Jakarta - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo menyebutkan bahwa tudingan amendemen UUD NRI 1945 untuk perpanjangan periodisasi jabatan presiden menjadi tiga periode, merupakan wacana yang prematur.
Dalam pandangannya, dari segi politik, hal tersebut sulit terjadi karena partai politik sudah bersiap menghadapi Pemilu 2024 dengan mengusung calon presidennya masing-masing.
"Di internal MPR RI sendiri, dari mulai Komisi Kajian Ketatanegaraan, Badan Pengkajian MPR, hingga tingkat pimpinan MPR, tidak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodisasi presiden menjadi tiga periode," kata Bambang Soesatyo dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 13 September 2021.
Artinya presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua kali pada jabatan yang sama baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode 5 tahun maupun kurang dari 5 tahun.
Ia juga mengatakan bahwa rencana MPR RI melakukan amendemen terbatas UUD NRI 1945 hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), bukan yang lain.
Di Indonesia, kata Bambang, aturan mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur secara tegas pada Pasal 7 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
- Baca Juga: Ketua MPR: Data Otsus Papua untuk Tingkatkan Mutu Pendidikan
- baca Juga: Ketua MPR: Pemerintah Harus Benahi Pengelolaan Lapas
"Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua kali pada jabatan yang sama, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode 5 tahun maupun kurang dari 5 tahun," ujarnya.
Lebih lanjut, kata Bambang, untuk mengubah konstitusi dibutuhkan konsolidasi politik yang besar karena persyaratannya sangat berat, seperti tertuang dalam Pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945.
Menurutnya, Pasal 37 ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (237 dari 711 jumlah anggota MPR).
Pada ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (474 dari 711 anggota MPR).
"Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. Artinya, satu partai saja tidak setuju dengan rencana amandemen, maka amandemen tidak bisa dilakukan," katanya.
Jika merujuk referensi global, kata Ketua MPR, memang ada beberapa negara yang membolehkan masa jabatan Presiden lebih dari dua kali.
- Baca Juga: Bambang Soesatyo: Parpol Tulang Punggung Demokrasi
- Baca Juga: Ketua MPR: Pemerintah Harus Benahi Pengelolaan Lapas
Bamsoet mencontohkan sejarah Amerika Serikat mencatat, Presiden Franklin Roosevelt menjabat sebagai Presiden AS selama 4 kali dalam periode kepresidenan 1933-1945 ketika krisis akibat Perang Dunia II.
Namun pasca amandemen Konstitusi tahun 1951, Presiden AS kemudian dibatasi masa jabatannya selama 2 periode.
"Hingga saat ini, masih ada beberapa negara yang mengadopsi pemberlakuan masa jabatan presiden lebih dari 2 periode, antara lain Brasil, Argentina, Iran, Kongo, Kiribati, Tanjung Verde, dan Tiongkok," ujarnya. []