Perempuan-perempuan Pengukir Jepara

Kota Ukir, julukan untuk Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Tercatat 2000 perempuan pengukir di Desa Petekeyan, termasuk Rofiatun dan Maghfiroh.
Seorang perempuan pengukir tengah menyelesaikan ukiran kaki kursi, jenis rococo, di depan rumahnya. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Jepara - Kota Ukir, begitulah julukan untuk Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Rasanya slogan itu tidak berlebihan, lantaran kegiatan ukir sudah mendarah daging bagi warganya. Tak terkecuali bagi perempuan. Di kota ini, keterampilan mengukir tak hanya dimonopoli pria, kaum hawa pun cakap.

Seperti perempuan-perempuan di Desa Petekeyan, Kecamatan Tahunan. Tercatat sekitar 2000 perempuan di desa ini menekuni kegiatan mengukir. Tidak hanya sebagai buruh, namun ada pula mereka yang menjadi ahli desain.

Untuk membuktikannya, silakan berkunjung ke desa yang terletak di sisi selatan, sekira 5,8 kilometer dari pusat kota Jepara. Sebagai penanda, terdapat gapura bertuliskan "Petekeyan Desa Sembada Ukir".

Bila dilihat sekilas, kegiatan mengukir memang tidak terlihat. Namun, begitu masuk lebih dalam, banyak pengukir yang menunduk sibuk menorehkan alat tatah pada sebuah kayu.

Seperti yang dilakukan oleh Rofiatun, 45 tahun dan suaminya Dasim, 52 tahun. Pasangan suami istri ini, bahu membahu mengukir sebuah papan kayu untuk sandaran kursi. Motifnya bunga matahari.

Berhadap-hadapan, keduanya tampak sibuk. Namun, keduanya ramah ketika Tagar pada Jumat, 2 Agustus 2019, melontarkan pertanyaan terkait kegiatan yang sedang dilakukan oleh mereka.

Pengukir JeparaRofiatun, 45 tahun (kanan) dan suaminya Dasim, 52 tahun. Pasangan suami istri ini bahu membahu mengukir papan kayu untuk sandaran kursi. Motifnya bunga matahari. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Rofiatun mengatakan, tengah menyelesaikan pesanan ukiran untuk sandaran kursi. Untuk satu set kursi, ia dibayar Rp 90 ribu.

"Satu set itu terdiri dari tiga kursi, satu bangku dan satu meja," ujarnya sambil terus fokus pada pekerjaannya.

Ketika ditanya, ihwal asal-usul mengapa perempuan-perempuan di Desa Petekeyan pandai mengukir, Rofiatun mengaku tidak tahu. Namun yang pasti, sejak kecil ia sudah kerap menyaksikan dan dilibatkan dalam proses mengukir oleh orang tuanya dulu.

Hal itu pun menurun pada anaknya Uliya, 24 tahun, yang kini telah berumah tangga.

"Anak saya juga bisa mengukir. Tidak ada yang mengajarkan, cuma memang dari kecil sering melihat kami menatah (mengukir). Jadi terbiasa," ujarnya.

Dalam sehari, ia dan suaminya bisa menyelesaikan dua set ukiran.

Selain mengukir, Rofiatun pun membuka sebuah toko kelontong di depan rumahnya. Ia menyebut, dengan mengukir di rumah, dirinya bisa membantu keuangan keluarga dengan tidak mengabaikan perhatiannya pada dua buah hatinya.

Anak saya juga bisa mengukir. Tidak ada yang mengajarkan, cuma memang dari kecil sering melihat kami menatah (mengukir). Jadi terbiasa.

Hal serupa diakui oleh Maghfiroh, 36 tahun. Ia mengatakan, keterampilan mengukir memang sudah diturunkan sejak kecil. Baginya, proses pembelajaran ukir dilakukan secara otodidak.

"Ya dengan melihat saja, dulu orang tua mengukir jadi terbiasa dan bisa," ujarnya.

Kini, ia hanya sesekali mengukir. Lantaran, berkonsentrasi pada urusan mendesain furniture. Selain itu, ia juga melatih pengukir-pengukir, khususnya perempuan, yang bekerja di tempatnya dan suaminya Bambang Widodo.

"Ada kalau 10 motif yang saya ciptakan," katanya.

Pengukir JeparaMaghfiroh, 36 tahun, bisa mengukir sejak kecil. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Regenerasi Macet

Namun, di tengah modernisasi dan masuknya industri di Jepara, rupanya ikut menggerus eksistensi perempuan pengukir. Lantaran, para perempuan yang baru lulus sekolah, lebih memilih bekerja sebagai buruh ketimbang menjadi pengukir.

"Banyak sekarang anak-anak muda yang memilih sebagai buruh garmen. Terutama yang baru lulus. Namun kalau yang sudah bisa mengukir sih memang lebih baik menggeluti ukir-ukiran," tutur Maghfiroh.

Bambang Widodo, suami Maghfiroh pun mengamini hal tersebut. Ia mengatakan, pada kurun waktu 1996 masih banyak pengukir perempuan yang berkarya.

"Tahun 1996 paling banyak, kalau sekarang, pengukir (pekerja Bambang) ada lima, yang empat itu perempuan," kata Bambang.

Ketua Kampung Sembada Ukir Petekeyan, Marsodiq, mengungkapkan hal serupa. Dengan adanya pabrik-pabrik garmen, banyak generasi muda yang ikut tersedot ke dalamnya.

"Jumlahnya memang tetap seperti itu. Pengukir sekitar 3000 lebih sekitar 60 persen dari total pengukir di Desa Petekeyan adalah perempuan. Tapi dengan adanya pabrik, memang larinya (memilih bekerja) ke sana," tuturnya. 

Regenerasi pengukir perempuan, menurut Marsodiq, mulai macet sejak tiga tahun terakhir.

Sejarah Pengukir Perempuan

Marsodiq mengungkapkan, budaya mengukir perempuan sebenarnya hal lazim di Kabupaten Jepara, sejak 1970. Di era itu, industri rumahan melibatkan anggota keluarga sendiri.

"Jadi pada tahun itu lazim ditemukan sebuah industri kecil rumahan. Bapaknya jadi tukang kayu, ibunya jadi pengukir dibantu anak-anaknya. Gambarannya di Jepara seperti itu, termasuk di Desa Petekeyan," kata Marsodiq.

Seni ukir di Jepara sendiri berkembang sejak era Kesultanan Demak. Bersumber buku anggitan Hadi Priyanto, Mozaik Seni Ukir Jepara, seniman-seniman ukir yang dulunya melayani Raja Majapahit, diperkirakan eksodus ke Kesultanan Demak, saat era Majapahit runtuh.

Lalu pada Abad 16 kerajinan ukir di Jepara memasuki masa keemasan. Lantaran sebagai kota pelabuhan, Jepara banyak menerima pengaruh dari budaya-budaya asing, yaitu Tiongkok dan Eropa.

Hal ini juga dibuktikan satu di antaranya dengan, panel ukiran di Masjid Mantingan. Di Masjid yang dibangun sekitar 1559 ini, ditemukan ukiran dalam bentuk medalion yang tertempel pada dinding masjid, berukirkan motif stilirisasi flora.

Masih menurut buku Mozaik Seni Ukir Jepara, perkembangan seni ukir juga disokong tokoh emansipasi, Raden Ajeng Kartini. Ia yang saat itu masih berusia belia, berani mengirimkan karya-karya perajin Jepara ke Den Haag pada 1898.

"Saat itu usianya baru 16 tahun, bersama adiknya Rukmini dan Kardinah ia telah mengirimkan karyanya dalam Pameran Nasional Karya Wanita atau Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbied di Den Haag tahun 1898," sebagaimana tertulis pada buku tersebut halaman 32.

Karya yang dikirimkan di antaranya lukisan berbingkai ukiran, hiasan dinding bunga tulip, hiasan dinding bergambar burung daei kain satin dalam bingkai bambu, lukisan kaca, lukisan dalam bingkai kayu still rococo dan sebagainya.

Kartini melakukan langkah-langkah teknis dengan memberdayakan perajin yang ada di Dukuh Belakang Gunung. Dengan bimbingan Singowiryo, para perajin membuat berbagai rupa kerajinan seperti peti rokok, meja kecil, tempat jahitan.

Karya-karya itu kemudian dipromosikan pada teman-teman Kartini asal Belanda. Hal itulah yang kemudian melambungkan ukir-ukiran Jepara.

Hingga saat ini, sektor furniture pun masih menjadi unggulan Kabupaten Jepara. Catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jepara, ekspor furniture kayu menempati urutan pertama dari 14 jenis komoditas perdagangan ke luar negeri.

Pada tahun 2018, volume ekspor kayu mencapai 59.949.757,48 kilogram. Sementara nilai ekspornya mencapai USD 179.033.428,80. []

Berita terkait
Gelang Haji, Kreasi Perajin Asal Jepara
Tahukah anda gelang yang dipakai Jemaah Calon Haji (JCH) asal Indonesia dari mana? ternyata gelang tersebut dibuat oleh pengrajin dari Jepara Jawa Tengah.
Perhiasan Cantik, Karya Siswi Difabel di Jepara
Seperti murid-murid Sekolah Luar Biasa Negeri Jepara. Mereka justru sibuk dengan pembuatan perhiasan wire bross.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.