Perda Pariwisata Halal NTB Hanya Aturan Normatif

Gaung wisata halal terus bergema. Provinsi NTB daerah pertama di Indonesia yang mempunyai perda pariwisata halal, apa saja yang diatur perda?
Pesona alam Pantai Senggigi Lombok. (Foto: Instagram/@yoga.dwisgnd)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Belakangan ini wacana wisata halal kian gencar digaungkan. Beberapa daerah yang jadi tujuan wisata menerapkan konsep wisata halal walaupun di beberapa daerah terjadi penolakan. Ada kekhawatiran label ‘halal’ terkait langsung dengan syariah Islam sehingga mengganggu pranata sosial berupa seni dan budaya setempat.

Salah provinsi di Indonesia sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang pariwisata halal, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Perda No 2 Tahun 2016 tenang Pariwisata Halal yang disahkan tanggal 21 Juni 2016 dan ditandatangani oleh Gubernur NTB H.M. Zainul Majdi.

Adakah yang istimewa dalam Perda Wisata Halal NTB? Ternyata yang diatur adalah hal-hal yang normatif yang sebenarnya bisa diatur dalam pemberian izin terkait dengan pendirian sarana dan prasarana di sektor pariwisata

Misalnya, dalam pemberian IMB (izin mendirikan bangunan), izin usaha restoran, izin usaha perhotelan, dll. dicantumkan persyaratan yang sesuai dengan kaidah syariah.

Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah Perda ini bisa diterapkan secara utuh di Senggigi dan gugusan pulau-pulau gili di lepas pantai barat Lombok yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air?

Gili TrawanganGili Trawangan Lombok. (Foto: Instagram/@mehekgr)

Suasana di Pantai Senggigi persir seperti di Pantai Kuta, Bali. Begitu juga dengan di pulau-pulau gili wisman berjemur di pantai dengan pakaian yang minim.

[Baca juga: Wisata Halal, Quo Vadis Pariwisata Danau Toba]

Pengertian wisata disebut di Pasal 1 ayat 13:  Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Pengertian ini adalah umum sebagai bagian dari pariwisata. Menyebut ‘waktu sementara’ tidak tepat karena dalam dunia pariwisata ada istilah ‘lama tinggal’ dalam hitungan hari. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan gambaran tentang ‘lama tinggal’ Wisman di Indonesia (2016). Wisman asal Swedia ternyata yang paling lama ‘lama tinggal’ ketika bekunjung ke Indonesia yaitu 15,40 hari, sedangkan yang paling singkat adalah wisman asal Singapura yaitu 4,35 hari.

Ada pun tujuan dari regulasi wisata halal diatur di Pasal 2, yaitu: Maksud pengaturan Pariwisata Halal dalam Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan pelayanan kepada wisatawan agar dapat menikmati kunjungan wisata dengan aman, halal dan juga dapat memperoleh kemudahan bagi wisatawan dan pengelola dalam kegiatan kepariwisataan.

[Baca juga: Bikini di Bali Akan "Ditertibkan"]

Keamanan dan kenyamanan merupakan hak setiap orang tanpa harus diatur dengan label halal. Kegiatan pariwisata secara umum harus aman dari berbagai aspek, seperti fisik, psikologis, penyakit, dll.

Sedangkan destinasi pariwisata halal diatur di Pasal 6 ayat: (1) Destinasi Pariwisata Halal meliputi atraksi wisata alam dan wisata budaya. (2) Pengelola Destinasi pariwisata halal harus membangun fasilitas umum untuk mendukung kenyamanan aktivitas kepariwisataan halal. (3) Fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. tempat dan perlengkapan ibadah wisatawan Muslim; dan b. fasilitas bersuci yang memenuhi standar syari’ah;

Ketentuan tentang destinasi halal ini pun merupakan bagian dari ketentuan yang berlaku umum. Di Jakarta gedung yang termasuk awal menyediakan fasilitas bersuci yang memenuhi standar syari’ah adalah gedung Surveyor Indonesia (SI) yang digagas oleh mendiang Toga Sitompul, yang pernah menjabat Dirut SI.

Di Pasal 7 ayat 1 diatur soal pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam kancah pariwisata halal yaitu: Pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata halal meliputi: a. penguatan kesadaran masyarakat; b. peningkatan kapasitas dan peran masyarakat dalam pengelolaan usaha; dan c. peningkatan pendapatan masyarakat.

Terkait dengan Pasal 1 ayat 1 huruf a yaitu penguatan kesadaran masyarakat dalam hal ini terhadap pariwisata erat kaitannya dengan hospitality (keramahtamahan). Adakah hospitality yang alami selain di Yogyakarta dan Bali? 

Sedangkan yang terkait dengan huruf c sering terjadi kekecewaan wisatawan karena merasa ditipu dengan harga yang tidak masuk akal. Di Banten, misalnya, ada yang terpaksa membayar makanan laut bakar hampir Rp 1 juta. Sedangkan di Danau Toba duduk di kursi di warung atau restoran harus dibayar.

Yang diatur di Pasal 8 terkait dengan regulasi yang selalu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar dipermudah. Pertanyaannya adalah: Apakah dengan label syari’ah kegiatan usaha di sektor pariwisata halal bisa mengapus peraturan yang menghambat laju investasi?

[Baca juga: Wisata Halal Danau Toba Pelabelan yang Salah Kaprah]

Di Pasal 11 ayat 1 disebutkan: Industri pariwisata konvensional adalah usaha-usaha wisata yang menjual jasa dan produk kepariwisataan yang tidak berpatokan pada prinsip-prinsip syari’ah. (2) Industri pariwisata konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan: a. arah kiblat di kamar hotel; b. informasi masjid terdekat; c. tempat ibadah bagi wisatawan dan karyawan muslim; d. keterangan tentang produk halal/tidak halal; e. tempat berwudhu yang terpisah antara laki-laki dan perempuan; f. sarana pendukung untuk melaksanakan sholat; dan g. tempat urinoir yang terpisah antara laki-laki dan perempuan dan memudahkan untuk bersuci.

Yang diatur di Pasal 11 ini juga merupakan bagian sarana pariwisata yang bisa saja dijadikan syarat dalam mengajukan IMB. 

Tentang akomodasi diatur di Pasal 14 ayat  4: a. tersedia fasilitas yang layak untuk bersuci; b. tersedia fasilitas yang memudahkan untuk beribadah; c. tersedia makanan dan minuman halal; b. fasilitas dan suasana yang aman, nyaman dan kondusif untuk keluarga dan bisnis; dan c. terjaga kebersihan sanitasi dan lingkungan.

Ini juga persyaratan umum karena huruf c juga sudah banyak dilakukan biar pun tidak ada aturan yang mengatur karena pelaku wisata memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim. Seperti di kawasan wisata Danau Toba tanpa ada label halal pun di sana banyak warung dan restoran halal yang dijalankan oleh warga Muslim. 

*Syaiful W. Harahap, Redaktur di “Tagar”

Berita terkait
Hentikan Wacana Wisata Halal, Usut Perusak Danau Toba
Aliansi Mahasiswa Peduli Danau Toba menyatakan penolakan terhadap wisata halal di Danau Toba.
Warga Muslim Sebut Danau Toba Tak Butuh Wisata Halal
Warga muslim yang pernah berkunjung ke sana pun menyebut, tak perlu ada wisata halal di kawasan Danau Toba.
Wisata Air Terjun Benang Kelambu di Lombok Tengah
Air terjun berselimut lumut dan dedaunan mirip kelambu terpasang di tebing. Wisata air terjun Benang Kelambu di Lombok Tengah.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.