Untuk Indonesia

Semangat Sumpah Pemuda Hanya Selebrasi Tahunan?

Sekarang, semangat persatuan dan ke-Indonesiaan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda agaknya hanya dijadikan selebrasi tahunan tanpa memahami nilai-nilainya.
PEMBACAAN TEKS SUMPAH PEMUDA TERBANYAK: Sejumlah siswa SMP dan SMA mengikuti Gebyar Peringatan Sumpah Pemuda ke-89 Kota Bogor di Lapangan GOR Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (28/10). Pengucapan teks Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Sumpah Pemuda yang diikuti sebanyak 15 ribu siswa SD, SMP dan SMA se-Kota Bogor tersebut sekaligus memecahkan Rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dengan peserta terbanyak. (Foto: Ant/Arif Firmansyah)

Jakarta, (Tagar 29/10/2017) – Sumpah Pemuda yang lahir sebagai hasil keputusan Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta), sejatinya dilakukan untuk mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pergerakan kala itu di dalam semangat ke-Indonesiaan.

Isi sumpah pemuda, yakni: "Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", diutarakan untuk membakar semangat persatuan di kalangan pemuda untuk meraih cita-cita kemerdekaan.

Sekarang, semangat persatuan dan ke-Indonesiaan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda ini, agaknya hanya dijadikan selebrasi tahunan tanpa memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Alih-alih menjalin persatuan, belakangan nuansa perbedaan justru lebih mengemuka di tatanan kehidupan berbangsa bernegara. Kenyataan ini tentu bukan untuk mendorong kita menjadi pribadi-pribadi yang pesimistis, melainkan guna menjadi cermin dan cambuk yang mampu membuat kita sadar dan mengevaluasi kesalahan yang terjadi.

Menghalalkan Segala Cara

Ada beberapa indikator betapa nilai-nilai persatuan yang dulu digelorakan pemuda kini dapat dikatakan luntur dilumat perkembangan zaman. Salah satunya dengan menyimak cerita-cerita masyarakat, para orang tua kita.

Kita tentu pernah mendengar cerita-cerita yang dikisahkan orang tua kita tentang semangat kegotongroyongan yang menjadi jati diri bangsa.

Kusmiati, warga Jakarta yang berusia 86 tahun, punya kenangan tentang kuatnya nilai-nilai persatuan dan kesatuan era penjajahan.

Dulu di zaman penjajahan semua pemuda disatukan oleh tujuan yang sama, semangat yang sama, bersedia berdarah-darah dan berkucur keringat atas alasan yang sama, kemerdekaan.

Tidak peduli suku, agama, ras atau antargolongan, semua berjibaku mengusap peluh demi tumpah darah Indonesia. Di sini, harga diri bangsa dibangun, didukung oleh sikap Presiden pertama RI Soekarno yang sangat keras dengan hal-hal berbau asing.

Kusmiati mengaku bingung dengan kondisi bangsa saat ini. Dia melihat politisi nasional seperti tidak punya lagi jiwa nasionalisme dalam bingkai bhinneka tunggal ika.

Tidak ada yang salah dengan istilah kekuasaan sebagai tujuan berpolitik. Kekuasaan diraih untuk mencapai kedaukatan rakyat. Namun, menurut dia, proses berpolitik saat ini mengesampingkan nilai persatuan yang telah dibangun dan dirawat para pemuda selama puluhan tahun.

Dia memandang politik saat ini menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan yang didapat seringkali hanya untuk keuntungan kelompoknya sendiri.

Politik belakangan ini, justru mengagungkan perbedaan. Ini kelompok saya, itu kelompok Anda, dan di sana kelompok mereka. Semuanya merasa atau berlagak paling benar.

Begitu mudah pernyataan keras meluncur dari mulut politisi ditujukan kepada politisi atau kelompok tertentu, yang mungkin dapat dipahami secara dewasa di kalangan mereka namun tidak demikian di kalangan akar rumput.

Persatuan dilakukan hanya atas dasar mencari kemenangan. Persatuan yang kini lebih akrab disebut dengan koalisi hanya dilakukan antara kelompok/partai tertentu, yang lagi-lagi untuk bertikai dengan kelompok/partai lain.

Setelahnya kelompok yang saling bertikai mencari koalisinya yang baru, dan bertikai kembali dengan kelompok lain. Situasi yang terjadi sepanjang tahun.

Hal semacam ini dianggap biasa saja dalam politik kekinian, tapi membingungkan masyarakat awam. Ibaratnya, pertikaian yang terjadi di kalangan atas hanya lah sebatas ucapan, tapi di akar rumput dimasukkan dalam hati dan tertanam di benak hingga selama-lamanya.

Kusmiati menegaskan, masyarakat tentu tidak bodoh, tapi masyarakat perlu bertanya ke dirinya masing-masing apakah kita dibodohi? Patutkah kita bertikai dengan sesama anak bangsa, demi mendukung kekuasaan elit politik yang agaknya tengah bermain opera di media.

Dari cerita Kusmiati, kita dapat melihat betapa elit poltik, pemimpin bangsa, memegang peranan penting dalam merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa. Upaya yang diharapkan tentu saja bukan sekadar servis di mulut belaka. Sadar kah mereka?

Kusmiati sebagai orang tua, sebagai warga biasa, menaruh harapan dan ketegasan para pemimpin partai kepada setiap kadernya untuk berpolitik dengan santun. Janganlah mudah bertindak atau melontarkan pernyataan yang berefek memecah belah persatuan bangsa.

Pemimpin partai yang kadernya berlagak seperti badut berceloteh memecah belah bangsa seharusnya malu dan lebih baik membubarkan partainya. Pemimpin partai harus bisa mendidik kadernya untuk santun. Tegas ke dalam, demi memperjuangkan kedaulatan rakyat.

Kusmiati menegaskan jika kondisi elit tidak berubah, bangsa Indonesia bukan tidak mungkin akan hancur.

Teknologi Lunturkan Persatuan

Kisah tentang persatuan dan ke-Indonesiaan yang sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda juga diutarakan Sri Kawurjan, warga kelahiran Solo, 64 tahun silam yang kini menetap di Jakarta.

Sri mengatakan dulu pasca-kemerdekaan, semangat gotong-royong sangat kental di kehidupan masyarakat Indonesia.

Sri adalah anak dari seorang pejuang kemerdekaan. Ayahnya adalah tentara Angkatan Darat RI yang ikut berperang melawan penjajah, dan nyaris tewas ditembak Belanda di medan laga. Beruntung kala itu peluru Belanda hanya bersarang di helm.

Sebagai anak tentara, Sri kerap berpindah-pindah kota di Indonesia mengikuti kegiatan dinas ayahnya. Kegiatan berpindah-pindah domisili itu membuat Sri sedikit banyak merekam bagaimana kehidupan masyarakat di berbagai kota di Indonesia, tempo dulu.

Sri yang merupakan anak kedua dari 10 bersaudara ingat betul, di tahun 60-an, bepergian dengan mobil ke mana-mana tidak perlu takut kehabisan bensin.

Jika kehabisan bensin di jalan, orang dengan sukarela memberikan bensin kendaraannya. Mereka bahkan berlomba-lomba membantu sesama pengendara yang kesulitan di jalan.

Dulu banyak sekali mobil tipe jip dengan jeriken bensin yang menempel di belakangnya. Biasanya orang sengaja membawa bensin dalam jeriken bukan untuk keperluan dirinya sendiri, tapi untuk membantu sesama pengendara di jalan. Semacam ada rasa kebanggaan tersendiri.

Sekarang kondisinya jauh berbeda, meskipun masih ada semangat kegotongroyongan itu, tetapi seringkali pula kita melihat orang mendorong-dorong kendaraannya ke stasiun pengisian bahan bakar umum.

Sri bertanya, jika kita melihat seseorang mendorong motor di jalan raya, mungkin ada rasa iba dan bertanya-tanya dalam hati, apa kira-kira masalahnya. Tapi apakah kita akan berhenti dan menawarkan bantuan kepadanya.

Mungkin beberapa di antara kita sudi berhenti meluangkan waktu. Tapi mayoritas yang diburu waktu, hanya cuek saja.

Menurut Sri, perkembangan teknologi informasi turut mendorong lunturnya semangat persatuan dan ke-Indonesiaan kita. Bahkan nilai-nilai kegotongroyongan juga semakin sirna.

Budaya asing yang mudah disaksikan di media sosial, ditelan begitu saja oleh generasi muda. Nilai-nilai budaya bangsa tidak dijadikan pegangan bagaimana semestinya harga diri itu dijaga.

Keterbukaan informasi pelan namun pasti menggiring sebagian dari kita menuju pribadi yang individualistik, enggan bersosialisasi, acuh terhadap kondisi sekitar.

Contoh kecil, kata dia, kita berlomba-lomba mengumpulkan donasi atas bencana yang menimpa saudara-saudara kita di suatu daerah yang tertimpa bencana atas informasi media sosial. Sangat baik memang. Tapi ironis jika nyatanya tetangga kita sendiri masih ada yang kesulitan untuk makan.

Sri menekankan kini peperangan yang terjadi di dunia ini adalah perang kebudayaan. Uni Soviet sebagai negara yang begitu besar dan luasnya, bisa hancur ketika ideologinya hancur.

Ideologi bangsa Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan yang menjadi jati diri kita, adalah hal yang wajib, tidak boleh tidak, untuk selalu kita junjung tinggi.

Sudah saatnya kita bangkit, mengubah diri kita masing-masing untuk berjibaku mengisi pembangunan, tanpa memandang SARA, guna menyongsong Indonesia yang bermartabat, berdaulat, memiliki harga diri di dunia internasional. (Rangga Pandu Asmara Jingga/ant/yps)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.