Rusia Vs Ukraina: Krisis Energi Eropa Bisa Jadi 'Peringatan besar'

Pouyanne mengatakan Eropa perlu membangun lebih banyak infrastruktur untuk mengimpor LNG tambahan jika menginginkan alternatif untuk gas Rusia.
Patrick Pouyanne, Ketua Dewan dan Kepala Eksekutif Total, menghadiri sesi Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF), Rusia 25 Mei 2018. ANTARA/REUTERS/Sergei Karpukhin.

Jakarta - Kepala eksekutif raksasa energi Prancis TotalEnergies mengungkapkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina menjadi "peringatan besar" bagi negara-negara di Eropa yang berharap dapat menyeimbangkan kebutuhan bahan bakar fosil dengan masalah lingkungan.

Eropa bergantung pada gas alam Rusia, yang memasok sekitar 40 persen dari kebutuhannya. Pada Senin, 7 Maret 2022, harga gas acuan melonjak ke rekor tertinggi, karena para pedagang khawatir Rusia dapat membatasi pasokan.

"Apa yang terjadi hari ini di Eropa adalah peringatan besar bagi banyak pembuat kebijakan jika mereka serius tentang keamanan pasokan, keterjangkauan, dan tentu saja kompatibilitas perubahan iklim," kata Kepala Eksekutif TotalEnergies Patrick Pouyanne pada konferensi energi CERAWeek di Houston seperti dilansir Antara.

"Kita harus memikirkan tiga bagian dari segitiga ini dan tidak berpikir bahwa hanya satu bagian yang penting."

Eropa bertujuan untuk secara tajam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam beberapa dekade mendatang untuk memerangi perubahan iklim, dengan pemerintah-pemerintah membatasi produksi minyak dan gas dan pembiayaan proyek bahan bakar fosil.

Sementara kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin Eropa telah tumbuh tajam dalam beberapa tahun terakhir, sistem tenaga dan energinya tetap sangat bergantung pada gas alam dan batu bara.

Pouyanne mengatakan Eropa perlu membangun lebih banyak infrastruktur untuk mengimpor LNG tambahan jika menginginkan alternatif untuk gas Rusia.

"Kenyataan di Eropa adalah kita tidak memiliki cukup terminal gas ulang hari ini untuk menggantikan volume gas pipa dari Rusia dengan LNG."

Pouyanne mengatakan TotalEnergies tidak berada di bawah tekanan pemerintah untuk sepenuhnya keluar dari Rusia setelah invasi Ukraina.

TotalEnergies adalah satu-satunya perusahaan energi besar Barat yang tidak berencana untuk sepenuhnya keluar dari Rusia; BP, Shell dan Exxon semuanya mengumumkan niat mereka untuk mundur. TotalEnergies mengatakan akan menghentikan semua pengeluaran baru di Rusia.

Perusahaan minyak utama Prancis itu memiliki 19,4 persen kepemilikan di Novatek, produsen gas alam cair (LNG) terbesar di Rusia, serta saham di proyek LNG Arktik yang dipimpin Novatek.

"Saya jelas telah berdiskusi dengan otoritas tertinggi di negara saya dan tidak ada dorongan dari mereka bagi kami untuk keluar dari Rusia," kata Pouyanne pada pertemuan para eksekutif energi.

Pouyanne mengatakan bahwa sanksi Barat terhadap Rusia mengecualikan gas alam dan karena itu tidak akan konsisten bagi perusahaan yang memproduksi gas untuk keluar dari negara itu.

Namun TotalEnergies telah berhenti membeli minyak dari Rusia, Pouyanne menambahkan, meskipun salah satu kilangnya yang terkurung daratan di Jerman terus menerima minyak mentah Rusia melalui pipa.[]

Baca Juga:

Berita terkait
3 Orang Terkaya Rusia yang Protes Putin Bombardir Ukraina
Seperti diketahui, daftar sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara barat terhadap Rusia terus bertambah panjang.
Rupiah Melemah Senin Pagi Tertekan Dampak Konflik Rusia-Ukraina
Pada awal pekan ini, rupiah awal diperkirakan bergerak di kisaran Rp14.430 per dolar AS hingga Rp14.470 per dolar AS.
Mastercard dan Visa Tangguhkan Operasi di Rusia
Langkah itu merupakan pukulan baru terhadap sistem keuangan di negara itu, setelah Moskow menginvasi Ukraina
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.