Setara Institute: Hentikan Persekusi Terhadap Agama yang Berbeda

Pemerintah dan pemuka agama harus melakukan tindakan konkrit menghentikan persekusi terhadap identitas keagamaan yang berbeda.
Ketua Setara Institut Hendardi (Foto: Ist)

Jakarta, (Tagar 11/2/2018) - Setara Institute mengatakan terjadi dua ‘tamparan’ sekaligus bagi para tokoh agama dan pemerintah yang baru saja menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa, 8-10 Februari 2018, di Jakarta.

Pertama, persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang pada 7 Februari 2018 dan baru viral pada 9-10 Februari lalu.

Kedua, serangan terhadap peribadatan di Gereja St. Ludwina Desa Trihanggo Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman tadi pagi (11/2/2018), yang menyebabkan Romo Prier dan pengikutnya mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam.

Dalam rilis yang dikeluarkan Setara Institue, Minggu (11/2), Ketua Setara, Hendardi mengatakan sebelumnya juga terjadi dua serangan brutal terhadap tokoh agama, yaitu ulama, tokoh NU, dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri pada 27 Januari 2018 dan ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, H. R. Prawoto, dianiaya orang tak dikenal pada Kamis (1/2) hingga nyawanya tak dapat diselamatkan dan meninggal dunia.

Setara Institute mengutuk seluruh kebiadaban yang sarat dengan sentimen keagamaan tersebut.

"Berkaitan dengan itu, Setara ingin mengingatkan ulang kepada pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas-ormas keagamaan bahwa potret riil kerukunan itu terletak di tingkat akar rumput," kata Hendardi.

Dia mengingatkan kerukunan antar umat beragama tidak cukup hanya dibangun secara simbolik-elitis dalam acara-acara pertemuan antar agama.

"Potret kerukunan yang riil dapat dilihat dalam relasi antar umat di level bawah, bukan di atas meja rapat dan ruang-ruang seremonial antar pemuka agama, ujarnya.

Hendardi mengatakan Setara mengapresiasi inisiatif pemerintah dan para pemuka agama untuk duduk bersama membangun kesepahaman tentang etika lintas umat demi kerukunan bangsa dan umat beragama.

"Namun, hal itu tentu tidak cukup. Pemerintah, pemuka agama dan elite organisasi keagamaan harus melakukan tindakan konkrit untuk menghentikan persekusi terhadap identitas keagamaan yang berbeda, khususnya atas mereka yang minor, umat agama yang sedikit," katanya.

Dia meminta pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas keagamaan sesuai otoritas masing-masing hendaknya mencegah dan menghentikan provokasi di ruang-ruang syiar agama yang membangkitkan perasaan tidak aman (insecured), kebencian (hatred), dan kemarahan (anger) yang dapat memicu tindakan main hukum sendiri (vigilante) dan penggunaan kekerasan (violence) seperti yang terjadi di Sleman, Tangerang, Bandung, juga Bantul dalam dua minggu terakhir.

Hendardi juga meminta agar aparat keamanan mewaspadai dan mencegah pola-pola gangguan keamanan yang menyasar tokoh-tokoh agama dan menggunakan sentimen keagamaan untuk memecah belah umat beragama dan menghancurkan kerukunan di tingkat akar rumput.

Kepada para politisi, Setara mengingatkan agar seluruh proses kompetisi politik pada tahun elektoral berkaitan dengan Pilkada dan Pilpres mendatang hendaknya dijauhkan dari penggunaan segala cara yang memolitisasi sentimen primordial, khususnya agama, untuk kepentingan jangka pendek pemilihan.

"Kerukunan antar elemen bangsa dan ikatan kebangsaan di antara mereka terlalu luhur untuk dirusak demi dipertukarkan dengan jabatan politik jangka pendek apapun, tutup Hendardi. (Fet)

Berita terkait
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.