Dari Sekolah Adat Koha Telusuri Kearifan Minahasa Melalui Tari Kawasaran

Menelusuri jejak kearifan lokal Minahasa melalui Tari Kawasaran.
Tari Kawasaran salah satu upaya menelusuri jejak leluhur Minahasa. (Foto: Dok. AMAN)

Jakarta, (Tagar 23/4/2018) - Sekolah Adat Koha berlokasi di Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Nadine Helene aktivis dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pendiri Sekolah Adat Koha menjelaskan silabus dan metode pembelajaran dalam Sekolah Adat Koha ini lebih banyak memberikan pengantar, lalu peserta menemukan langsung di lapangan kemudian didiskusikan dengan para tetua adat, atau ahli sejarah dan budaya.

Orang-orang muda yang berhimpun di sekolah ini menggali tradisi leluhur, menelusuri jejaknya, mempelajarinya, sekaligus mewarisi kearifan lokal leluhur Minahasa yang mengajarkan bagaimana mengelola lingkungan, hutan, untuk kelangsungan hidup.

Sekolah Adat Koha menyasar anak muda sebagai target utama, pertimbangannya mereka dinilai paling rawan digilas modernisasi.

Mereka juga mempelajari asal-usul suku Minahasa, pengetahuan obat-obatan tradisional, pangan lokal, cara bertani, lagu, bahasa daerah, dan tarian seperti kawasaran.

Orang-orang muda yang menyebut diri mereka Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) wilayah Sulawesi Utara yang berasal dari Minahasa ini mempelajari Tari Kawasaran sebagai salah satu upaya menelusuri jejak leluhur. 

Menelusuri jejak leluhur, bagi BPAN, adalah satu gagasan untuk kembali kepada identitas budaya. Gagasan yang sudah berjalan ini dalam capaian sementara menunjukkan bahwa Masyarakat Adat memiliki identitas atau jati diri: asal-usul lengkap dengan pranata sosial, kearifan lokal bahkan pengetahuan tradisional serta wilayah adat.

Tari Kawasaran adalah tarian perang Suku Minahasa di Sulawesi Utara. Kawasaran berasal dari kata Kawak (lindung) dan Asaran (ikuti orang tua). Jadi, Kawasaran bermakna mengikuti ajaran leluhur, lalu melestarikan dan terutama untuk melindungi warisan turun-temurun. 

Konon Masyarakat Adat Minahasa menggelar tarian ini ketika akan ataupun sesudah berperang. Tarian ini juga dipersembahkan pada upacara-upacara adat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang meninggal di medan perang. Kawasaran di sisi lain menggambarkan betapa semangat perjuangan itu harus tetap ada, terawat dan terpelihara.

Sebelum memulai tarian selalu ada tata cara yang wajib diperagakan. Para penari memberi hormat (sumigi) kepada lawan perang sebagai tanda penghormatan sekaligus nama baik. Jumlah penari selalu ganjil, mulai dari 3, 5, 7, 9. Biasanya penari terdiri dari sembilan orang seturut dengan makna sembilan sebagai angka keramat bagi orang Minahasa.

Selanjutnya terbagi tiga babak permainan dalam tarian ini pertama, Sumakalele (berlaga) di mana para penari akan beraksi saling menyerang laiknya dalam peperangan sungguhan; kedua, Kumoyak (bermain jiwa) menceritakan bagaimana menghibur jiwa dan menenangkan jiwa setelah ikut berperang; ketiga, Lalaya’an (kemenangan) dengan muka tersenyum sambil menari menandakan peperangan usai dan menang.

Tambor, alat musik pukul dari kulit kambing atau rusa adalah alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini disertai dengan aba-aba dari pemimpin tarian.

Kostum yang digunakan terdiri dari kain tenun Minahasa untuk ikat pinggang, paruh burung Taong (simbol kebesaran), bulu ayam jantan, tengkorak monyet (simbol kehebatan prajurit perang yang berhasil membunuh musuh) dan baju kulit kayu. Warna kostum, merah, adalah simbol keberanian. Perlengkapan lainnya adalah pedang (santi), perisai (kelung), tombak (wengkow).

Saat ini tarian Kawasaran digunakan dalam berbagai acara untuk mengusir dan membunuh roh jahat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kampung halaman agar tetap lestari, damai atau jauh dari niat jahat seperti halnya hantu bisnis.

Menjaga tanah Minahasa adalah tugas bersama baik laki-laki maupun perempuan yang tercermin dalam Kawasaran. Prinsip kesetaraan ini tampak pada praktiknya, penari terdiri dari perempuan dan laki-laki atau salah sebagian saja. Sembilan perempuan atau sembilan laki-laki. Ini pun menjadi alat perjuangan.

Bagi tou (orang) Minahasa, berperang adalah sesuatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani dan punya semangat perjuangan. Prajurit perang Minahasa disebut Waraney. Kini tou Minahasa tidak lagi berperang melalui kaki dan tangan manusia, tetapi dengan ‘otak’ (cara pandang).

Refleksi bagi pemuda masa kini dalam melestarikan budaya, pemuda adat jangan jadi penonton tapi 'aktor'. Zaman boleh berubah tapi pemuda adat kukuh mempertahankan identitasnya. Dengan adanya proses menelusuri jejak leluhur seperti ini, pemuda adat harus selalu berdiri kuat, memiliki semangat juang dan berani melawan penggusuran, pemetaan sepihak oleh negara, menolak hadirnya perusahaan tanpa persetujuan Masyarakat Adat. (af)

Berita terkait