Jakarta - Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2019 kerap dimeriahkan dengan perlombaan-perlombaan, salah satunya adalah panjat pinang.
Panjat pinang menjadi salah satu ikon dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Di balik itu semua, lomba yang dilakukan secara berkelompok itu memiliki sejarah yang kurang mengenakkan.
Dalam buku Zaenuddun H.M diceritakan, lomba panjat pinang awalnya dilakukan sebagai bahan hiburan dalam acara besar, seperti pernikahan dan hajatan penjajah Belanda.
Pohon pinang yang telah dilumuri minyak atau oli akan ditancapkan di sebuah tanah lapang.
Pesertanya, orang-orang pribumi, mereka berjuang memperebutkan hadiah, sementara penjajah Belanda menonton sambil menertawakan peserta yang jatuh.
Hadiah yang diperebutkan adalah bahan-bahan pokok seperti beras, gula, roti, hingga pakaian. Barang-barang tersebut saat itu dianggap barang mewah, karena belum tentu semua orang mampu membeli.
Mengingat itu, banyak orang yang menilai negatif terhadap perlombaan tersebut. Karena dinilai akan membangkitkan memori-memori pahitnya penjajahan yang dirasakan masyarakat Indonesia jaman dulu.
Namun, tidak sedikit juga yang menganggap perlombaan ini sebagai simbol untuk mengenang sejarah dan semangat melawan penjajahan saat itu.
Pohon pinang yang telah dilumuri minyak atau oli akan ditancapkan di sebuah tanah lapang, dan di ujung pohon digantungkan hadiah yang diperebutkan para peserta.
Seiring perkembangan jaman, lomba panjat pinang telah mengalami perubahan hadiah yang diperebutkan. Dulu memperebutkan bahan-bahan pokok. Saat ini memperebutkan barang elektonik seperti televisi atau kompor, bahkan ada juga dalam bentuk uang tunai.
Lomba panjat pinang dimaknai sebagai usaha yang pantang menyerah, kerja keras kelompok, mencapai tujuan bersama, menunjukkan semangat masyarakat Indonesia dalam memerdekakan Bangsanya. []