Penerapan B100, Buka Moratorium Izin Kelapa Sawit

Moratorium untuk pengembangan kelapa sawit saat ini mungkin harus sudah dibuka kembali.
Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara Herawati saat dialog publik biodiesel dan deklarasi Forum Wartawan Perkebunan (Forwabun) Sumut di Aula PPKS Medan, Kamis 27 Juni 2019. (Foto: Tagar/Wesly Simanjuntak).

Medan - Melirik potensi biodisel, pemerintah Indonesia menerapkan B20 dan B30. Sesuai dengan roadmap kelapa sawit nasional, Indonesia akan mencapai Biodiesel 100 persen atau B100.

Hal tersebut dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara, Herawati pada Dialog Publik Biodiesel 50 dan Deklarasi Forum Wartawan Perkebunan (Forwabun) Sumut di Aula Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Jalan Brigjen Katamso No 51 Kota Medan, Kamis 27 Juni 2019.

"Dalam perjalanannya banyak yang harus diperbaiki, penerapan Biodiesel B100 ini apabila terlaksana tentunya potensi ekspor kita, harus dikurangi," ujar Herawati.

Dia menyebut saat ini produksi CPO Indonesia sekitar 40 juta ton, sehingga dengan diterapkannya B100, maka dibutuhkan 50 juta ton CPO untuk bahan baku yang harus disediakan.

"Artinya apa, moratorium untuk pengembangan kelapa sawit saat ini mungkin harus sudah dibuka kembali. Kalau tidak dibuka kembali khawatirnya kita impor dari negara-negara penghasil sawit yang lain," katanya.

PPKS senantiasa mendukung berbagai upaya pemerintah untuk mewujudkan peningkatan kualitas sawit. Serta mencari peluang apa saja produk yang dapat dihasilkan sawit

Terkait akibat kampanye negatif dari kebijakan renewable energy derivatife Uni Eropa yang tidak memperbolehkan penggunaan biodesel dari kelapa sawit karena tidak ramah lingkungan hingga harga minyak mentah atau Crude Palm Oil (CPO) kelapa sawit di Indonesia turun hingga Rp 6.620 atau anjlok 17 persen dibandingkan tahun lalu.

Lebih lanjut Herawati mengatakan pengembangan biodiesel menjadi sinyal positif untuk mendongkrak nilai ekonomis dari sawit. Sebab jika penerapan B100 ini sudah diterapkan 100 persen maka kebutuhan sawit sebagai bahan baku akan meningkat di dalam negeri.

"Hal ini tentu bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri. Jadi, tidak peduli lagi dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap sawit kita," ujarnya.

Herawati memastikan, masa depan petani sawit masih sangat cerah dan memiliki potensi yang sangat besar. Meskipun terjadi fluktuasi harga, namun berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk terus mengembangkan produk turunan dari sawit dipastikan akan membuat nilai ekonomis sawit akan terus terdongkrak.

Dia menyebutkan, secara khusus di Sumamatera Utara, saat ini lahan perkebunan sawit mencapai sekitar 1,3 juta hektare dan menjadi terbesar ke dua setelah Riau. Hampir sebagian besar, perkebunan sawit tersebut menurut Herawati merupakan milik petani.

"Pemerintah dan pelaku usaha harus bersinergi. Kelapa sawit indonesia menuju B100 terwujud. Tata kelola kelapa sawit masih berantakan. Sebagai contoh legalitas lahan petani. Petani tak punya sertifikat tanah. Sebagian lahan kelapa sawit masuk kawasan hutan dan lainnya," tandasnya.

Sementara itu, General Manajer PPKS Edy Supriyanto mengatakan Sumatera Utara sebagai sentra sejarah perkebunan nasional dan sentra perkebunan terbesar memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi kelapa sawit.

"PPKS senantiasa mendukung berbagai upaya pemerintah untuk mewujudkan peningkatan kualitas sawit. Serta mencari peluang apa saja produk yang dapat dihasilkan sawit," terangnya.[]

Artikel lainnya:

Berita terkait
0
Patung Dewa Hindu Asal Kamboja Dipamerkan di Amerika
Hampir 1.500 tahun lalu, sebuah patung monumental Dewa Krishna dalam agama Hindu diukirkan pada gunung suci Phnom Da di Kamboja selatan