Yogyakarta - Puncak musim kemarau di Yogyakarta diprediksi terjadi pada bulan ini. Namun musim kemarau saat ini lebih basah dibanding tahun lalu.
"Artinya walau musim kemarau tapi bisa turun hujan," jelas Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, Geofisika (BMKG) DIY, Reni Kraningtyas, Kamis, 20 Agustus 2020.
Reni mengatakan, musim kemarau saat ini lebih basah karena suhu permukaan laut selatan masih hangat. Sehingga pada musim kemarau masih berpotensi terjadi penguapan yang signifikan lalu membentuk awan-awan hujan.
Hal ini didukung saat terjadi perlambatan angin di lapisan 700-800 milibar. "Ini yang memicu uap-uap air yang menumpuk di Yogyakarta," kata dia.
Menurutnya, masyarakat kerap beranggapan bahwa saat musim kemarau tidak ada hujan sama sekali. Padahal saat musim kemarau pun bisa turun hujan.
Ini yang memicu uap-uap air yang menumpuk di Yogyakarta.
Dampak dari musim kemarau yang basah adalah tingginya gelombang di perairan laut selatan. Sebab, angin timur yang bertiup Australia ke Indonesia lewat laut selatan. "Biasanya di sebelah barat Australia juga tumbuh daerah bertekanan tinggi," katanya.
Ia menyebut, gelombang laut dapat dikategorikan tinggi apabila tingginya mencapai 2,5 sampai 4 meter. "Kalau di atas 4 meter itu sangat tinggi," tambahnya.
Jika terjadi gelombang tinggi di laut, biasanya kecepatan angin di atas 45 sampai 60 kilometer per jam. "Bisa dikatakan anginnya kencang," ujarnya. []