Cerita Kakek Pembuat Gantungan Knalpot di Semarang

Seorang kakek berusia 98 tahun di Semarang hidup dengan menjadi produsen sekaligus penjual gantungan knalpot. Per unit dihargai Rp 2 ribu.
Mbah Waryono, 98 tahun sedang menyelesaikan pembuatan breket atau gantungan knalpot kendaraan di bengkel sederhana yang berada di depan rumahnya, Selasa 22 September 2020. (Foto: Tagar/Yulianto)

Semarang – Kandang ayam usang berdiri di sebelah kiri Maryono, 98 tahun. Sebagian bilahnya sudah melengkung akibat beban meja kayu yang harus disangganya. Kandang itu kosong dan entah apakah masih digunakan atau tidak.

Sementara di belakang Mbah Waryono, sapaan akrabnya, dinding batako kusam berdiri, sekaligus menjadi tiang untuk atap ruang kerjanya itu, dengan tiang lain berupa balok kayu pada bagian depan.

Meja kecil dilapisi plastik berwarna biru muda menjadi meja kerja Mbah Waryono. Sejumlah peralatan dan “senjata” pendukung tergeletak di situ, seperti penjepit plat besi dan palu.

Gumpalan mendung kelabu makin jelas melayang di sekitar tempat itu, salah satu gang di Jalan Palir Lestari, RT 04/RW 09, Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang Jawa Tengah, Selasa sore, 22 September 2020.

Belasan anak dan remaja terlihat berkejar-kejaran. Mereka seperti tidak khawatir akan basah kuyup jika hujan turun nantinya.

Pamer Keahlian

Di bengkelnya yang sederhana, Mbah Waryono menunjukkan keahliannya mengolah besi bekas dan ban bekas sepeda motor pada Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.

Cerita Kakek Pembuat Gantungan Knalpot Semarang (2)Mbah Waryono, 98 tahun, menunjukkan cara pembuatan gantungan knalpot kendaraan di bengkel sederhana yang berada di depan rumahnya, Selasa 22 September 2020. (Foto: Tagar/Yulianto)

Hanya berbekal beberapa peralatan yang tak kalah sederhana, seperti gunting, pisau dan arit, Mbah Waryono mampu mengubah bahan ban bekas menjadi alat bantu gantungan knalpot sepeda motor.

"Aku gawe gantungan knalpot pertama ya kulakan ban, terus wes tekan omah diirisi kanggo arit. Bar kuwi dipotong-potong ngganggo gunting. (Saya membuat gantungan knalpot pertama ya membeli ban bekas, terus sampai rumah saya iris dengan arit. Setelah itu, ban saya potong-potong dengan gunting)," kata Mbah Waryono pada Hendy, sapaan akrab Hendrar Prihardi.

Sambil melubangi ban yang telah dipotong-potong, pria kelahiran tahun 1922 ini melanjutkan kisahnya.

Kata Mbah Waryono, profesi sebagai pembuat gantungan knalpot tersebut dilakoninya sejak Sembilan tahun lalu, setelah dia mengundurkan diri dari pekerjaannya di salah satu bengkel knalpot di Semarang.

Waktu itu Mbah Waryono meminta pada pemilik bengkel agar gajinya dinaikkan, tapi pemilik bengkel tidak menyanggupi, bahwa melontarkan kalimat yang cukup ketus.

Nek kuat ya lakonono, nek ra kuat yowes. (Kalau kuat ya kamu jalani, kalau tidak kuat ya sudah).

Setelah tidak bekerja di situ, Mbah Waryono memulai usahanya dengan modal seadanya. Dia membeli bahan-bahan dari para pengumpul barang rongsokan untuk dijadikan gantungan knalpot.

"Ban gede regane Rp 30 ewu, nek sekilo wesi ngrongsok Rp 6 ewu (Ban besar harganya Rp 30 ribu per buah, dan kalau besi sekilo dari tukang rongsok Rp 6 ribu," kata Mbah Waryono lagi.

Jika fokus memroduksi gantungan knalpot, dalam sehari Mbah Waryono bisa membuat hingga 200 unit gantungan knalpot. Dia mengantarkan sendiri gantungan-gantungan itu ke bengkel-bengkel di kawasan Kota Semarang.

Biasanya Mbah Waryono hanya menggunakan karung sebagai tempat penyimpanan gantungan-gantungan knalpot yang sudah jadi. 

"Nek wes dadi diwadahi bagor (kalau sudah jadi dimasukkan ke karung), aku antarkan ke bengkel-bengkel ngontel (naik sepeda) yang paling dekat di Banjir Kanal dan paling jauh, di Sayung Demak," ucap Mbah Waryono lagi.

Cerita Kakek Pembuat Gantungan Knalpot Semarang (3)Mbah Waryono, 98 tahun menunjukkan gantungan knalpot kendaraan yang telah selesai dibuatnya, Selasa 22 September 2020. (Foto: Tagar/Yulianto)

Area lain yang juga menjadi daerah pemasaran gantungan knalpot buatan Mbah Waryono adalah di kawasan Kaligawe, Pasar Genuk, Alastua, dan Penggaron. Kemudian, ke wilayah Pedurungan, Srondol, Banyumanik, hingga Ungaran, yang terletak di kawasan Semarang atas.

"Kalau pas jalannya nanjak, sepedanya dituntun. Biasanya juga ke wilayah barat sampai Kaliwungu, Brangsong, Cepiring," tutur pria berpeci merah ini.

Mbah Waryono mulai mengayuh sepedanya dari rumahnya sekitar pukul 07.00 dan kembali tiba di rumah pukul 17.00 WIB. Setiba di rumah, rutinitasnya adalah mandi menggunakan air garam.

"Pulang sampai rumah mandi pakai air hangat dikasih garam biar enteng di badan. Kemudian makan, wayahe (waktunya) salat ya salat. Nanti baru kerja lagi malam nekuki (melipat) besi, kalau siang baru nutuk-nutuk (memukul-mukul) biar tidak mengganggu tetangga,” ujar Mbah Waryono.

Jual Titip

Mbah Waryono mematok harga gantungan knalpot Rp 2 ribu per unit. Tapi saat dia menjual pada bengkel-bengkel, biasanya bengkel enggan membeli kontan. Mereka meminta agar Mbah Waryono menitipkan gantungan itu, nanti setelah laku baru uangnya dibayarkan.

"Kalau titipke 100 ya oleh Rp 200 ewu, nek 200, dapat duite Rp 400 ewu (Kalau menitipnya 100 dapat uang Rp 200 ribu, kalau 200 dapat uangnya Rp 400 ribu," kata Mbah Waryono.

Cerita Kakek Pembuat Gantungan Knlapot Semarang (4)Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Ketua DPRD Kota Semarang menyambangi Mbah Waryono yang hampir berusia satu abad di bengkel gantungan knalpotnya, Selasa, 22 September 2020. (Foto: Tagar/Yulianto)

Namun sudah seminggu ini Mbah Waryono tidak memroduksi gantungan knalpot. Karena dia baru saja mengalami kecelakaan, yakni tertabrak sepeda motor. Akibatnya, Mbah Waryono mengalami cedera di bagian bahunya.

“Sekarang tidak bekerja lagi membuat gantungan knalpot, karena butuh tenaga kuat. Selama libur untuk makan saya menagih bengkel yang dititipi dulunya masih membayar kurang-kurang,”terangnya.

Bahkan, lanjut dia , kini alat-alat sudah diberikan pada temannya untuk meneruskan produksi ini.

Saat ini, dirinya tinggal seorang diri di rumah itu, sebab, istri dan anak-anaknya tinggal di Pemalang. Mereka sering mengajak Mbah Waryono untuk ikut pulang ke Pemalang.

“Sepeda saya juga sudah dibawa anak saya kesana, dan menyuruh saya tinggal di Pemalang,” kata dia.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, simpati dengan kehidupan Mbah Waryono yang sudah sepuh tapi masih tetap semangat bekerja. Menurutnya kisah dan perjuangan Mbah Waryono patut dijadikan contoh oleh warga lainnya.

“Hari ini kita menyambangi beliau, berawal dari aduan warga yang menyampaikan surat ke saya kalau ada tetangganya yang tidak mampu usianya sudah sepuh dan tidak bisa mendengar,”kata Hendi.

Setelah melihat sosok Mbah Waryono, kata Hendi ternyata, adalah pribadi yang pantang menyerah dalam bekerja. Hal ini patut dicontoh bagi generasi muda.

"Sekelas beliau yang sudah sepuh tali semangat luar biasa, harus jadi pelajaran untuk tidak kenal menyerah seperti Mbah Waryono," ucap Hendi.

Ketua DPRD Kota Semarang, Kadarlusman juga mengaku terharu atas kehidupan Mbah Waryono. “Sehingga patut dijadikan panutan,” kata Pilus, sapaan akrabnya. []

Berita terkait
Belasan Anak Banyuwangi Lepas Liarkan Ratusan Belut
Belasan anak di Banyuwangi, Jawa Timur, melepasliarkan ratusan ekor belut ke habitat asli mereka di sawah.
Pembuat Kelapa Jeli di Aceh Enggan Gunakan Mesin
Seorang pembuat kelapa jeli di Aceh Barat, Agus, 37 tahun, enggan menggunakan mesin dalam proses pembuatan, agar tenaga manusia tetap dipakai.
Mengenang Rinaldi Harley, Korban Mutilasi Kalibata Jakarta
Rinaldi Harley, korban mutilasi sadis di Kalibata Jakarta. Berikut sepenggal kisah sebelum ajal menjemput.