Razia Buku Paham Marxisme di Makassar Dikecam

Razia buku berisi ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme di sejumlah toko buku menuai kritik.
Aktivis BMI saat melakukan razia buku di Gramedia Mal Panakkukang, Makassar. (Foto: Tagar/Lodi Aprianto)

Makassar - Razia buku berisi ajaran atau paham Marxisme, Leninisme dan Komunisme di sejumlah toko buku ternama di pusat perbelanjaan atau mal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menuai kritik dari akademisi hingga pegiat literasi.

Menurut mereka, tindakan merazia buku yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulsel merupakan suatu kebodohan dan sikap anti intelektualitas, serta merupakan tindakan inkonstitusional.

Mereka ini sama halnya mempertontonkan kebodohan dengan merazia buku, dan sialnya mereka bangga dengan itu.

"Saya mengutuk keras tindakan razia buku di Makassar. Merazia buku, apapun itu, termasuk buku berpaham marxisme-leninisme, hanya memperlihatkan bahwa otak mereka pesakitan, penuh dengan racun," ucap Muhammad Mario Hikmat, pegiat Literasi Dialektika saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Minggu 4 Agustus 2019.

Lanjut Mario, merazia buku itu menjelaskan pula bahwa mereka anti terhadap ilmu pengetahuan dan tak paham konstitusi. Menurutnya, seperti inilah yang dapat membahayakan demokrasi khususnya Negara Republik Indonesia. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan dan agar segera dihentikan.

"Kelompok seperti itu, yang bisa membahayakan jalannya demokrasi di negara ini, tak bisa lagi dibiarkan bebas berkeliaran. Kita semua mesti melawan," tegasnya.

Terpisah, Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN) Makassar, Prof Dr M Qasim Mathar ikut menyayangkan tindakan razia buku-buku yang berisi ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme tersebut.

Ia menilai fenomena razia buku ini sebagai tanda dari menguatnya intoleransi kehidupan bernegara dan mundurnya gagasan moderat.

Yang saya tahu bahwa untuk kajian akademik itu tidak dilarang, tidak ada paham yang dilarang untuk kajian akademik

"Mestinya kan harus diklarifikasi dulu, kenapa dia menjual itu. Kalau mereka (Gramedia) bilang itu tidak keliru itu tidak menyalahi hukum seperti itu. Kalau itu tidak dilakukan berarti kan sepihak. Tetapi kalau misalnya dia (ormas) langsung seperti itu (merazia) menurut saya prinsip tabayun yang diajarkan oleh agama Islam itu tidak dilaksanakan. Kan tidak boleh orang lantas masuk ke tempat jualan orang untuk itu (merazia) harus kita tanya kenapa kamu jual seperti itu," katanya.

Dasar hukum yang menjadi acuan dalam razia buku yang dilakukan oleh BMI Sulawesi Selatan ini adalah Tap MPRS Nomor XXV 1966 tentang larangan penyebaran Marxisme, Leninisme, Komunisme dan Atheisme. 

Namun, cucu dari Ulama besar di Sulsel, Anregurutta Haji (AGH) Sayyid Ali Mathar ini menilai bahwa dalam Tap MPRS tersebut terdapat catatan kecuali untuk keperluan terbatas, misalnya hanya untuk penelitian akademik, kajian akademik, diskusi akademik itu tidak apa-apa.

"Yang saya tahu bahwa untuk kajian akademik itu tidak dilarang, tidak ada paham yang dilarang untuk kajian akademik. Paham anti Tuhan juga tidak bisa dilarang kok. Di kampus misalnya dosen memberikan kuliah tentang paham anti Tuhan atau atheisme apakah itu termasuk dilarang, itu bisa orang berdebat, soal ada buku di Gramedia dijual seperti itu yah Gramedia kita anu (tanya) saya menghormati Gramedia sebagai penerbit besar dia tahu itu aturan," terangnya.

Sementara itu, Kapolsek Tamalate Makassar, Kompol Arifuddin mengaku belum mengetahui kabar adanya aksi razia buku oleh sekelompok warga yang mengatasnamakan BMI di toko Gramedia Trans Studio Mall (TSM) Kecamatan Tamalate, Kota Makassar tersebut.

"Sampai saat ini belum ada info dari Gramedia TSM Makassar, Pak," bebernya.

Sebelumnya, BMI Sulsel melakukan razia buku-buku yang berisi ajaran atau paham Marxisme, Leninisme dan Komunisme di sejumlah toko buku ternama di pusat perbelanjaan atau mal di Kota Makassar.

Ketua BMI Sulsel, Muhammad Zulkifli mengatakan, dasar hukum yang menjadi acuan dalam razia buku ini adalah Tap MPRS Nomor XXV 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan juga pelarangan ajaran atau doktrin bermuatan Komunisme atau Marxisme, dan Leninisme.

"Jadi, kami datang memperlihatkan dasar hukumnya dan kami menganggap bahwa salah satu cara menyebarkan paham Marxisme Leninisme dan Komunisme adalah dengan penjualan buku," kata Zulkifli.[]

Baca juga:

Berita terkait