Jakarta - Ketua Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menanggapi proses seleksi direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. Menurut dia, pemerintah harus memilih pimpinan yang benar-benar profesional dalam mengemban tugas.
Masih banyak peserta JKN menghadapi masalah. Misalnya di rumah sakit, susah mendapatkan akses ruang perawatan.
"Kita mengharapkan pansel menyeleksi orang-orang untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagarkerjaan benar-benar profesional, mampu menjawab masalah yang selama ini terjadi dan tantangan ke depan," katanya saat dihubungi Tagar, Minggu, 1 November 2020.
Timboel menjelaskan persoalan yang terjadi di BPJS Kesehatan sangat kompleks, salah satunya pelayanannya belum mumpuni. Artinya banyak peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang masih belum mendapatkan informasi soal manfaat JKN.
"Masih banyak peserta JKN menghadapi masalah. Misalnya di rumah sakit, susah mendapatkan akses ruang perawatan, disuruh beli obat, itu teknis-teknis di lapangan yang sampai sekarang masih terjadi," ucapnya.
Direksi sekarang belum mampu mencapai UHC 95 persen. Ini persoalan yang harus dijawab oleh direksi terpilih nanti.
Timboel mengatakan dalam pasal 15 dan 16 Undang-Undang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), peserta berhak mendapatkan informasi program yang diikutinya termasuk pada BPJS Ketenagakerjaan. Menurut dia, BPJS wajib menginformasikan terkait pelayanan dari program yang diikuti peserta BPJS.

"Artinya harus ada upaya sosialisasi yang lebih masif untuk memberikan informasi kepada peserta terkait pelayanan ," tutur Timboel.
BPJS Kesehatan memiliki tiga dimensi persoalan yakni kepesertaan, pelayanan dan faskes (fasilitas kesehatan), serta pembiayaan. Terkait kepesertaan, baru 220 juta, artinya belum mampu mencapai universal health coverage (UHC) yang diamanatkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yakni 95 persen masyarakat Indonesia jadi peserta JKN.
"Direksi sekarang belum mampu mencapai UHC 95 persen. Ini persoalan yang harus dijawab oleh direksi terpilih nanti," ungkap Timboel.
Seharusnya BPJS yang membantu karena tidak semua peserta mendapatkan informasi yang benar terkait manfaaat yang ada di BPJS Kesehatan.
Sementara dari sisi pelayanan dan faskes, kata Timboel, dari 2.956 rumah sakit, sekitar 2.576 yang bekerja sama dengan BPJS. Menurut dia, ini perlu didorong untuk menjadi mitra BPJS, sehingga dari sisi suplai ada peningkatan jumlah rumah sakit yang bekerja sama, sehingga ruang perawatan nantinya bisa lebih banyak.
"Kalau akses pelayanan lebih banyak akan memudahkan peserta yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit," kata Timboel.
Menurutnya, rumah sakit swasta tidak wajib menjadi peserta BPJS. Namun ini perlu didorong dengan berbagai upaya agar mau bekerja sama dengan BPJS.
"Dalam Perpres 82, rumah sakit swasta tidak wajib menjadi peserta BPJS. Namun, dengan pendekatan pemberian insentif, kemudian juga dengan adanya inasibijis (sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah), mereka tentu akan tertarik," ucap Timboel.
Kemudian, kata Timboel, terkait unit pengaduan, harus ada di setiap rumah sakit mitra yang bekerja sama dengan BPJS. Ini perlu dimaksimalkan kembali, sehingga pasien yang mendapatkan masalah di rumah sakit bisa melapor dan dicarikan solusinya.
Menurutnya, ini persoalan-persoalan klasik yang harus bisa dijawab dengan secara sistemik. Dengan begitu, tidak ada lagi peserta yang mengalami kesulitan mencari bantuan di rumah sakit.
"Banyak yang melapor ke kita soal kesulitan itu. Seharusnya BPJS yang membantu karena tidak semua peserta mendapatkan informasi yang benar terkait manfaaat yang ada di BPJS Kesehatan," tutur Timboel.
Untuk itu, Timboel menambahkan, perlu mencari sosok yang tepat untuk menjadi direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. Ini bertujuan agar BPJS Kesehatan bisa lebih baik ke depannya dan masyarakat bisa terbantu secara optimal. "Pimpinan BPJS Kesehatan harus bisa menjawab persoalan-persoalan klasik yang selama ini terjadi," tuturnya.
Sebagai informasi, pemerintah tengah menyeleksi pimpinan baru BPJS Kesehatan. Tercatat, sekitar 180 pendaftar lolos seleksi administrasi. Salah satunya, Achmad Yurianto yang sebelumnya juru bicara pemerintah Covid-19. []