Jakarta - Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengaku belum bisa memberikan komentar terkait nasib proyek alutsista pesawat tempur jenis KFX/IFX yang dikembangkan Indonesia bekerja sama dengan Korea Selatan.
Ia mengatakan bakal mempelajari dulu semua permasalahan di bidang pertahanan, baik terkait dengan alutsista maupun kesejahteraan prajurit TNI.
"Saya enggak bisa kasih komentar, saya belum duduk di kantor saya," kata Prabowo usai serah terima jabatan Menhan dari Ryamizard Ryacudu di Kantor Kemhan, Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2019.
"Jadi begini, saya baru berapa jam serah terima. Jadi, saya mau terus terang saja, saya akan pelajari semua masalah dan bersama-sama dengan Mabes TNI juga tiga angkatan, dan staf Kementerian Pertahanan untuk mencari solusi yang terbaik," ujar dia.
Prabowo juga enggan menjawab pertanyaan wartawan terkait persoalan kesejahteraan prajurit.
Saya enggak bisa kasih komentar, saya belum duduk di kantor saya.
Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan, bakal mempelajari terlebih dulu terkait permasalahan yang ada, termasuk persoalan kesejahteraan anggota TNI.
"Saya tidak mungkin kasih jawaban yang tepat. Pemerintah pasti perhatikan, menteri lama pasti sudah perhatikan. Program menteri lama yang baik, saya lanjutkan, yang belum saya cari persetujuan dari mana-mana," kata dia.
Sementara itu, mantan Menhan Ryamizard Ryacudu mengaku telah menyerahkan tanggung jawabnya kepada Prabowo sebagai Menhan yang baru.
Ia juga mengaku yakin mantan Danjen Kopassus itu dapat melaksanakan tugas barunya dengan baik.
"Saya yakin Pak Prabowo bisa melaksanakan dengan baik karena beliau adalah prajurit," kata dia.
Baca juga: Jokowi Persiapkan Wakil Menteri, Prabowo Dapat Jatah?
Diketahui, Indonesia dan Korea Selatan sebelumnya telah sepakat untuk melakukan kerjasama pembangunan pesawat tempur multifungsi generasi 4,5 KFX/IFX.
Pesawat disebut-sebut bakal menggunakan desain pesawat pilot tunggal bermesin ganda yang mengaplikasikan teknologi Stealth.
Sejak digarap pada tahun 2011 lalu, proyek tersebut kemudian mandek di tengah jalan lantaran Indonesia dikabarkan masih memiliki tunggakan kewajiban dana penyertaan pembangunan sekitar US$ 200 juta pada tahun 2018 lalu.
Indonesia yang mulanya sepakat untuk membiayai 20 persen dari total anggaran senilai US$ 7 miliar, sementara 80 persen sisanya akan dibiayai oleh Korea Selatan, kemudian mengajukan penurunan pembiayaan proyek menjadi 15 persen pada April 2019.
Namun hingga kini, permintaan tersebut belum mendapat persetujuan dari pihak Korea Selatan. []