Respons Sosiolog UGM Soal Pernikahan Siri

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Soeprapto menilai bahwa pernikahan siri ini muncul ketika manusia sudah mengenal budaya.
Ilustrasi - Pernikahan massal siri. (Foto: Tagar/Antara)

Jakarta – Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Soeprapto menilai bahwa pernikahan siri ini muncul ketika manusia sudah mengenal budaya, nilai-nilai sosial, dan nilai sosial. Kemudian, kehidupan bersama itu di hindari dengan cara yang ilegal.

“Nikah siri ini mulai ada ketika manusia mulai mengenal budaya, mengenal nilai-nilai sosial, dan juga mengenal norma sosial. Sehingga kemudian kehidupan bersama itu menjadi di hindari dengan cara yang ilegal,” ucap Soeprapto dalam wawancara di kanal YouTube Tagar TV, Selasa, 5 Oktober 2021.

Soeprapto juga mengatakan bahwa nikah siri muncul dan terjadi setelah manusia melewati tahap nomaden (berpindah-pindah tempat) ketika masih hunting and fishing dan kemudian berubah ke tahap pastoral (kehidupan menetap).


Ada beberapa alasan mengapa orang melakukan nikah siri pertama disebabkan oleh belum siap untuk melakukan nikah yang di daftarkan di negara dan kemudian mengadakan pesta yang di publikasi.


SoepraptoSoeprapto saat diwawancarai Siti Afifiyah di kana YouTube Tagar TV. (Foto: Tagar/Alwin)

Nikah siri itu biasanya terjadi pada orang-orang yang memeluk agama Islam. Lalu, yang menikahkan itu atau yang hadir di dalam pernikahan itu adalah tokoh Agama.

Soeprapto juga menilai ada beberapa hal alasan mengapa orang melakukan nikah siri. Yaitu seperti belum siap untuk melakukan pernikahan yang resmi secara agama, orang tersebut belum mendapat restu dari orang tua, dan bisa juga terjadi karena belum mendapat restu atau izin dari pasangan restunya, terutama bagi orang yang sebelumnya sudah mempunyai pasangan untuk berpoligami dan bisa juga si pria atau wanita belum menunjukkan kesungguhan untuk siap nikah.

“Ada beberapa alasan mengapa orang melakukan nikah siri. Pertama, disebabkan oleh belum siap untuk melakukan nikah yang di daftarkan di negara dan kemudian mengadakan pesta yang di publikasi," ucapnya.

"Jadi, di satu sisi mereka menghendaki ada pernikahan tapi di sisi lain belum siap. Kedua, bisa terjadi juga karena mereka belum mendapatkan restu dari pihak-pihak tertentu, bisa orang tua, bisa anak (untuk para duda atau janda) atau kerabat, sehingga mereka itu melakukan nikah siri," katanya.

"Ketiga, bisa terjadi karena tidak atau belum mendapatkan restu atau izin dari pasangan aslinya, terutama bagi mereka yang sebetulnya sudah punya pasangan yang asli tetapi masih menghendaki berpoligami tetapi belum dapat izin atau belum bisa menceritakan dan kemudian melakukan nikah siri. Dan terakhir si pria atau wanita belum menunjukkan kesungguhan untuk siap menikah,” ucapnya.

Lebih lanjut, Soeprapto juga menilai bahwa nikah siri itu baik atau tidak, tergantung dari tujuannya. Kalau sambil menunggu peresmian yang matang dan nantinya akan di publikasi tentunya itu wajar-wajar saja atau bisa diterima.

Tetapi, jika nikah siri itu adalah sebuah upaya untuk menyembunyikan apa yang dia lakukan karena pasangannya tidak menyetujui atau orang tuanya tidak setuju, itu tentunya jangan dilakukan dan tentunya bisa menimbulkan korban.

Ia juga menilai bahwa nikah siri itu bukan juga sebuah akal-akalan belaka. Ia menganggap bahwa justru nikah siri ini menghindarkan diri dari dosa karena melakukan zina dan jika rukun nikah sirinya itu dipenuhi maka sah menjadi suami istri. Dan juga baik suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

(Alwin Widiyantoro)

Berita terkait
Sosiolog UGM: di Balik Fenomena Manusia Silver di Kota Besar
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Seoprapto ikut menanggapi alasan dibalik munculnya para pengemis manusia silver belakangan ini.
Sosiolog UGM Tanggapi Kasus Hubungan Intim Ayah Taqy Malik
Pakar Sosiolog UGM Soeprapto, menanggapi kasus pemaksaan hubungan intim yang dilakukan Ayah Taqy Malik kepada sang istri Marlina Octoria.
Viral Pasien Covid Dipukuli Warga, Ini Respons Sosiolog UGM
Beredarnya video pasien Covid-19 Salamat Sianipar yang dipukuli warga Desa. Berikut respons sosiolog UGM terkait hal itu.