Disclaimer: Ini pengalaman pribadi penulis, beberapa tulisan lepas dipublikasikan melalui blog (kompasiana.com/infokespro) dan di Tagar.id. Berkat tulisan saya sudah puluhan orang yang saya bantu dari Tanah Air, Timur Tengah, Taiwan bahkan dari Jerman untuk berobat. Redaksi.
Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id – Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari WIB pada hari Minggu, 12 Maret 2023, ketika itu terbangun dan terasa nyeri di rusuk kanan saat bernapas.
Ada apa (lagi)?
“Ada benda yang masuk, Pak,” itulah jawaban Pak Ajie dari Cilegon, Banten, beberapa menit kemudian membalas WA saya.
Kali ini saya tidak harus menunggu lama untuk bisa ke rumah Pak Ajie karena beberapa teman yang murah hati memberikan bantuan. Terima kasih untuk teman-teman.
Soalnya, beberapa kali ada benda kiriman di banda saya terpaksa harus menunggu agar bisa ke rumah Pak Ajie (Cilegon) atau Bu Haji Emun (Pandeglang) keduanya di Banten.
Suatu hari kaki kiri saya kesemutan. Di Poli Jantung di sebuah RSUD di Jakarta Timur sudah dicek dengan rontgen dan rekam jantung tidak ada kaitannya dengan jantung. Dari Poli Jantung dirujuk ke Poli Saraf. Dengan pengobatan kesemutan mulai hilang. Tapi, kesemutan muncul lagi.
“Ya, Pak, ada benda di betis,” ini jawaban Pak Ajie tekait kesemutan di kaki kiri saya.
Namun, saya tidak bisa segera ke Cilegon karena terbentur ketiadaan biaya.
Ketika biaya sudah di tangan, saya kirim WA bikin janji ketemu di rumah Pak Ajie.
“Bendanya sudah naik ke kepala, Pak,” ini WA dari Pak Ajie.
Memang, belakangan tidak kesemutan berkurang tapi nyeri di kepala di atas telinga kiri.
Benar saja. Pak Ajie tarik paku berbentuk siku dari kepala saya dan satu lagi di betis kiri. “Ini sengaja supaya susah ditarik,” ujar Pak Ajie tentang bentuk paku itu.
Saya sudah jadi sasaran tuyul, tanah pamuragan, tumbal untuk pesugihan dan sasaran santet sejak tahun 1983, tapi saya baru mengetahui hal itu tahun 2001 setelah bertemu dengan Bu Haji Emun dan Pak Ajie serta yang lain di Kab Tasikmalaya dan Kota Banjar (keduanya di Jabar).
Beban berat yang saya hadapi adalah keterbatasan dana, terutama untuk ongkos dan biaya diperjalanan karena untuk terima kasih seikhlas kita, karena pihak kiri-kanan tidak ada yang mau membantu.
Salah seorang saudara di kampung semula mau bantu, tapi belakangan dia menolak karena kata dia: “Na manjalaki hepeng do halai i.” (Maksudnya, dia katakana (kira-kira begini): Bu Haji dan Pak Ajie itu hanya cari uang. Astagafirullah ….
Yang ironis, justru ada dari lingkungan keluarga yang ikut membayar dukun untuk menyantet saya. Tidak jelas apa alasan mereka menyantet saya karena tidak ada perselisihan. Akibatnya, ada noda hitam di mata kiri saya. Saya sudah berobat, bahkan ke klinik mata terkenal di Jakarta, tapi noda hitam itu tidak bisa didiagnosis secara medis.
Beberapa bulan kemudian lagi-lagi kaki kiri saya kesemutan. Seperti biasa saya kirim WA ke Pak Ajie yang kemudian membalas bahwa ada benda yang masuk ke kaki.
Inipun tidak bisa segera ke rumah Pak Ajie. Setelah ada biaya saya ke Cilegon.
Benda, paku, sudah tidak di kaki lagi tapi sudah naik ke pinggang. Kalau tak cepat ditarik, menurut Pak Ajie, benda sudah diarahkan ke, maaf, penis.
Baca juga: Santet dengan Paku dari Betis Naik ke Atas Menyasar Selangkangan
Saya hanya bisa pasrah dan tentu saja berdoa agar orang-orang yang membayar dukun ditunjuki YMK agar berhenti untuk mengirim santet ke saya.
Nyeri di dada ketika bernapas melalui hidung sudah saya alami tiga kali. Kali pertama di awal tahun 2001 dan yang kedua tahun 2009.
Yang pertama orang rumah bilang itu terkait dengan urat saraf, maka dianjurkan mencari tukang pijit saraf.
Begitu juga dengan kejadian yang kedua ketika nyeri di rusuk waktu bernapas, seorang temanpun mengatakan itu karena urat saraf.
Kala kali pertama saya belum kenal dengan Bu Haji dan Pak Ajie sehingga saya ikuti saja saran orang rumah. Tapi, tetap saja nyerinya tidak berkurang bahkan kala itu terjadi di rusuk kiri dan kanan.
Kondisinya sangat tersiksa karena kalau bersin atau batuk rasanya tulang rusuk naik ke atas dan pandangan nanar.
Derita saya berkurang ketika dipijit oleh Pak Ali di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Dia mengatakan sakit yang saya derita tidak sepenuhnya karena saraf, tapi dia membantu saya mengurangi nyeri di rusuk.
Yang kedua semula saya pikir nyeri di rusuk itu karena terbentur ke pegangan kursi penumpang di kapal feri Merak-Bakauheni pp.
Ketika menunggu tukang pijit saraf saya terpikir ke Pak Ajie yang langsung saya kirim SMS, waktu itu baru ada SMS di ponsel (2009).
“Bawa ke sini aja, Pak,” pinta Pak Ajie.
Saya ke Cilegon bersama putri saya dengan bus. Sampai di rumah Pak Ajie sudah sore.
Benar saja ternyata yang mengganjal di tulang rusuk jarum sehingga terasa nyeri kalau bernapas karena tulang rusuk terangkat.
Orang-orang yang dijadikan tumbal untuk pesugihan disantet agar celaka. Nah, kalau sudah celaka ‘kan sakit dan butuh biaya pengobatan. Di sinilah pemilik pesugihan berperan dengan memberikan bantuan pengobatan sampai meninggal.
Selanjutnya setelah meninggal juga masih mereka urus pemakamannya di tempat yang mereka tentukan untuk memudahkan langkah mereka selanjutnya.
Setelah dimakamkan menjelang magrib ada kerabat atau suruhan pemilik pesugihan untuk mengambil sesuatu yang keluar dari makam tumbal tadi yaitu berupa asap.
Itu artinya tumbal yang dijanjikan sudah dipenuhi, selanjutnya mengatur siasat jahat untuk tumbal berikutnya. Begitu seterusnya sesuai dengan jumlah tumbal yang disepakati di awal.
Celakanya, orang-orang yang dijadikan tumbal justru jadi objek yang dihina, diejek, dicaci-maki, dan seterusnya dianggap sebagai orang yang bodoh karena percaya kepada takhayul.
Ironisnya, tidak sedikit pula orang yang mengejek dan mencaci korban santet justru pemuja setia jasa dukun (santet). []
* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id