Rencana Pergantian Nama Jalan Di Surabaya Menuai Kritikan Pedas, Ini Alasannya

Kuncar mengatakan, kegemaran mengganti nama jalan adalah perbuatan yang tidak pantas, karena nama jalan adalah pembentuk sebuah identitas.
Pemerhati sejarah Surabaya Kuncarsono Prasetyo mengritik rencana pergantian dua nama jalan di Surabaya oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo. (lut)

Surabaya, (Tagar 7/3/2018) - Keinginan Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengganti dua nama jalan di Surabaya diprotes warga. Gubernur dianggap tidak menghormati kearifan lokal dan warisa budaya.

Protes ini dilontarkan Kuncarsono Prasetyo, seorang pemerhati sejarah Surabaya. Kucar mengaku terkejut begitu mendengar berita bahwa Pakde Karwo (Soekarwo) bakal mengganti nama Jalan Dinoyo menjadi Jalan Sunda, dan Jalan Gunungsari menjadi Jalan Prabu Siliwangi.

Penggantian nama jalan dianggap dilakukan sebagai bentuk rekonsiliasi perdamaian atas pertikaian Jawa dan Sunda sejak 661 tahun yang lalu.

Kuncar mengatakan, kegemaran mengganti nama jalan adalah perbuatan yang tidak pantas, karena nama jalan adalah pembentuk sebuah identitas. Terlebih lagi, kata dia, nama jalan tidak akan tiba-tiba begitu saja.

"Dia (nama jalan) dibangun dari kearifan lokal, dilahirkan dari kesepakatan bersama dari orang-orang sekitarnya. Dari sejarah panjang yang menyertainya," kata Kuncar.

Ia menceritakan, nama Dinoyo sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, pada tahun 1848 ketika tuan tanah Arab membeli tanah kawasan itu, namanya sudah Dinoyo.

"Demikian juga dengan Gunungsari. Saya menduga nama lawas ini muncul akibat 'kerinduan' Surabaya yang berdataran rendah ini akan pegunungan. Sehingga gundukan tanah dikit aja yang sebenarnya pantes disebut bukit kebablasen dinamai gunung," katanya.

Mantan wartawan ini meminta Gubernur tidak ikutan tren mengganti nama, termasuk mana jalan meski berdalih rekonsiliasi kebudayaan antara Jawa dan Sunda.

"Mengganti nama jalan kok mengikuti trend. Emangnya Maulidia Octavia yang kemudian tersohor dipuja puja ikut tren teman temannya namanya diganti jadi Via Vallen. Dewi Muria Agung jadi Dewi Persik. Pak Gubernur mbok ya o, bapak ini menghargai kearifan lokal, menghormati leluhur," sindirnya.

Kuncar pun membandingkan dengan Belanda saat menjajah, dimana Belanda tidak pernah mengganti nama jalan bahkan lingkungan yang sebelumnya sudah punya nama lokal.

Dia mencontohkan nama Jaln Tunjungan, Jalan Gemblongan, Jalan Bubutan, Jalan Keputran, Jala Kupang, Jalan Kedungdoro, Jalan Kramat Gantung, Jalan Undaan yang sudah ada sejak sebelum Belanda datang dan tetap ada setelah Belanda pergi.

Menurutnya, kalau ada nama jalan beraroma Belanda, itu dibuat untuk jalan baru yang dibangun Belanda, seperti kawasan Darmo, atau daerah Jembatan Merah.

Justru, lanjutnya, ketika Indonesia merdeka, banyak nama lokal diganti oleh bangsa sendiri. Seperti Jalan Kaliasin jadi Jalan Basuki Rahmad, Jalan Ketabang jadi Jalan Walikota Mustajab, Jalan Simpang jadi Jalan Gubernur Suryo.

"Maka, kenapa saya terpaksa menyebut lancang keputusan mengganti nama jalan ini. Sebab nama jalan termasuk nama kawasan adalah identitas yang diciptakan dan disepakati bersama. Itu artinya, brand ini telah menjadi milik publik," tandasnya.

Penggantian nama jalan juga akan berdampak pada identitas warga setempat, termasuk perkantoran. Karena mereka juga harus merubah alamat yang masih menggunakan nama jalan lama, menjadi nama jalan yang baru. (lut)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.