Semangat Siswa Yogyakarta dari Keluarga Tak Harmonis

Mereka dari keluarga tak harmonis di Yogyakarta, tinggal di panti asuhan. Tapi mereka punya semangat belajar di SMP ‘17’ Yogyakarta.
Siswa kelas 8 SMP \'17\' Yogyakarta datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas yang diberikan oleh guru di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Rahmat Jiwandono)

Yogyakarta - Banyak bangunan yang menjulang tinggi di sekitar Tugu Pal Putih, Kota Yogyakarta. Di sebelah selatan tugu yang menjadi ikon Yogyakarta itu terselip sebuah sekolah swasta. SMP ‘17’ Yogyakarta, begitu namanya. Sekolah ini yang terletak di sebuah jalan Gowongan, tepatnya di Gowongan Lor, Kecamatan Jetis, Yogyakarta.

Kamis, 23 Juli 2020 pagi di depan kelas 7 SMP ‘17’ Yogyakarta terdapat sebuah meja panjang untuk belajar. Di sebelahnya terdapat dua buah kursi panjang berwarna cokelat. Di atas kursi sudah diduduki oleh empat orang murid.

Seperti pada umumnya, siswa SMP ini datang mengenakan seragam biru putih. Tak lupa mereka mengenakan masker, mengikuti protokol kesehatan. Hanya ada seorang siswa berjenis kelamin laki-laki yang duduk di kursi itu. Di depannya ada setumpuk tugas yang akan dikerjakan dan akan dikumpulkan.

Secara kasat mata mereka nampak seperti anak SMP pada umumnya. Namun mereka mempunyai kisah yang berbeda. Seperti apa kisah mereka?

Keeempat siswa itu bernama Ade Imam Jaka Saputra, 14 tahun; Margaretha Yosefin Ferdinandes, 16 tahun; Dena Pariyanti, 17 tahun; dan Istika Risma Muslimah, 17 tahun. 

Mereka berasal dari keluarga yang kurang harmonis sehingga mereka tinggal di Panti Asuhan Anak Terlantar Wiloso Projo. Panti asuhan tersebut masih dikelola oleh yayasan pemilik SMP ‘17’ Yogyakarta.

Meski mereka semua berasal dari keluarga yang kurang harmonis, namun tidak menyurutkan antusias dalam menuntut ilmu. Antusias mereka layak diacungi jempol, terlebih dengan kondisi bangunan fisik sekolahnya yang memprihatinkan. Atap kelas ada yang bocor dan tiang penyangga bangunan yang mulai doyong.

Lebih senang berada di panti karena ada teman-teman dan tidak kena marah.

Kekhawatitran itu pasti ada dalam mereka. Seperti pengakuan Yosefin. "Kami merasa agak was-was ketika berada di dalam kelas,” ucapnya saat ditemui Tagar, Kamis, 23 Juli 2020.

Kemudian, Yosefin mulai bercerita tentang dirinya dan latar belakang keluarganya. Dia mengatakan, hubungan kedua orang tuanya tidak harmonis. Terkadang ia dimarahi saat ada di rumah. "Lebih senang berada di panti karena ada teman-teman dan tidak kena marah," ungkapnya.

Siswa SMP \\\'17\\\' YogyakartaKepsek SMP \'17\' Yogyakarta, Anis Nur Ratri (kanan) menjelaskan tugas kepada muridnya. (Foto: Tagar/Rahmat Jiwandono)

Walau tidak mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya, ia mengaku hal itu tidak menggangu saat belajar di sekolah. "Saya enggak terlalu memikirkan hal itu. Belajar ya belajar,” nadanya tegas.

Berbeda dengan alasan Dena untuk mau tinggal di panti asuhan. Ia mau tinggal di panti lantaran ada sahabatnya yaitu Risma. "Aku mau tinggal di panti karena ada dia. Mungkin kalau tidak ada dia, enggak mau tinggal di sana," kata Dena.

Bagi Risma, ia memilih untuk tinggal di panti asuhan karena ada yang memberikan perhatian. Diakuinya, ia tidak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. "Aku senang karena ada yang memperhatikanku,” ujar Risma.

Alasan lainnya masih tetap untuk semangat belajar karena ingin mengubah nasib dan mengejar cita-cita hidup. Mereka ada yang bercita-cita menjadi pengusaha dan guru.

Keempat anak tersebut sudah tinggal di panti asuhan kurang lebih selama satu tahun terakhir. Untuk diketahui, mereka tinggal di panti asuhan setelah pihak sekolah mendapat izin dari masing-masing orang tua.

Tempat Bercerita

Keempat siswa ini berpendapat, mereka butuh tempat untuk bercerita tentang sesuatu yang dialami dalam hidupnya. Terkadang mereka berkeluh kesah tentang kehidupan dengan teman sesama panti asuhan.

Melihat latar belakang keluarga mereka, kami merasa punya tanggung jawab untuk membimbingnya menjadi lebih baik.

Namun demikian, tidak mudah bagi Yosefin untuk siap membagi ceritanya. Yosefin saat ini hanya bercerita kepada orang yang benar-benar ia anggap dekat dengannya. "Dulu sering cerita ke teman tapi tidak bisa 100 persen terbuka. Kan soalnya ini rahasia hidup ya,” kata dia.

Sementara Dena, kala ditanya apakah pernah bercerita dengan seorang psikolog, ia pernah bercerita tentang permasalahannya soal hubungan dengan kedua orang tuanya ketika masih duduk di kelas 2 SD. “Terakhir ngobrol dengan psikolog ya pas masih kecil,” kata gadis berambut pendek itu.

Kepsek SMP \\\\\'17\\\\\' Yogyakarta, Anis Nur RatriKepsek SMP \'17\' Yogyakarta, Anis Nur Ratri menunjukkan atap kelas yang sudah berlubang. (Foto: Tagar/Rahmat Jiwandono)

Siswa lainnya, Imam mengungkapkan, apa pun yang terjadi dalam hidup mereka, mereka hanya bisa menjalani serta mensyukurinya. “Kalau aku jalani saja yang sekarang ada,” imbuh dia.

Dekat Secara Emosional

Kepala Sekolah (Kepsek) SMP ‘17’ Yogyakarta, Anis Nur Ratri, 39 tahun, mengatakan kedekatan 13 guru yang mengajar di tempatnya dengan murid-muridnya tidak hanya sebatas akademis saja. Kedekatan guru dengan murid sudah ke arah emosional. "Melihat latar belakang keluarga mereka, kami merasa punya tanggung jawab untuk membimbingnya menjadi lebih baik,” katanya.

Anis menyatakan, kemampuan murid-muridnya dalam menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru berbeda dengan anak pada umumnya. Setiap murid punya tingkat pemahaman yang berbeda-beda.

"Mereka tidak dapat disamakan dengan murid yang harus bisa mencapai nilai mata pelajaran sesuai standar kurikulum yang ada. Jika mereka mendapat nilai minimal yang sudah ditentukan pada suatu mata pelajaran itu sudah bagus,” terangnya.

Selain itu, ia berharap mendapat bantuan untuk melakukan renovasi sekolah karena kondisinya yang tidak layak. Pihaknya tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan perbaikan. "Meski ada dana bantuan dari pemerintah tapi tidak bisa digunakan untuk memperbaiki sekolah kami," katanya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Semangat Kakek Nenek di Semarang Bantu Tangani Covid
Semangat kepedulian kakek nenek asal Semarang patut jadi inspirasi. Selain menyumbang barang, mereka juga siap jadi relawan Covid-19.
Cerita Mahasiswa Tunanetra Yogyakarta Mengejar Mimpi
Gilang, mahasiswa di Yogyakarta dengan semangat baja. Terlahir sebagai tunanetra tidak membuatnya patah arang mewujudkan cita-cita.
Kisah Haru Siswi SD Belajar Online di Yogyakarta
Siswi SD pinjam HP untuk bisa sekolah online akibat pandemi Covid-19. Dia ikut mencari rezeki halal, berjualan makanan di jalan.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)