Untuk Indonesia

Saiful Azhar dan Mereka yang Sulit Melupakan Tsunami

Saiful Azhar dan mereka yang sulit melupakan tsunami. Banyak korban nyawa. Harta benda dan infrastruktur hancur. Di Suak Indra Puri, 2.000 jiwa dikebumikan.
ZIARAH KUBURAN MASSAL TSUNAMI: Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman (ketiga kanan) bersama tokoh agama dan masyarakat menabur bunga di kuburan massal korban tsunami 26 Desember 2017 seusai menggelar doa dan zikir bersama pada peringatan 13 tahun tsunami di Banda Aceh, Aceh, Selasa (26/12). Gelombang tsunami akibat gempa berkekuatan 9,2 skala ricter di Samudera Hindia mengakibatkan 230.000 jiwa meninggal dan puluhan ribu bangunan rusak di 13 negara terdampak. (Foto: Ant/Irwansyah Putra)

Ketika ditanya kenapa sulit melupakan tsunami, Saiful menangis. Dirinya masih merasakan saat-saat istri dan anak-anaknya terlepas dari tangan. "Istri bersama lima orang anak saya sampai sekarang tidak ketemu. Saya kemari untuk ziarah, tidak ada istri ataupun anak saya di kuburan massal ini, tidak ketemu jasad mereka entah di mana?" kata Saiful sedih.

Permukiman itu sudah lama ditinggalkan. Menjadi pemandangan tak biasa permukiman eks Gampong/Desa Padang Seurahet, Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, terlihat ramai.

Orang-orang datang membawa anak cucu untuk memperingati 13 tahun gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004. Walau laju pembangunan nyaris tak menyisakan saksi sejarah, bencana tersebut dikenang. Tidak mudah untuk dilupakan.

Masjid Baitil Atiq adalah salah satu monumen sejarah desa itu, yang hingga kini tidak terurus. Bangunannya masih berantakan. Konstruksi kubah masjid yang dirusak tsunami terlihat seperti bangunan tua.

"Setiap tahun pasca tsunami, di sini kami adakan kenduri. Banyak kenangan yang membuat saya tidak bisa jauh dari masjid ini, walaupun kondisinya masih seperti baru kemarin kena gelombang tsunami," kata T Irhami (48), warga setempat.

Gempa disusul gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 meluluhlantakkan desa tersebut. Semua bangunan disapu gelombang. Total korban penduduk desa terdata 376 jiwa. Tidak banyak yang selamat karena keberadaan mereka saat itu di tepi pantai.

Bangunan Masjid Baitul Atiq Desa Padang Seurahet terletak di dekat bibir pantai desa. Masjid ini tidak hancur porak-poranda akibat gelombang tsunami 2004, bahkan warga yang menyelamatkan diri ke atas masjid ini masih bisa selamat.

Saat gempa berkekuatan 9,2 sampai 9,3 scala Richter (SR) menguncang Aceh, hanya berselang sekitar 15 menit disusul tsunami dari arah barat laut pantai yang seakan menelan permukiman penduduk, sehingga mereka terseret dan hanyut ditelan gelombang.

Catatan Kelam

Warga setempat masih bisa menunjukkan sisa-sisa bangunan lama yang tidak hancur total.

Di bangunan bertingkat dekat pantai itu pernah tersangkut mayat-mayat korban tsunami yang terseret gelombang, tertimpa material, dan tertusuk besi bangunan.

Warga setempat meluruskan sedikit cerita yang berkembang. Ada pandangan miris yang menyatakan, pada Sabtu, 25 Desember 2004, desa mereka mengadakan kegiatan maksiat secara agama, yakni pesta dengan tidak berbusana.

Catatan kelam tersebut tidak semuanya benar. Pada malam itu hanya ada beberapa kegiatan pesta euforia musik organ tunggal, mabuk-mabukkan sehingga sempat terjadi keributan antara warga dan tokoh masyarakat desa yang saat itu memaksa pesta dihentikan. Namun, tak ada yang peduli.

Siapa sangka esok harinya gempa berkekuatan 9,2 SR menguncang. Bangunan roboh dan menimpa warga.

Mereka yang mengenali gejala alam itu beramai-ramai ke pantai menggelar yasinan dan azan di masjid.

"Saya sendiri yang sempat menginggatkan, hentikan menari keyboard dan mabuk-mabukkan. Ternyata apa yang diramalkan orang tua kami benar, kami pikir pagi, Minggu, itu sudah kiamat setelah gempa desa kami tenggelam. Tidak ada daratan," cerita Irhami.

Di lokasi masjid tersebut telah dibangun satu monumen sejarah "Kulah Air dan Jam Dinding" bertuliskan pukul 08.30 WIB berikut 376 nama-nama korban tsunami.

Jumlah korban tersebut masih variatif karena banyak keluarga yang luput dari pendataan.

Kuburan Massal

Di Kabupaten Aceh Barat terdapat dua pemakaman umum sebagai kuburan massal korban gempa dan tsunami 2004. Satu lokasi di Suak Indra Puri, Kecamatan Johan Pahlawan, dan satunya lagi pemakaman umum di Desa Beureugang, Kecamatan Kaway XVI.

“Walau sudah berlalu 13 tahun, detik-detik kejadian tsunami masih terlintas,” kata Saiful Azhar (62).

“Bahkan, saat mata terpejam, terasa badan gemetaran, seakan bencana itu masih ada,” imbuhnya.

Saiful, tokoh Desa Pasir, Kecamatan Johan Pahlawan itu, ditemui di kompleks pemakaman korban tsunami di Desa Suak Indra Puri, Kecamatan Johan Pahlawan.

Saiful menangis ketika ditanyakan kenapa sulit melupakan tsunami? Dirinya masih merasakan saat-saat istri dan anak-anaknya terlepas dari genggaman tangannya.

"Istri bersama lima orang anak saya sampai sekarang tidak ketemu. Saya tidak masalah dibuat acara zikir dan doa di manapun. Saya kemari untuk ziarah, tidak ada istri ataupun anak saya di kuburan massal ini, tidak ketemu jasad mereka entah di mana?" kata Saiful.

Tigabelas tahun lalu, ia kehilangan seorang istri dan lima orang anak saat bencana itu datang. Walau datang berziarah pada setiap momen peringatan gempa tsunami, ada yang terasa hampa dalam dirinya karena masih bertanya-tanya di mana kubur keluarganya.

Tanpa Tanda

Pemakaman umum kuburan massal korban gempa dan tsunami ramai dikunjungi masyarakat pada momen-momen tertentu, seperti menyambut Ramadhan, Lebaran, dan peringatan hari besar umat non-Muslim.

Seperti di kuburan massal Suak Indra Puri, Johan Pahlawan, di sana tidak hanya terkubur orang-orang beragama Islam, tetapi juga korban tsunami non-Muslim. Akan tetapi, sayangnya tidak ada sedikit pun pertanda yang bisa dilihat keluarga saat ke lokasi.

Keluarga korban tsunami, Selasa (26/12/2017) pagi, melakukan ritual keagamaan sesuai dengan tradisi. Umat Islam membaca yasin, sementara yang non-Muslim seperti warga Tionghoa beragama Buddha, membakar dupa, dan membawa makanan ke kuburan massal itu.

Kebersamaan mereka terlihat tidak begitu menarik perhatian warga lain karena masing-masing sibuk dan larut dalam doa sesuai kepercayaanya. Akan tetapi, ziarah makam tersebut tidak berlangsung lama, seakan ada tersirat rasa yang kurang saat datang.

"Di kuburan massal ini terkubur korban tsunami yang hanya bisa dibedakan waktu itu jenis kelamin. Itu pun dari potongan rambut. Satu kain kafan putih kemudian langsung ditimbun dalam satu lubang yang dikeruk dengan alat berat," kata Saiful.

Di lokasi Suak Indra Puri, terdapat prasasti bertuliskan sejarah singkat 26 Desember 2004. Disebutkan, terjadi gempa bumi di Nanggro Aceh Darussalam dan Nias Sumatera Utara berkekuatan 9,2 SR yang diikuti terjadinya gelombang tsunami yang mengakibatkan tidak kurang dari 132.000 orang meninggal dan 37.000 dinyatakan hilang.

Banyak korban nyawa, harta benda, dan infrastruktur yang hancur. Salah satunya dapat dilihat dari makam massal Suak Indra Puri, terdapat 2.000 jiwa dikebumikan dan masih terdapat beberapa lokasi syuhada tsunami di lokasi lainnya.

Misi Nonperang Terbesar

Melihat dampak kerusakan yang terjadi, hampir seluruh dunia memberikan bantuan dalam berbagai bentuk kepada masyarakat NAD dan Nias. Tercatat sebanyak 44 negara sahabat turut membantu secara langsung dalam misi kemanusiaan.

Pada fase tanggap darurat, tercatat pula sebanyak 16.000 anggota pasukan negara-negara sahabat diterjunkan dalam apa yang disebut para pengamat sebagai misi nonperang terbesar setelah perang dunia kedua.

Sembilan kapal induk, 14 kapal perang, 31 pesawat terbang, dan 75 helikopter dikerahkan dalam misi penyelamatan, evakuasi, penyaluran logistik, dan bantuan medis.

Pada peringatan 13 tahun gempa tsunami Kabupaten Aceh Barat, agendanya dipusatkan dengan kegiatan zikir dan doa bersama serta penyantunan anak yatim di Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh. Acaranya berlangsung sejak pukul 09.00 WIB dengan tamu undangan sebanyak 3.500 orang.

Saat acara zikir akbar, doa bersama, dan santunan anak yatim di Masjid Agung, Bupati Aceh Barat H Ramli, MS dalam sambutanya menyampaikan, peristiwa yang sudah berlalu 13 tahun itu hendaknya menjadi iktibar dan introspeksi diri untuk memperbaiki kelakuan.

"Mengenang tsunami menjadi iktibar yang berharga bagi kita untuk senantiasa melakukan introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan pada masa lalu dan menjadi pedoman untuk masa yang akan datang," tuturnya.

Selama kegiatan berlangsung, nelayan pantang melaut atau tidak dibolehkan melaut. Pertokoan tutup dan warga serta perkantoran menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang sejak 25 hingga 27 Desember 2017.

[caption id="attachment_37446" align="aligncenter" width="712"] PERSIAPAN MELAUT USAI LIBUR TSUNAMI: Nelayan menyiapkan alat tangkap jaring untuk kembali melaut setelah libur memperingati 13 tahun bencana tsunami di Banda Aceh, Aceh, Rabu (27/12). Para nelayan libur sesuai dengan keputusan musyawarah panglima laut yang sejak 2005 tentang larangan melaut pada 26 Desember sehingga mengakibatkan tingginya harga akibat kurang pasokan. (Foto: Ant/Irwansyah Putra)[/caption]

Hampir seluruh masjid di seputar Kota Meulaboh yang terkena tsunami mengadakan ritual keagamaan, diisi doa, zikir, dan tausiah agama. Masyarakat untuk satu hari itu terhenti dari aktivitas bisnis, berkumpul bersama keluarga.

Pembangunan Aceh sebelum tsunami sangat jauh tertinggal. Malahan di tengah Kota Meulaboh masih ada rumah beratapkan daun rumbia.

Masa rehab rekon Aceh-Nias sudah usai dan pembangunan perkotaan daerah itu sangat jauh meningkat. Sudah ada perumahan penduduk dalam kompleks yang tertata.

Demikian pula, gedung dan bangunan bertingkat dibangun pasca tsunami. Aceh dahulu dengan yang sekarang sangat jauh berbeda, baik pembangunan maupun sikap nasionalisme warga negara daerah itu. (Anwar/ant/yps)

Berita terkait
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)