Ritual Marapu, Bebas Pertikaian Antaragama

Dalam jaringan keluarga Sumba, terjadinya perkawinan antariman sebuah kelaziman. Itu sebabnya, Sumba bebas dari pertikaian antarpemeluk iman.
Penguburan tarik batu adalah salah satu ritual Marapu di Sumba, Nusa tenggara Timur, yang sampai saat ini masih dilestarikan dan dapat menjadi salah satu bagian wisata di NTT (Foto: Ist)

Sumba, NTT, (Tagar 8/5/2017) - Kepunahan, sebentuk kegagalan untuk sintas dalam perjalanan evolusioner, adalah situasi yang tak diinginkan.

Sinonim kepunahan adalah kebinasaan. Tuhan membinasakan jiwa-jiwa dari mereka yang tak percaya, tak beriman, demikian teks salah satu agama wahyu berbunyi.

Pembinasaan itu setara dengan pelenyapan tanpa sisa-jejak-bekas senokta pun.

Pengikut agama-agama utama, Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha punya sikap serupa. Bersyiar, berpromosi, mengabarkan pesan teks suci hingga ke ujung bumi untuk memenuhi titah Sang Pencipta adalah misi pengikut agama-agama besar.

Mereka tak hendak membiarkan tuntunan iman mereka meredup dan punah ditelan buldozer modernisme, pascamodernisme. Mereka, para pemeluk agama-agama besar itu, juga tak rela anak-anak cucu mereka berpaling dari keyakinan orang tua.

Bagi pemeluk teguh Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, murtad adalah sejenis dosa besar yang tak berampun. Orang tua, yang memegang teguh prinsip keagamaan, mengucilkan anak-anak yang pindah iman. Tak sedikit perkawinan antariman dilakukan tanpa restu orang tua.

Semua itu kontras dengan sikap para pemeluk Marapu, agama atau kepercayaan pribumi orang-orang di Sumba.

Rata-rata pemeluk agama pribumi, yang semua ajaran dan ritualismenya didasarkan pada tradisi lisan, adalah mereka yang berusia di atas 40 tahun. Mereka yang di bawah usia itu sudah terkristenkan lewat lembaga pendidikan yang dibangun para misionaris.

Sebagian juga murtad menjadi Muslim karena hasil perkawinan dengan pendatang yang beragama Islam.

Pemeluk agama leluhur yang dipraktikkan di Sumba itu, seperti umumnya bentuk keyakinan tradisional di Nusantara, tak punya teks suci tertulis sebagai dasar bekeyakinan.

Yewa Patidangu (58), yang kelima putra-putrinya menyempal dari keyakinan sang orang tua, memberi kebebasan mereka untuk pindah keyakinan.

Warga Desa Paraibakul, Kecamatan Haruru, Sumba Timur, itu mengatakan agama Marapu suatu saat nanti pasti ditinggalkan oleh penduduk Sumba, cepat atau lambat.

Banyak warga, terutama yang muda-muda, di sini sudah menjadi pemeluk Kristen, sebagian Islam. Seperti Juriah, perempuan berusia 52 tahun, yang menjadi Muslimah setelah menikah dengan pria Muslim yang datang dari luar Sumba.

Yewa masih mempraktikkan ritual ibadah Marapu, yang dipimpin seorang imam semacam kepala suku, yang kehadirannya muncul lewat musyawarah adat Marapu.

Bila pemimpin spiritual Marapu, yang disebut dengan julukan unang, meninggal dunia, pengikut Marapu tak memilih pengganti berdasarkan keturunan sang unang. Yang akan menjadi penggantinya adalah orang yang dianggap komunitas Marapu mempunyai kemampuan berpikir paling tinggi.

Apa parameter kemampuan berpikir tinggi itu? Kata-katanya bisa menjadi panutan, adil dalam berperilaku dan disegani oleh sesama pengikut Marapu.

Sekretaris Dinas Pariwisata Sumba Timur Risparia Ranggambani mengatakan, pengikut Marapu senantiasa memelihara harmoni dalam hidup keseharian.

Makanya di sini, kata istri dari pria bangsawan Sumba, Umbu Kunda Praibakul, itu tak pernah terjadi konflik antariman yang merusak hubungan kekerabatan di antara warga.

Dalam jaringan keluarga-keluarga besar warga Sumba, katanya, terjadinya perkawinan antariman boleh dibilang sebuah kelaziman. Itu sebabnya, Sumba termasuk wilayah yang bebas dari pertikaian antarpemeluk iman.

Baik Yewa maupun Risparia menyambut gembira keputusan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin untuk memasukkan keyakinan atau iman pribumi di Nusantara sebagai bagian keyakinan yang diakui secara resmi.

Penerimaan negara atas eksistensi iman pribumi yang tersebar di berbagai wilayah di Tanah Air itu setidaknya memberi ruang bagi para pemeluknya untuk tidak lagi mengalami diskriminasi dalam pelayanan administrasi negara.

Yang menarik dalam adat masyarakat Sumba, setidaknya di Sumba Timur, beberapa praktik ritual Marapu tetap diselenggarkan dalam prosesi penguburan sekalipun yang meninggal dunia itu adalah anggota dari keluarga pemeluk Marapu yang sudah menjadi pemeluk Kristen.

Ada percampuran ritual penguburan yang dianjurkan dalam iman Kristen dan yang dibudayakan dalam adat Marapu sebagaimana yang berlangsung pada prosesi penguburan Wulang Kamelaratu.

Wulang yang dikuburkan akhir April 2017 itu adalah pengikut Marapu yang menjelang kematiannya beralih menjadi Kristen. Menurut ajaran Kristen yang dipahami keluarga Wulang, penguburan jenazah tak boleh lebih dari tiga hari setelah momen kematian.

Namun, kenyataannya penguburan Wulang berlangsung 18 hari setelah saat kematiannya dengan adat Marapu, dalam prosesi penguburan tarik batu yang ditandai dengan penyembelihan kurban kuda.

Jadi sebelum jasad Wulang dibawa ke bukit perkuburan bangsawan pemeluk Marapu, para rohaniman Kristen melakukan persembahyangan dengan doa-doa Kristiani di rumah duka tempat Wulang disemayamkan.

Dalam arak-arakan penguburan itu, segala macam pemeluk iman dari berbagai strata sosial terlibat sebagai tanda penghormatan mereka kepada sosok Wulang yang semasa hidupnya berperan sebagai orang kepercayaan Raja Kapunduk, penguasa komunitas Marapu di Rambangaru, Kecamatan Haharu, Sumba Timur.

Risparia dan pejabat di Dinas Pariwisata Sumba Timur tentu berkepentingan dengan pelestarian budaya tarik batu Marapu itu sebagai salah satu daya tarik turisme di Sumba Timur.

Sayangnya, momen-momen penting pelaksanaan prosesi tarik batu itu belum bisa dijadwalkan sebagai salah satu kegiatan yang ditetapkan dalam kalender wisata.

Rispari sejauh ini telah berusaha keras memopulerkan tradisi tarik batu itu dengan mengundang wartawan, fotografer dan juru kamera dari dalam dan luar negeri untuk meliput peristiwa eksotis itu.

Menjadikan ritual penguburan tarik batu sebagai salah satu jadwal kalender wisata Sumba Timur bukanlah kemustahilan sebab pemeluk Marapu yang meninggal tak mesti dikubur sesegera mungkin sebagaimana ajaran Kristen dan Islam.

Di keluarga Raja Kapunduk saat ini ada tiga jasad yang disemayamkan di rumah. Salah satu jasad itu sudah belasan tahun disimpan dalam peti mati. Tinggal menanti saat penguburan yang disepakati oleh sanak keluarga besar itu.

Dinas Pariwisata Sumba Timur dapat menjadikan waktu penguburan itu dalam kalender wisata setelah mendapat kepastian kapan ketiga jasad keluarga pemeluk Marapu dikuburkan secara ritual Marapu. (Fet/Ant/M Sunyoto)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.