Rukka Sombolinggi: Sekolah Adat Agar Masyarakat Adat Tak Punah dari Peradaban

Ada 31 sekolah adat, apa yang dipelajari, apa berbeda dengan sekolah yang dikenal pada umumnya anak Indonesia?
Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 23/4/2018) - Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan bahwa dengan adanya sekolah adat maka masyarakat adat akan terus ada.

"Visiku tentang masyarakat adat menjadi sangat terang dengan sekolah adat. Berarti kami tidak akan punah, kami akan ada," kata Rukka.

Masyarakat adat, menurut dia adalah penyintas yang telah selamat dari masa ke masa. Mereka telah melewati berbagai macam rezim, dari masa Kerajaan Hindu - Buddha, masa Kesultanan, datangnya kolonial Belanda hingga saat ini.

Di setiap masa tersebut, mereka menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Penghancuran paling besar menurut dia terjadi saat ini ketika mereka dijajah budayanya dan dirampas ruang hidupnya karena investasi.

Diskriminasi sosial serta desakan korporasi atas ruang hidup masyarakat adat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat adat rentan punah, belum lagi sistem pendidikan yang mendogma anak-anak untuk keluar kampungnya yang dia sebut sebagai 'ilmu untuk ke luar kampung'.

Menurut dia ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah formal sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka di kampung, sehingga memaksa para pemuda untuk keluar dari sana.

Akhirnya anak-anak tersebut memilih bekerja di kota ketimbang di kampungnya sendiri, akhirnya tinggallah orang-orang tua yang menetap di kampung tanpa ada anak muda yang membangun desanya. Hal tersebut membuat korporasi dengan mudah mengambil alih desa mereka.

Rukka mengatakan pandangan tersebut juga diperkuat dengan media propaganda seperti banyaknya iklan perumahan atau sinetron yang menggambarkan kehidupan yang layak hanya berada di kota.

"Kampung-kampung yang kosong ini sangat mudah diinvasi oleh perusahaan, makanya para pemuda adat ini sudah sadar dan membuat gerakan kembali ke kampung," kata perempuan berdarah Toraja tersebut.

Dia mengatakan sekolah adat yang diinisiasi oleh AMAN muncul kesadaran dari para muda adat yang melihat krisis solidaritas antara kampung dan kota di Indonesia, di mana orang kampung selalu dianggap bodoh, terbelakang dan tidak pernah membuat pilihan rasional.

Padahal di saat yang sama, orang-orang kota sedang menikmati makanan yang dihasilkan dari tanah di kampung.

Hal itulah yang menjadi kritik para pemuda bahwa ada persoalan besar di mana mereka terus-menerus distigma tetapi kondisi di kampung sendiri juga sudah krisis karena anak-anak muda yang harusnya membangun kampung malah meninggalkannya karena mereka berpandangan kehidupan hanya ada di kota.

Mereka pun mulai kembali ke kampung dan menelusuri jejak leluhur, mereka datang kepada orang tua dan bertanya tentang sejarah kampung mereka. Dari situ mereka menyadari bahwa banyak informasi seperti yang tidak diketahui oleh anak muda.

Pengetahuan tersebut juga tidak pernah diajarkan di sekolah formal. Akhirnya mereka mendirikan sekolah adat untuk menjembatani pengetahuan yang terputus antargenerasi tersebut.

Saat ini AMAN memiliki 31 sekolah adat. Di dalam sekolah adat itu, anak-anak diajarkan berbagai hal yang sesuai dengan kebutuhan dan kegiatan sehari-hari.

Setiap daerah memiliki fokus pendidikan berbeda, ada yang memulai dengan mengajarkan tentang ksatria, ada yang memulai dengan mengajarkan menari dan menyanyi, ada juga yang mengajarkan cara bertani serta membuat makanan.

Anak-anak secara aktif terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar, mereka langsung ke lapangan dan menerima langsung ilmu dari orang tua di sekitar lingkungan mereka.

"Jadi gurunya juga banyak, mereka langsung terjun dengan masyarakat" kata dia.

Dia mengatakan antusiasme para orang tua dan anak-anak tersebut menggambarkan kerinduan akan pengetahuan lokal daerahnya masing-masing.

Para pemuda adat tersebut mendirikan sekolah adat dengan biaya sendiri, namun seiring waktu berjalan banyak pihak-pihak luar yang menawarkan bantuan untuk sekolah adat tersebut.

Biasanya bantuan yang mereka perlukan jika benda tersebut tidak tersedia di kampung tersebut, misalnya buku.

Sekolah adat tersebut pun berbadan hukum, di bawah Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara, di mana setiap sekolah wajib mempunyai surat keterangan terdaftar dan didaftarkan ke pemerintah sehingga setiap sekolah dapat mengakses bantuan jika ada dari pemerintah.

Selain membuat sekolah adat, mereka juga memasukkan pelajaran lokal tersebut dalam kurikulum sekolah formal.

"Ada di beberapa tempat misalnya di Toraja dan di tempat-tempat yang hubungan masyarakat adat dengan pemerintah memang dekat, sehingga pelajaran yang ada pada masyarakat adat dapat dimasuk dalam muatan lokal," kata Rukka.

Dia berharap dengan adanya sekolah adat dapat membuka pikiran para pemuda desa untuk menjaga wilayah adat mereka, tidak hanya teritorinya saja tetapi seluruh aspek yang ada di dalamnya, seperti pemerintahannya, pengetahuannya, hukumnya, serta sumber dayanya agar dapat dikelola secara lestari dan adil. (ant/af)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.