Pertumbuhan Minus 5,32%, Negara Harus Kaji Kebijakan

Pemerintah diharapkan mengevaluasi kebijakan sektor ekonomi sehubungan dengan kontraksi pertumbuhan yang cukup dalam
Suasana aktivitas jual beli di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Minggu, 14 Juni 2020. (foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/aww).

Jakarta - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebut pemerintah harus segera melakukan upaya evaluasi terhadap seluruh kebijakan ekonomi selama masa pandemi. Pasalnya, berbagai langkah yang diambil negara dinilai tidak mampu mencegah perlambatan secara signifikan.

“Pemerintah sudah memutuskan untuk memperlebar defisit anggaran [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN] menjadi 6 persen, tetapi kenapa pertumbuhan anjlok sampai minus 5,32 persen. Ini perlu dievaluasi kebijakannya, sektor-sektor mana saja yang menjadi penyumbang kontraksi tersebut,” ujarnya kepada Tagar, Rabu, 5 Agustus 2020.

Enny menambahkan, langkah pemerintah lain yang harus disoroti adalah soal intervensi kepada beberapa lembaga yang seharusnya mempunyai kemerdekaan wewenang (independen).

“Bahkan pemerintah memaksa BI [Bank Indonesia] untuk burden sharing dan LPS [Lembaga Penjamin Simpanan] untuk mengguyur likuiditas,” tutur dia.

Untuk diketahui, burden sharing adalah langkah gabungan pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan otoritas moneter Bank Indonesia untuk menanggung beban bersama guna mencukupi pembiayaan sektor-sektor strategis dalam upaya pemulihan dampak pandemi.

Semantara itu LPS diberikan mandat baru untuk melakukan penempatan dana sebagai langkah stabilisasi sistem keuangan, khususnya pada sektor perbankan.

“Saya sendiri tidak heran jika pertumbuhan terkontraksi hingga negatif 5,32 persen karena indikator makronya sudah banyak terlihat. Tetapi kalau dari sisi pengeluarannya itu minus 6 persen, artinya kebijakan pelebaran APBN dalam Perpu, Kebijakan PEN [Pemulihan Ekonomi Nasional] itu realisasinya apa?” ucap Enny.

Sebagai informasi, pemerintah telah melakukan tiga kali perubahan defisit APBN. Terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan kepada DPR bahwa pemerintah akan melakukan revisi defisit anggaran dari 6,27 persen menjadi 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Outlook tersebut selaras dengan proyeksi penerimaan yang masih cukup jauh dari ekspektasi.

Pertumbuhan ekonomi sendiri menurut Badan Pusat Statistik (BPS) terkapar di level 5,32 persen pada sepanjang kuartal II/2020. Hasil tersebut kontras dengan raihan periode yang sama 2019 dengan 5,05 persen dan juga kuartal I/2020 dengan 2,97 persen.

Adapun, lima sektor utama yang menjadi kontributor pembentukan PDB kompak terkontraksi selama triwulan kedua tahun ini. Masing-masing sektor itu adalah transportasi dan pergudangan (-1,29 persen), industri pengolahan (-1,28 persen), perdagangan (-1,00 persen), akomodasi dan makanan (-0,66 persen), serta industri lainnya (-1,09) persen.

Berita terkait
BPS: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2020 Minus 5,32%
Badan Pusat Statistik memberikan keterangan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi hingga level minus
BPS: Pariwisata Jakarta Mulai Pulih, Ini Buktinya
Sektor pariwisata di DKI Jakarta sudah mulai menunjukan peningkatan aktivitas dalam era normal baru
BPS Kirim Sinyal Kelangkaan Pangan Mulai Juli 2020
Badan Pusat Statistik menyebut Indonesia sangat berpotensial menghadapi krisis pangan di tenagah masa pandemi Covid-19.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.