Sejak Reformasi Gagal, Golkar Akhirnya Menang

Akhirnya Golkar berhasil mengusung duet Joko Widodo-Ma'ruf Amin menjadi pemenang pada Pilpres 2019.
Ilustrasi. (Foto: Antara)

Jakarta - Akhirnya Golkar berhasil mengusung duet Joko Widodo-Ma'ruf Amin menjadi pemenang pada Pilpres 2019. Setelah sebelumnya selalu gagal pada ajang 4 tahunan itu.

Seperti diketahui, partai berlambang pohon beringin sempat terseok dalam Pilpres pascareformasi, dimana Presiden Suharto lengser dari tampuk kepemimpinan pada 21 Mei 1998, sementara presiden penggantinya, BJ Habibie, merancang undang-undang parpol dan pemilu yang lebih demokratis, terbuka dan adil.

Berselang satu tahun kemudian, digelar Pemilu sebagai salah satu syarat tegaknya reformasi dan runtuhnya era Orde Baru di tanah air.

Terdapat 141 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman, dan hanya 48 parpol yang lolos seleksi oleh Panitia Persiapan Pembentukan Komite Pemilihan Umum (P3KPU).

Dari 48 parpol ini, terdapat 3 raksasa tua partai orde lama, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Meski masih memegang perolehan mayoritas suara, pada Pemilu 1999 Golkar tak mengusung bakal calon pemimpin negara dalam pesta demokrasi di Indonesia.

Adapun tokoh yang saat itu berkontestasi dalam dalam momen elektorat adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, yang memperebutkan estafet kepemimpinan dari Presiden ke-3 BJ Habibie.

Sejak Pemilu 1997, Megawati tak lagi mendukung PDI akibat konflik internal yang berujung pada persitiwa Kerusuhan 27 Juli 1996. Megawati akhirnya mendirikan PDI Perjuangan (PDIP), yang kemudian mendapat 33,12 persen persen suara dan memenangkan Pemilu 1999.

Meski dalam kondisi oleng, Golkar yang pada tahun itu dipimpin oleh Akbar Tanjung, meraih 23.741.749 suara atau persentase 22,4 persen, dan menjadi partai kedua penyumbang suara terbanyak dalam pemilihan calon anggota legislatif (Pileg).

Lima tahun setelah itu, Wiranto bersama Salahuddin Wahid, maju sebagai bakal capres dan cawapres yang pada Pilpres 2004 mesti sikut-sikutan terlebih dahulu dengan Akbar Tanjung dan Prabowo Subianto, dalam konvensi Partai Golkar.

Namun, suara keduanya kalah laku bila dibandingkan dengan duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) dan Megawati-Hasyim Muzadi.

Tahun 2004 SBY memegang suara mayoritas dari rakyat, dengan keterpilihan mencapai 60,80 persen, melesat jauh di atas pencapaian Wiranto dan Megawati.

Meski menyandang muka baru dalam Pilpres, SBY dengan Partai Demokrat tak sulit untuk menjadi raksasa baru di ranah politik Indonesia.

Walaupun gagal pada pencalonan Wiranto, Golkar justru meraih kedigdayaan dalam Pileg 2004 dengan meraih suara tertinggi skala nasional di atas pencapaian PDIP dan PKB yang masuk sebagai jajaran partai 3 besar dengan perolehan suara tertinggi.

Hasil pemilu menunjukan bahwa Golkar memenangkan jumlah kursi terbanyak. Golkar menerima lebih banyak suara daripada partai lainnya di dua puluh enam provinsi. Hal tersebut terjadi karena berkurangnya popularitas PDI-P. Tahun 2004 dikenang juga sebagai pertama kalinya rakyat berpartisipasi langsung dalam Pilpres di Indonesia.

Walaupun akar rantingnya kuat, namun dalam Pemilu 2004 Golkar justru terlihat limbung. Setelah Prabowo berkendara dengan Gerindra, otomatis tinggal empat pimpinan puncak Partai Golkar yang kembali bertemu dalam Rapimnas guna menentukan presiden dari Golongan Karya. Keempat tokoh Golkar itu ialah Jusuf Kalla, Agung Laksono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Surya Paloh.

Saat itu Jusuf Kalla terpilih menjadi calon presiden yang diusung Golkar, berduet dengan Wiranto dalam Pemilu 2009. Kalla pun menyatakan siap berkompetisi melawan capres petahana SBY.

Namun, nyatanya suara capres incumbent stabil dan berhasil melenggang menjadi pemenang melalui pemilu satu putaran dengan meraup 60,80 suara, menumbangkan sang musuh bebuyutan Megawati (26,79 persen), dan mantan wapresnya Jusuf Kalla dengan perolehan suara 12,41 persen.

Pesta demokrasi memang selalu melahirkan kejutan bagi rakyat. Setelah SBY berhasil meraih dua periode kemenangan beruntun selama 10 tahun, selepas itu giliran Gubernur DKI non aKtif Joko Widodo siap meladeni perlawanan mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto.

Pada fase ini, Golkar harus rela tampil tanpa 'pemain bintang' di momen pemilu. Maka itu, suksesor yang ditunjuk sebagai wakil rakyat pilihannya adalah duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, untuk bertarung melawan mantan Walikota Solo Jokowi yang berduet dengan Jusuf Kalla dalam pemilu 2014.

Di hari yang sama, keharuan juga meliputi kediaman mendiang ayahanda capres Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo. Usai menyaksikan hasil quick count dan melihat perolehan suaranya, versi sejumlah pollster lebih tinggi dari rivalnya, Jokowi-JK, Prabowo spontan sujud syukur di lantai rumah di kawasan kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu.

Aksi ini diikuti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon, dan politisi PPP Ahmad Yani. Dibelakangnya, para pendukung ramai meneriakkan asma Allah. "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Prabowo-Hatta menang," teriak mereka.

Kedua kubu saling klaim memenangkan pilpres. Kubu Prabowo-Hatta mengklaim menang berdasarkan quick count 4 lembaga survei, yakni Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), Puskaptis, dan Jaringan Suara Indonesia (JSI).

Sementara kubu Jokowi-JK mengklaim menang berdasarkan hasil quick count 7 lembaga survei yakni CSIS Cyrus Network, Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research Center (SMRC), Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia, dan Populi Center.

Kondisi ini membuat masyarakat bingung sekaligus resah. Di satu sisi masyarakat bingung hendak mempercayai siapa, di sisi lain pubik resah, takut perbedaan ini bisa menimbulkan gesekan atau benturan antara pendukung dua kubu capres.

Sama halnya dengan Pilpres 2019 ini, yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dari kedua simpatisan massa pendukung paslon.

Dalam momen elektorat ini Golkar sudah bersikap sejak awal, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartanto, memilih untuk mendukung capres petahana untuk melanjutkan dua periode pemerintahan memimpin Indonesia.

Alhasil, untuk sementara waktu capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin, unggul atas capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga Uno melalui lembaga survei ataupun penghitungan sementara real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). []

Baca juga:

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.