TAGAR.id, Jakarta – Jumlah pelajar intoleran (tidak punya tenggang rasa) aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat di lima kota Indonesia meningkat. Lebih dari 56% bahkan setuju penerapan syariat Islam.
Temuan mengejutkan lain adalah 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang bersifat permanen dan dapat diganti.
Hasil survei terbaru Setara Institute for Democracy and Peace yang dirilis hari Rabu, 17 Mei 2023, menunjukkan beberapa temuan mengkhawatirkan, antara lain bahwa jumlah pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat di lima kota Indonesia yang disurvei meningkat.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan dibanding survei serupa tahun 2016 lalu, kini ada peningkatan jumlah pelajar yang intoleran aktif. Dalam survei tujuh tahun lalu, terdapat 2,4 persen pelajar yang intoleran aktif, sedangkan yang terpapar sebanyak 0,3 persen.
"Sekarang meningkat kecemasan kita karena (pelajar) yang intoleran aktif itu berada di angka 5,6 persen. Sementara yang terpapar itu 0,6 persen. Jadi ada 5,6 persen yang harus kita cemaskan," kata Halili.
Survei yang dilakukan selama bulan Januari hingga Maret itu melibatkan 947 pelajar laki-laki dan perempuan sebagai responden.
Survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang. Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan batas kesalahan 3,3 persen.
Lebih jauh Halili mengungkapkan bahwa sebanyak 99,3 persen pelajar menerima perbedaan keyakinan; 99,6 persen menerima perbedaan ras dan etnis; 98,5 persen menerima perbedaan agama dan keyakinan, dan 93,8 persen menerima kesetaraan gender dalam pemilihan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
Namun ketika ditanya tentang tanggapan terhadap penghinaan agama, sekitar 20,2 persen pelajar mengaku tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan.
Lebih Separuh Responden Menilai Barat adalah Ancaman
Survei ini juga mengungkapkan bahwa 51,8 persen pelajar menganggap negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia merupakan ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia.
Sebanyak 61,1 persen pelajar menyatakan merasa lebih nyaman jika semua siswi muslim berjilbab dan 56,3 persen pelajar menyokong penerapan syariat Islam.
Temuan mengejutkan lain adalah 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang bersifat permanen, dan dapat diganti.
Sekitar 33 persen pelajar setuju untuk membela agama, termasuk harus mati dalam membela agama.
Lima Faktor
Menurut Halili, ada lima faktor yang secara akumulatif mempengaruhi tingkat toleransi pelajar di Indonesia, yakni pengaruh orang tua, guru agama, teman bergaul, organisasi esktrakurikuler yang diikuti, dan literatur keagamaan.
Untuk mencegah meningkatnya intoleransi di kalangan pelajar, maka menurutnya perlu dilakukan perbaikan pada kelima faktor tersebut. Alternatif lain adalah menyajikan program-program untuk meningkat toleransi di kalangan guru karena mereka akan sangat menentukan.
Identitas seseorang bisa menguat ketika isu toleransi terkait erat dengan agama. Oleh karena itu Setara sangat mengkhawatirkan terjadinya politisasi agama, yang berpotensi memperkuat identitas agama seseorang.
Halili menggarisbawahi perlunya upaya untuk mencegah normalisasi politik identitas.
Alasan Memilih Lima Kota
Berbeda dengan survei sebelumnya yang fokus pada Jawa, Setara Institute kali ini memilih Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang sebagai lokasi survei, untuk melihat gambaran lain di luar Pulau Jawa.
Pertimbangan lainnya adalah berdasarkan Indeks Kota Toleran yang pernah dibuat oleh Setara Institute sebelumnya; bahwa Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang mewakili apa yang disebut zona hijau, kuning, dan merah.
Mantan Komisioner KPAI Soroti Pembelajaran yang Tak Hargai Perbedaan Pendapat
Pemerhati persoalan anak yang juga mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan akar persoalan dari antikeberagaman di sekolah-sekolah adalah pembelajaran dalam kelas tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan perbedaan.
"Kedua, pembelajaran itu tidak didesain menghargai perbedaan. Para guru dan siswa itu kadang terjebak pada intoleransi pasif. Jadi mereka selalu mengatakan menerima perbedaan warna kulit, suku, nggak apa-apa. Tapi begitu berbicara berbeda agama, udah lain," ujar Retno.
Dia menilai guru sangat berpengaruh dalam membentuk tingkat intoleransi di kalangan pelajar, dan khawatir banyak guru muda dan aktif di media sosial terpapar intoleransi.
Retno mengklaim sikap siswa yang terbuka terhadap praktek toleransi mulai berkembang di kelas ketika memang diajar guru yang membawa pandangan politik ke dalam ruang kelas. Karena itu, guru seharusnya tidak boleh membuka cara pandang politiknya.
Masuknya bibit radikalisme ke sekolah cenderung disebabkan oleh sekolah tidak memperhatikan kegiatan estrakurikuler pelajarnya, terutama kajian agama yang diisi leh orang luar. Dia melihat perang orang luar, alumni atau guru luar yang dibawa oleh alumni untuk menjadi pengajar kajian.
Oleh sebab itu, Retno meminta pihak sekolah lebih ketat memperhatikan kajian agama yang diisi oleh orang luar agar tidak ada penyampaian mengenai pandangan ekstrem.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,Riset dan Teknologi belum bersedia menanggapi hasil riset yang dikeluarkan Setara Institute tersebut. (fw/em)/voaindonesia.com. []