Perbedaan Tuntutan Prabowo di MK 2014 dengan 2019

Mk tolak gugatan PHPU Prabowo-Sandi. Penolakan tersebut adalah kedua kalinya setelah 2014 dan terdapat perbedaan.
Majelis Hakim MK membacakan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019). (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A/foc.)

Jakarta - Mahkamah konstitusi menolak seluruh gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan wakil presiden Sandiaga Uno yang diumumkan pada Kamis, 27 Juni 2019, Pukul 21.16 WIB. Penolakan tersebut adalah kedua kalinya setelah 2014 silam dan terdapat perbedaan tuntutan diantara keduanya.

Saat itu ketua umum Partai Gerindra itu berpasangan dengan Hatta Rajasa. Secara garis besar, Prabowo mempersoalkan kecurangan yang bersifat terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2014 dan 2019.

Pilpres 2014

Dalam sidang yang berlangsung pada Kamis, 21 Agustus 2014 dari siang hingga malam itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengelompokkan penolakan yakni:

1. Pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan wakil presiden Hatta Rajasa klaim kemenangan dari calon presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Mereka menilai, penghitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan Jokowi-JK tidak sah karena terjadi kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif dalam pilpres.

Saat itu pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan rinci tingkat mana dan dimana terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan berkurangnya perolehan suara pemohon dan bertambahnya perolehan suara pihak pasangan calon presiden  Jokowi-JK. "Justru sebaliknya keterangan saksi yang diajukan oleh termohon dan pihak terkait membuktikan bahwa tidak ada keberatan dari semua saksi pasangan calon dalam proses rekapitulasi mengenai perolehan suara," kata Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Alim.

2. Penyusunan dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Prabowo-Hatta menuding KPU melakukan kecurangan dengan pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Pengabaian tersebut berujung pada kasus manipulasi data DPT sehingga dianggap menguntungkan pihak pasangan calon 02 Jokowi-JK. Namun di hadapan Mahkama hal itu tidak terbukti. Penyusunan DPT merupakan proses panjang yang dilakukan KPU dengan tahapan yang sesuai dengan aturan.

"Maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemlih sebagaimana didalilkan pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut," ujar Hakim Ahmad Fadlil Sumadi.

3. Pihak Prabowo-Hatta curiga terhadap jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) adalah strategi mobilisasi massa untuk memenangkan Jokowi-JK. Mereka menilai DPKTb tidak sah dan melanggar undang-undang. Selain itu, mereka tidak bisa menjamin siapa yang dipilih oleh pemilih yang terdaftar di DPKTb karena pemilu bersifat rahasia.

"Pemohon sama sekali tidak dapat membuktikan berapa kepastian perolehan suara yang diperoleh pemohon jika hal tersebut (DPKTb) tidak terjadi," ucap Hakim Aswanto.

4. Prabowo-Hatta menilai KPU telah sengaja mengabaikan rekomendasi guna memenangkan Jokowi-JK. Menurut MK Bawaslu tidak cermat dan tidak mengawasi pelaksanaan rekomendasi yang telah diberikan. Namun, hal itu tidak termasuk kedalam sebuah bentuk kecurangan.

"Sehingga oleh karena Bawaslu tidak mempersoalkan pelaksanaan rekomendasinya secara keseluruhan oleh termohon, menurut Mahkamah, Bawaslu harus dianggap telah menerima pelaksaan rekomedasi oleh termohon," ujar Hakim Maria Farida Indriarti.

5. Merasa dicurangi karena di Papua pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan nol suara. Hal tersebut dikeluhkan langsung oleh Prabowo dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang totaliter, fasis, dan komunis saat berorasi dalam sidang MK. Namun MK menilai raihan nol suara disejumlah TPS bukan berarti kecurangan.

6. Pasangan yang diusung koalisi Merah Putih itu menghadirkan lima saksi dari daerah. Hal itu dilakukan karena mereka menilai sistem noken atau ikat tidak sah menurut hukum.

"Mahkamah berpendapat pemungutan suara dengan sistem noken atau ikat adalah sah menurut hukum karena dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945," ujar Hakim MK Wahidudin Adams.

Seperti di Jawa Tengah, Prabowo-Hatta mencurigai adanya ketelibatan pemerintah setempat yang juga kader PDIP Ganjar Pranowo mengirimkan surat perintah kepada seluruh lurah untuk memihak kepada Jokowi.

"Dalam persidangan pemohon tidak bisa membuktikan baik dengan bukti saksi maupun bukti tilisan adanya tindak lanjut dan pengaruh surat Gubernur Jawa Tengah tersebut terhadap perolehan suara masing-masing calon," tutur Hakim Ahmad Fadlil Sumadi.

Tidak hanya itu, pihak Prabowo-Hatta juga menuding bahwa KPU menggunakan tinta yang mudah hapus sehingga pemilih bisa mencoblos dua kali. Namun dalam persidangan, dalam hal itu bukti tidak bisa ditunjukkan sehingga dianggap tinta itu tidak pernah ada.

Melihat tuduhan kecurigaan pihak Prabowo-Hatta, Mahkamah menyimpulkan pokok permohonan yang diajukan tidak beralasan menurut hukum.

"Mengadili, menyatakan dalam pokok permohonan: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Hamdan Zoelva.

Pilpres 2019

Sementara dalam Pemilu 2019, hal yang sama juga dilakukan oleh pasangan calon presiden Prabowo Subainto dan wakil presiden Sandiaga Uno, yaitu menggugat kemenangan yang diperoleh pasangan Jokowi-Ma'aruf Amin karena kecurangan. Meskipun begitu, terdapat beberapa perbedaan dari gugatan sebelumnya di tahun 2014, yaitu:

1. Permohonan kubu Prabowo soal 17,5 juta DPT bermasalah. Hakim konstitusi Enny Nurbanningsih mempertayakan barang bukti p.155 berupa dokumen terkait tuduhan 17,5 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Dalam hal ini kubu Prabowo tidak bisa membuktikan tuduhannya di hadapan MK.

"Ini kan kemarin sudah diverifikasi barang bukti, muncul P.155 yang disebut mengenai data 17,5 juta pemilih yang tidak wajar," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

2. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menemukan keanehan amplop suara yang diserahkan kubu 02 ke MK pada Rabu 19 Juni 2019. Diketahui amplop yang disebut ditemukan di kecamatan itu berasal dari tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda-beda.

"Yang mulia, kami minta izin kalau boleh untuk foto amplop yang lainnya. Sebab, kami temukan tulisan tangan di amplop sama dan identik, padahal dari TPS berbeda," ucap kuasa hukum KPU Ali Nurdin.

3. Saat ketua MK Anwar Usman mempersilahkan tim hukum 02 membacakan permohonan. Pihak MK menemukan kejanggalan yaitu isi permohonan yang bertolak belakang pada dokumen yang didaftarkan ke MK pertama kali pada 24 Mei 2019. Awalnya surat permohonan hanya terdiri dari 37 halaman sementara permohonan kedua menjadi bertambah jumlahnya yaitu mencapai 147 halaman.

4. Tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga menyuarakan pihaknya akan membawa 12 truk barang bukti ke MK. Namun hanya tiga truk yang berisi kotak besar yang terparkir di halaman gedung MK pada Senin, 17 Juni 2019.

"Isinya ada berita acara tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara Provinsi Banten dalam pemilihan umum 2019, berita lampiran C1, kemudian ada juga untuk DKI Jakarta, Jabar, DIY, Jateng, Jatim, Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, dan lain-lain," ujar Anggota kuasa hukum 02, Luthfi Yazid.

Namun dalam pengakuan tim hukum kubu 02, mereka kesulitan untuk menurunkan muatan sejumlah truk yang berisi barang bukti untuk sidang sengketa Pilpres 2019. Mereka mengatakan kesulitan tersebut dikarenakan jalan menuju ke MK diblokir. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Pemerintah AS Siap Batalkan Pinjaman Mahasiswa Senilai 6 Miliar Dolar
AS akan batalkan pinjaman mahasiswa senilai 6 miliar dolar bagi 200.000 peminjam yang klaim bahwa mereka ditipu oleh perguruan tinggi mereka