Sebut Suralaya Tebar Maut, Greenpeace Jangan Tebar Horor

EWI pertanyakan agenda yang disembunyikan oleh Greenpeace atas upaya kerasnya menggagalkan proyek PLTU Suralaya 9 dan 10 ini.
Jubir Unit Pembangkitan PLTU Suralaya Asep Muhendar mengungkapkan setelah mengalami gangguan kerusakan interkoneksi di Ungaran, suplai di PLTU Suralaya dimatikan untuk menghindari kerusakan, dan saat ini telah dioperasikan kembali empat unit pembangkit untuk memulihkan kembali secara bertahap suplai listrik jaringan Jawa, Madura dan Bali. (Foto: Antara/Asep Fathulrahman)

Oleh : Ferdinand Hutahaean*


Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, adalah pembangkit yang menjadi nadi besar sistem kelistrikan JAMALI dan menjadi jantung utama kebutuhan listrik Ibu Kota Jakarta. Dibangun tahun 1984 oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) Proyek Induk Pembangkit dan menghadirkan konsultan dari Montreal Engineering Company atau Mocenco Canada, kini terus berkembang baik dari sisi kapasitas daya maupun penggunaan teknologi untuk memenuhi tuntutan jaman.

2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan proyek besarnya membangun 35.000 Megawatt pembangkit listrik. Kemudian Jokowi meresmikan pembangunan PLTU Suralaya 9 dan 10 dengan kapasitas 2 x 1000 MW. Besar sekali, diperkirakan akan menelan biaya sekitar 3,5 miliar Dolar Amerika. 

Jangan halangi Indonesia untuk maju ekonominya, maju berkembang industrinya, investor berduyun-duyun masuk dengan opini-opini horor

Saat kunjungan khusus Jokowi ke Korea, presiden pun bersepakat dengan CEO Korea Electric Power Corporation (KEPCO) dengan komitmen untuk membiayai pembangunan PLTU Suralaya 9 dan 10. Proyek Pembangunan pun berjalan..!

Belakangan situasi agak berubah karena ulah LSM Internasional Greenpeace yang sangat deras menolak pembangunan PLTU ini, dan meminta pihak Korea untuk menghentikan pembiayaan atas PLTU 9 dan 10. Alasannya, PLTU ini akan menyebabkan kematian dini bagi ribuan orang pertahun atau ratusan ribu orang dalam 30 tahun. 

Ini sebuah pernyataan horor yang tak memenuhi standar pembuktian bahwa seseorang disebut meninggal dalam kategori kematian dini akibat polusi dari Suralaya. Sebuah pemodelan yang lebih kepada propaganda opini daripada sebuah kebenaran. Sementara, yang disebut kematian dini itu termasuk stroke, masalah pernafasan, ISPA dan jantung, serta kardiovaskular. 

Dari rilis riset yang dilakukan oleh Greenpeace, tidak jelas disebutkan hubungan polusi PLTU Suralaya dengan kematian seseorang yang disebut dengan kematian dini. Misalnya seseorang menderita stroke. Greenpeace tidak menjelaskan bagaimana cara kerja polusi udara dari PLTU Suralaya sebagai penyebab stroke tersebut. Demikian juga dengan jantung dll. 

Jadi, kesimpulan saya atas pernyataan Greenpeace tersebut adalah hanya sebuah propaganda opini semata yang bersifat horor, atau menakut-nakuti. Entah apa tujuannya, nanti kita cari.

Kita dan dunia tahu, komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030. Dan dunia juga tahu bagaimana komitmen Indonesia untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025. Sebuah target yang besar dan akan sulit dicapai mengingat investasi disektor EBT ini mahal, dan butuh biaya besar. 

Berdasarkan rilis Kementerian ESDM Agustus 2020, target menurunkan emisi 314 juta Ton CO2 butuh biaya sekitar Rp 3.500 triliun hingga 2030, dimana pembangkit listrik diharapkan menjadi andalan utama penurunan ini sekitar 50 persen dengan Pembangkit Energi Baru (PEB).

Namun, tak mudah dan tak murah, butuh lebih dari Rp 1.600 triliun untuk mencapai target 50 persen ini. 

Ini akan sangat sulit karena harga EBT belum mampu bersaing dengan harga listrik menggunakan Batu Bara. Sementara, pertumbuhan industri sangat membutuhkan energi murah. Sebuah dilema yang harus diselesaikan dan dicarikan solusinya bukan dengan menebar horor seperti yang dilakukan Greenpeace.

Namun, meski sulit dan tidak mudah, Greenpeace harus menghargai komitmen perjuangan pemerintah Indonesia untuk mencapai target tersebut. Pemerintah tidak diam dan terus berupaya memenuhi dengan segala cara yang legal dan sah. 

Pencapaian target penurunan emisi itu diharapkan dicapai dengan penandatangan perjanjian pada Agustus 2020 oleh Kemenko Maritim dan Investasi dengan Fortescue Metal Group dari Australia untuk mengembangkan PLTA sebesar 60 GW dan 25 GW Panas Bumi. 

Selain itu juga, kerja sama dengan Inggris untuk Pembangkit Tenaga Surya (PTS) yang disebut Proyek Mentari untuk wilayah Timur Indonesia, serta penjajakan kerja sama dengan Rusia untuk pengembangan EBT. 

Lantas, dengan upaya-upaya ini apakah Greenpeace patut menuding pemerintah akan membunuh rakyatnya pelan-pelan hanya karena membangun PLTU Suralaya 9 dan 10 yang berbahan bakar Batu Bara? Berlebihan dan tendensius. Entah apa target Greenpeace dibalik serangan opini ini kepada pemerintah maupun kepada PLN.

Memang menjadi menarik bila menelisik motif dan agenda apa yang disembunyikan oleh Greenpeace atas upaya kerasnya menggagalkan proyek PLTU Suralaya 9 dan 10 ini. Kalau misinya hanya soal penyebaran polusi, sepertinya terlalu berlebihan karena PLTU Suralaya sudah menggunakan teknologi Ultra Super Critical yang ramah lingkungan.

Demikian juga sistem penanganan polusi oleh PLTU Suralaya sudah sangat memenuhi dan kategori baik dalam penanganan limbah maupun polusi udara. Greenpeace juga harus paham tentang kemampuan Indonesia dari sisi keuangan dan kemampuan ekonomi rakyat Indonesia secara umum.

Bangsa ini bukan tidak mau menggunakan 100 persen energi baru yang bersih dan sangat ramah lingkungan dan menutup seluruh PLTU-nya. Andai Indonesia mampu dan rakyatnya mampu membangun pembangkit EBT tanpa bantuan asing dan rakyatnya membeli listrik WBT yang masih mahal. Bahkan listrik murah berbahan bakar Batu Bara saja sekarang masih disubsidi pemerintah untuk jutaan pelanggan listrik. 

Jadi untuk apa menuding pemerintah dengan opini meragukan bahwa pemerintah membunuh rakyatnya dengan polusi jika kemudian rakyat tak mendapatkan listrik karena pembangkit berhenti? Belum lagi rilis riset yang dikeluarkan Greenpeace terlalu hiperbolik, berlebihan dan layak diragukan kebenarannya. 

Kenapa? Karena partikel debu pembakaran batu bara yang sudah ditangani dengan sistem penanggulangan polisi di pembangkit hampir tak mungkin sampai di Jakarta seperti tudingan Greenpeace. Kita masih ingat saat PSBB awal Covid-19 menyerang, langit Jakarta cerah, udaranya sehat padahal Pembangkit Suralaya dan seluruh pembangkit PLN beroperasi. 

Jadi dimana bukti partikel debu dari Suralaya menyerang Jakarta? Greenpeace harus menjawab ini dan membuktikan rilisnya secara faktual.

Sebaiknya Greenpeace tidak menebar horor di negeri ini, apalagi jika opini-opininya yang disebut sebagai riset punya agenda tertentu yang belum terungkap. Jangan halangi Indonesia untuk maju ekonominya, maju berkembang industrinya, investor berduyun-duyun masuk dengan opini-opini horor. Bukti paling faktual, tidak ada tuh pekerja PLTU yang mengalami kematian dini..!!

Dir. Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)

Berita terkait
EWI ke Yasin Limpo: BUMN Bukan Penampungan Anak Pejabat
EWI menyayangkan penempatan putri Mentan Syahrul Yasin Limpo, yakni Indira Chunda Thita Syahrul sebagai Komisaris di salah satu perusahaan BUMN.
Pelecehan Said Didu ke Rahayu, EWI: Lelaki Tua Memalukan
Said Didu dan politisi Partai Demokrat Cipta Panca Laksana diduga telah melecehkan Calon Wali Kota Tangerang Selatan Rahayu Saraswati.
Ferdinand ke KAMI: Galangan Politik Berbau Opini
Ferdinand mengatakan dibentuknya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) oleh Din Syamsuddin Cs hanya galangan politik yang berbau opini.
0
Bestie, Cek Nih Cara Ganti Background Video Call WhatsApp
Baru-bari ini platform WhatsApp mengeluarkan fitur terbarunya. Kini Background video call WhatsApp bisa dilakukan dengan mudah.