Untuk Indonesia

Polemik Kenaikan Tarif Pesawat

Kegaduhan atas kenaikan harga tiket pesawat menghiasi ruang publik. - Ulasan Abra el Talattov Peneliti INDEF.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Oleh: Abra el Talattov*

Kegaduhan atas kenaikan harga tiket pesawat menghiasi ruang publik baik di dunia sosial maupun di dunia nyata. Bermula ketika awal tahun 2019, beberapa perusahaan penerbangan khususnya jenis pesawat berbiaya murah atau low cost carrier (LCC) secara serempak mengumumkan rencana kenaikan tarif pesawat dengan modus pemberlakuan bagasi berbayar. 

Keputusan kontroversial sebagian maskapai penerbangan tersebut bukan hanya mengejutkan publik, tetapi bahkan mendapatkan perlawanan dari warga netizen melalui penggalangan petisi turunkan harga tiket pesawat yang telah mendapatkan dukungan dari sekitar 350 ribu orang.

Kenaikan tarif pesawat yang dilakukan secara drastis dan mendadak ini tentunya memiliki efek berantai terhadap banyak aspek kehidupan ekonomi masyarakat. 

Salah satu fenomena yang sempat mencuat yaitu masyarakat Aceh berbondong-bondong membuat pasport guna terbang ke Jakarta dengan transit lebih dahulu ke Kuala Lumpur. Alasannya, harga tiket pesawat Kuala Lumpur ke Jakarta lebih murah dibandingkan tiket langsung Banda Aceh ke Jakarta.

Keluhan masyarakat berikutnya terkait rencana bagasi berbayar untuk barang bawaan di atas 7 Kg yang mencapai sekitar Rp 155 ribu per Kg. Pemberlakuan bagasi berbayar akan memberatkan penumpang sehingga menimbulkan disinsentif untuk membawa buah tangan dari kampung halaman ataupun destinasi wisata. 

Imbasnya, ada ancaman terpukulnya pelaku usaha UMKM yang menjual oleh-oleh maupun cinderamata bagi wisatawan. Tidak hanya itu, beragam aktivitas ekonomi riil yang terhubung dengan sektor pariwisata pun akan terpapar kian mahalnya tiket pesawat, seperti bisnis akomodasi hotel dan rental kendaraan, restoran, objek wisata, dan aneka industri jasa dari masyarakat.  

Mengurai Akar Masalah

Sengkarut kenaikan tarif pesawat kali ini memunculkan berbagai spekulasi. Salah satu yang paling menyentak publik adalah dugaan terjadinya praktik kartel dalam industri penerbangan domestik. 

Kenaikan tarif pesawat dianggap tidak wajar karena dilakukan secara serempak sehingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun turun tangan melakukan investigasi atas indikasi terjadinya persengkongkolan yang dilakukan oleh maskapai besar yang notabene dikuasai dua pemain besar yaitu Grup Garuda dan Grup Lion.

Praktik kartel sudah sangat jelas haram dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Apabila para maskapai benar-benar terbukti, maka hukuman yang diberikan berupa denda maksimal Rp 25 miliar. 

Sebelumnya di tahun 2010, KPPU pernah menghukum 9 maskapai penerbangan karena terbukti secara sah menetapkan fuel surcharge secara terkoordinasi. Ketika itu 9 maskapai penerbangan dikenakan denda dan ganti rugi senilai Rp 700 miliar.

Aroma dugaan kartel juga semakin kuat dengan adanya praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia yang sekaligus menjabat sebagai komisioner Sriwijaya Air. 

Padahal dalam UU No 5 Tahun 199 Pasal 26 disebutkan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai Direksi atau Komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi Direksi atau Komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam pasar bersangkutan yang sama, memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha, atau secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Kegaduhan berikutnya yang timbul akibat kenaikan harga tiket pesawat ialah tuduhan terjadinya praktik monopoli avtur yang dilakukan oleh Pertamina. Pada awalnya, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengeluhkan mahalnya harga avtur yang dijual Pertamina di Indonesia dibandingkan ketika mengisi bahan bakar tersebut di luar negeri. 

Polemik mengenai porsi biaya avtur terhadap total biaya operasional maskapai pun mencuat, mulai dari 40-45% terhadap keseluruhan biaya operasional hingga yang terakhir merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan No 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri, disebut bahwa harga avtur hanya memberi andil 24% dari biaya operasional pesawat.

Faktanya, harga avtur di Indonesia ternyata masih lebih kompetitif dibandingkan dengan harga di luar negeri. Contohnya, harga avtur yang dijual Pertamina di Bandara Soekarno Hatta sebesar Rp 8.210 per liter, sedangkan yang dijual Shell di Kuala Lumpur dan Singapura masing-masing sebesar Rp 8.913/liter dan Rp 10.688/liter. 

Selain itu, sebetulnya juga tidak tepat membandingkan harga avtur yang dijual Pertamina di Indonesia dengan harga avtur di luar negeri. Sebab, struktur biaya avtur di Indonesia sangat dipengaruhi karakteristik geografi Indonesia yang terdiri dari banyak kepulauan dan rantai pasok yang cukup kompleks dari Sabang sampai Merauke. Apalagi Pertamina sebagai BUMN juga memiliki peran krusial dalam menjamin pasokan avtur untuk 67 bandara di seluruh tanah air.

Lagipula sebenarnya tidak ada larangan bagi Badan Usaha lain untuk menjual avtur di bandara Indonesia karena telah dijamin oleh Peraturan BPH Migas Nomor 13 Tahun 2008, dimana pada Pasal 2 diatur bahwa kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian BBM penerbangan di setiap bandara terbuka bagi seluruh Badan Usaha, baik swasta maupun milik negara. 

Namun, memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh swasta yang ingin masuk ke bisnis avtur di antaranya Izin Usaha Niaga BBM jenis avtur dari Menteri ESDM, memilki fasilitas penyimpanan avtur, memiliki fasilitas pengisian ke pesawat, memiliki konsumen dari perusahaan penerbangan, memperoleh izin dari otoritas bandara dalam hal ini Angkasa Pura, memperoleh Izin Kementerian Perhubungan untuk bandara yang dikelola kementerian, dan memiliki pengalaman dibidang pendistribusian avtur ke penerbangan.

Anggapan bahwa avtur menjadi biang kerok mahalnya biaya opersional penerbangan domestik tidak sepenuhnya tepat. Ternyata ada komponen lain yang seringkali luput dari pembahasan pemerintah yaitu biaya pemeliharaan pesawat (maintenance) dan biaya bandara (airport fee). 

Biaya maintenance pesawat berkontribusi 20-25% terhadap biaya operasional. Tanpa mengurangi fungsi penting maintenance dalam menjamin keselamatan penerbangan, pemerintah juga dapat mendorong efisiensi bagi perusahaan maintenance di Indonesia.

Belum lagi adanya pungutan terhadap penjualan avtur (konsesi fee) yang diambil oleh Angkasa Pura II, misalnya Rp 33/liter di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ditambah lagi adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% terhadap penjualan avtur di Indonesia, lebih tinggi dibandingkan PPN avtur di Singapura yaitu 7%. 

Wacana penghapusan ataupun pengurangan PPN avtur sudah selayaknya dikaji dan dipertimbangkan guna mewujudkan harga avtur yang lebih murah. 

Sementara itu, ide konyol seperti pemberian subsidi avtur patut dipertentangkan karena bukan hanya melabrak kewarasan tetapi juga inkonstitusional karena tidak mungkin subsidi diberikan terhadap komoditas yang dinikmati sebagian besar kelompok berada yang melakukan penerbangan dengan beragam keperluan termasuk berlibur.

Dengan potret persoalan di atas, sudah semestinya seluruh stakeholders pemerintah dan BUMN duduk bersama-sama menyelesaikan persoalan penerbangan ini secara lebih tenang dan profesional, semata-mata untuk kepentingan publik dan mengesampingkan ego sektoral. 

Industri penerbangan harus ditempatkan pada posisi yang strategis karena peranannya dalam mendukung perekonomian nasional.

*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) 

Baca juga: 

Berita terkait