Penjual Balon Difabel di Kotagede Yogyakarta

Seorang kakek difabel berusia 66 tahun tetap turun ke jalanan untuk menjual balon gas di kawasan pasar Kotagede Yogyakarta demi menyambung hidup.
Giman, 66 tahun, seorang difabel yang berprofesi sebagai penjual balon gas di kawasan Pasar Kotagede, Yogyakarta, Jumat, 25 September 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Pria tua penjual balon itu duduk di depan salah satu rumah bercat putih, tidak jauh dari kawasan Pasar Kotagede Yogyakarta. Balon gasnya masih ada tujuh unit dari 10 balon yang dibawanya saat keluar dari rumah pagi tadi.

Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 07.00 WIB lewat sedikit saat itu, Jumat, 25 September 2020. Lalulintas sudah mulai padat meski belum seramai saat jam sibuk.

Sekilas tak ada yang menarik dari penjual balon tua itu. Hanya kumis dan jenggot tipisnya yang berwarna putih, kerutan khas wajah yang termakan usia di antara kedua mata dan di sudut-sudut kelopak matanya, topi lusuh dan sandal jepit berwarna hijau.

Tapi, jika diperhatikan lebih saksama, tangan kiri bapak penjual balon tua bernama Giman, 66 tahun, ini tampak terlipat ke dalam. Giman adalah seorang difabel yang secara mandiri bekerja untuk kelangsungan hidupnya.

Giman sempat viral beberapa waktu lalu karena sebagian penghasilannya sebagai penjual balon gas disisihkan untuk memberi makan anak jalanan.

Berjualan Sejak 1987

Giman menceritakan awal dirinya menjual balon gas. Saat itu sekitar tahun 1987. Sebelumnya Giman memang berjualan mainan anak-anak, tetapi sebagian besar merupakan permainan tradisional, termasuk yang terbuat dari bambu dan tanah liat.

Penjual Balon Difabel Yogyakarta (2)Giman, 66 tahun, seorang kakek difabel yang berprofesi sebagai penjual balon gas, sedang menunggu pembeli, di kawasan Pasar Kotagede, Yogyakarta, Jumat, 25 September 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Ngantos tahun 87 nembe mande niku, othok-othok, zaman unyil. (Hingga tahun 87 saya baru menjual mainan othok-othok, semacam mobil-mobilan dari bambu, zaman Unyil),” kata dia.

Pada tahun 1987 itu, seorang bibinya menyarankan agar Giman beralih profesi menjadi penjual balon gas. Menurut sang bibi, profesi itu cukup menjanjikan.

Bibinya tersebut kemudian memberinya modal untuk membeli tabung balon gas. Waktu itu harga beli tabung balon gas dan ongkos membuat tidak terpaut jauh.

Satu unit tabung waktu itu dihargai sekitar Rp5 juta, sementara jika membuat sendiri, harganya sekitar Rp 3 juta lebih.

Mbolong tabung niku tigang dinten mboten rampung (Melubangi tabung itu tiga hari tidak bisa selesai). Sak bolongan meniko paling mboten mata bor kalih (Satu lubang itu paling tidak butuh dua mata bor).

Sebelum dia mengambil keputusan untuk membeli atau membuat tabung balon gas, Giman mencari orang yang paham tentang pengoperasian tabung balon gas.

Kulo sakderenge tumbas alat niku kulo pun pados sisik melik konco sing saget ngaten niku, ning kulo mboten takon, mung mepet, carane ngerangkai, ben iso mabur niku ngagem nopo ngaten, suwe-suwe srawung. (Sebelum saya beli alat itu, saya sudah cari informasi tentang teman yang paham, tapi saya tidak bertanya, cuma saya pepet, caranya merangkai, supaya bisa terbang bagaimana, begitu, lama-lama saya kenal),” ucap Giman.

Kebetulan lagi, orang itu kemudian membutuhkan biaya untuk sekolah anaknya, yang masing-masing duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, SMP, dan SMA.

Akhirnya, dengan modal yang diberikan dari bibinya, Giman membeli tabung milik temannya tersebut dan memulai usahanya.

“Saya sudah paham cara mengisi gas ke balon. Waktu itu saya memperhatikan, tapi saya tidak pernah bertanya, sebab biasanya kalau bertanya justru diplestkan jawabannya,” kenangnya dalam bahasa Jawa.

Setelah itu, usahanya yang lain, seperti menjual mainan tradisional ditinggalkan, karena Giman lebih memilih untuk fokus pada usaha barunya, menjual balon gas.

Harga Tak Pernah Berubah

Sejak awal dirinya menjual balon gas pada tahun 1987, harga balon gas yang dipatok oleh Giman tidak pernah berubah hingga saat ini, yakni Rp 5 ribu per balonnya. Harga itu berlaku untuk pembeli eceran maupun untuk pesanan dalam jumlah cukup banyak.

Biasanya penjualan balon gas sangat laris pada bulan Juli, saat tahun ajaran baru dimulai dan saat beberapa kampus memulai pengenalan kampus.

Penjual Balon Difabel Yogyakarta (3)Saat ini Giman, 66 tahun, hidup seorang diri di rumah kontrakannya di kawasan Kotagede Yogyakarta. Anak perempuan satu-satunya tinggal bersama sang suami di Ciamis, Jawa Barat. (Foto: Tagar/ Kurniawan Eka Mulyana)

Nek sasi pitu kan katah sing pados balon nggih MOS niku, niku paling laris (Kalau bulan tujuh kan banyak yang cari balon untuk MOS, itu paling laris). Kok ndilalah usaha kulo maju, njuk kulo gadah gagasan bantu anak jalanan meniku, nggih mulai 87 ngantos sakniki (Kebetulan jualan saya lumayan laris, terus saya punya gagasan untuk membantu anak jalanan, ya mulai tahun 87 sampai sekarang),” kata dia.

Saat ditanya, apakah dengan berbagi itu penghasilannya tidak berkurang, Giman mengaku berbagi justru membuat rezekinya selalu lancar. Apalagi yang dibagikan juga tidak seluruh penghasilannya.

Nggih ndilalah, esuk payu 10, sore payu 10 niku rak sampun satus (Ya kalau pagi laku 10 balon, sore laku 10 balon, itu kan sudah Rp 100 ribu). Satus niku kulo pundut 90 ewu, 10 ewune dikasihkan ke anak jalanan (Dari seratus ribu itu, saya ambil Rp 90 ribu, sisanya Rp 10 ribu yang saya kasihkan ke anak jalanan),” kata Giman lagi.

Saat ini Giman hidup seorang diri di rumah kontrakannya di kawasan Kotagede, sebab anak satu-satunya sudah menikah dan tinggal bersama sang suami di Ciamis, Jawa Barat sejak tahun 2004.

Bojo kulo niku 96 mati, gampangane mati (Istri saya mati tahun 1996, gampangnya matilah). Neng anak kulo ket sd kelas 3 kulo titipke mbahe ngantos SMA (Tapi anak saya sejak SD kelas tiga sudah saya titipkan di rumah neneknya sampai SMA),” kata Giman yang mengaku asli Gunungkidul tersebut.

Giman juga menceritakan bahwa untuk beraktivitas, dirinya membutuhkan alat bantu berupa tongkat, sebab dirinya terkena penyakit asam urat, dan sejak itu tidak bisa lepas dari tongkatnya.

Meski Giman mengaku sering berbagi dengan anak jalanan setelah selesai menjual, namun ada juga pengguna jalan yang ternyata merasa iba melihat kondisi fisik Giman. Seperti pagi itu. Seorang perempuan pengendara sepeda motor tiba-tiba datang dan turun menemui Giman.

Perempuan itu mengeluarkan sepaket nasi bungkus dan teh hangat yang ditempatkan dalam kantong plastik, kemudian diberikan pada Giman. Giman pun tanpa sungkan menerima pemberian dari perempuan itu dan menyimpannya di dalam wadah semacam ember yang dibawanya. []

Berita terkait
Cerita Kakek Pembuat Gantungan Knalpot di Semarang
Seorang kakek berusia 98 tahun di Semarang hidup dengan menjadi produsen sekaligus penjual gantungan knalpot. Per unit dihargai Rp 2 ribu.
Kualitas Ukiran Gorga Terbaik Karya Seniman di Toba
Jesral Tambun, seniman pahat asal Kecamatan Bonatualunasi, Kabupaten Toba, membuat gorga yang jadi desain medali Duathlon Toba 2020.
Pembuat Kelapa Jeli di Aceh Enggan Gunakan Mesin
Seorang pembuat kelapa jeli di Aceh Barat, Agus, 37 tahun, enggan menggunakan mesin dalam proses pembuatan, agar tenaga manusia tetap dipakai.
0
Parlemen Eropa Kabulkan Status Kandidat Anggota UE kepada Ukraina
Dalam pemungutan suara Parlemen Eropa memberikan suara yang melimpah untuk mengabulkan status kandidat anggota Uni Eropa kepada Ukraina