahan pemimpin sipil, Aung San Suu Kyi, eksperimen demokrasi di Myanmar dengan sendirinya gagal
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.