Raksasa Buruk Rupa Diarak Lalu Dibakar di Yogyakarta

Pawai raksasa buruk rupa ini dalam rangka meramaikan Perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1941 yang jatuh pada 7 Maret 2019 mendatang.
Pawai Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (2/3) sore. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Ogoh-ogoh atau warga Hindu biasa menyebutnya Bhutakala, adalah simbol negatif seperti hawa nafsu, keserakahan, jahat dan bengis

Yogyakarta, (Tagar 2/3/2019) - Ratusan orang menyemut menyaksikan pawai ogoh-ogoh di sepanjang Jalan Malioboro, Sabtu (2/3) sore. Pawai raksasa buruk rupa ini dalam rangka  meramaikan Perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1941 yang jatuh pada 7 Maret 2019 mendatang.

Wisatawan di Malioboro sangat terhibur dengan pawai ini. Apalagi, ogoh-ogoh tidak sekedar diarak di ruas jalan sepanjang 1,4 kilometer itu. Namun, dua kelompok atau yang mengarak ogoh-ogoh juga membuat atraksi, seperti beradu dengan gerakan yang padu.

Sekretaris Panitia Perayaan Nyepi DIY 2019 I Wayan Ordiyasa mengatakan, arak-arakan ogoh-ogoh ini merupakan pawai budaya. Totalnya ada 12 ogoh-ogoh yang dibuat komunitas lintas budaya dan mahasiswa yang diarak dalam pawai itu. "Acara ini merupakan rangkaian perayaan Nyepi 2019 di Yogyakarta," kata dia di sela-sela pawai ogoh-ogoh, Sabtu (2/3) sore.

Ketua Umum Panitia Nyepi DIY 2019, I Made Astra Tanaya mengatakan, setelah ogoh-ogoh diarak lalu dibakar di masing-masing pura. "Ogoh-ogoh setelah pawai, harus dibakar. Kenapa harus dibakar, karena itu sebenarnya inti sari dari perayaan Nyepi," tegasnya.

Tanaya menjelaskan, ogoh-ogoh atau warga Hindu biasa menyebutnya Bhutakala, adalah simbol negatif seperti hawa nafsu, keserakahan, jahat dan bengis. Maka ogoh-ogoh dibuat dengan buruk rupa untuk menggambarkan hal negatif itu.

Pawai Ogoh-ogohPawai Ogoh-ogoh di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (2/3) sore. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

"Ogoh-ogoh itu simbol yang buruk-buruk, sehingga harus dilakukan pengerupukan atau dibakar. Tujuannya agar ogoh-ogoh dengan sifat dan prilaku yang buruk tidak mengganggu umat Hindu saat melakukan Brata Penyepian," papar Tanaya.

Menurut dia, Barata Penyepian dilakukan di rumah masing-masing tepat pada pergantian Tahun Saka pada Kamis, 7 Maret 2019. Ada empat Brata Penyepian yang dilakukan umat Hindu.

Pertama, saat Hari Raya Nyepi, umat Hindu melakukan amati karya atau tidak bekerja. Kedua, amati geni atau tidak menyalakan api, dalam hal ini mematikan hawa nafsu. Ketiga, amati lunga atau tidak bepergian. Keempat, amati lelanguan atau tidak menikmati hiburan.

"Dengan Brata Penyepian ini, umat Hindu kembali terlahir kembali suci. Mampu menjaga hubungan harmonis antarmanusia, dengan Tuhan dan lingkungan sekitar," kata Tanaya.

Menurut dia, ajaran Hindu penuh falsafah hidup. Dalam perayaan Nyepi juga dihelat upacara Melasti di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul pada Minggu (3/3). Upacara Melasti merupakan labuhan sebagai simbol pembersihan diri. Hal-hal negatif dilarung atau dibuang ke laut. 

"Upacara Melasti juga sudah digelar di Pantai Ngobaran Gunungkidul, besok (3/3) Melasti dipusatkan di Pantai Parangkusumo," kata dia.

Rangkaian kegiatan keagamaan lainnya yakni Upacara Tawur Agung Kesanga pada Rabu (6/3) yang digelar di Candi Prambanan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Jokowi rencananya hadir dalam upacara Tawur Agung itu.

Setelah upacara Tawur Agung, sore harinya prosesi mengarak ogoh-ogoh di sejumlah pura masing-masing Pura Jagadnatha, Pura Widya Darma dan Pura Padma Buana. Setelah diarak atau penegerupukan, ogoh-ogoh lalu dibakar di masing-masing pura itu.

Rangkaian penutup perayaan Nyepi dengan Darma Santi di Kepatihan Yogyakarta pada Sabtu (23/3) mendatang. Darma Santi ini berisi saling memaafkan, saling menghilangkan rasa benci, iri, dengki dan amarah untuk mewujudkan persaudaraan sejati. []

Berita terkait