TAGAR.id, Jakarta - Serangan terhadap -dan oleh- anggota komunitas Asia di Amerika Serikat (AS) mendorong banyak orang Asia untuk membeli dan berlatih menggunakan senjata.
Kelly Siu, warga Los Angeles, misalnya, dulunya termasuk orang yang menghindari senjata api. Namun, karena meningkatnya kasus penembakan massal dan serangan bernuansa rasial terhadap orang-orang Asia selama masa pandemi, ia berubah pikiran.
Tekadnya menguat setelah gerakan Black Lives Matter semakin terdengar gaungnya pada 2020. Ia khawatir gerakan Black Lives Matter akan berubah menjadi semacam pertempuran antaretnis yang pernah membelah Los Angeles di masa lalu, terutama dalam kerusuhan terkait kasus Rodney King. King adalah orang kulit hitam yang dipukuli polisi secara brutal pada tahun 1992 dan memicu kerusuhan besar-besaran.
Siu pun mulai mengoleksi senjata pada musim panas 2020. Ia kini memiliki empat pistol, dua senapan semi-otomatis dan satu senapan biasa. Ia mengatakan ayahnya yang berkebangsaan Vietnam dan ibunya berkebangsaan China sangat kecewa dengan hobi barunya itu.
"Ayah saya melarikan diri dari Vietnam pada saat perang Vietnam sedang mencapi puncaknya. Ada banyak kekerasan yang terjadi dan ketika ia mengetahui bahwa saya membeli senjata, ia sangat kecewa, dia berkata, 'Oh, kamu tidak membutuhkan itu. Kita kan punya polisi," kata Siu.
Namun, menurut perawat berusia 31 tahun itu, penembakan massal di sebuah studio dansa di Monterey Park, California, membenarkan keputusannya. Beberapa jam sebelum penembakan itu, ia merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarganya di pasar terdekat. Pelaku penembakan ternyata orang Asia.
Apalagi, dua hari kemudian di California utara, tujuh pekerja pertanian, kebanyakan dari mereka orang Asia, ditembak mati dalam apa yang menurut jaksa adalah penembakan di tempat kerja yang dilakukan oleh seorang warga keturunan Asia berusia 66 tahun.
Penembakan massal lainnya bisa terjadi, kata Siu, yang telah mengajukan izin untuk membawa senjatanya di tempat umum. Mengetahui bahwa ia memiliki senjata untuk berjaga-jaga dan menanggapi situasi itu membuat hatinya tenang.
Siu tidak sendirian. John Jung, seorang warga Amerika keturunan Korea, juga memutuskan membeli senjata dan mengambil kursus menembak karena sering terjadinya penembakan massal di AS. Keputusan Jung terkait kepemilikan senjata juga dipengaruhi oleh meningkatnya serangan rasis terhadap orang-orang Asia selama beberapa tahun terakhir yang bertepatan dengan penyebaran virus corona.
“Penembakan massal dan pandemi baru-baru inim benar-benar menegaskan perlunya keterampilan menggunakan senjata. Saya pikir kebutuhan akan pelatihan untuk membela diri selalu ada, tapi mungkin saya terlalu naif. Tapi melihat semua itu terungkap langsung, Anda tahu, secara online atau di mana pun, itu benar-benar menekankan perlunya saya memiliki seperangkat keterampilan defensif," jelasnya.
Sekitar 6,6 persen dari populasi AS diidentifikasi secara etnis dari Asia, dan, meskipun tidak ada statistik nasional yang pasti, para pengamat industri senjata mengatakan bahwa komunitas tersebut secara tradisional kurang terlibat dengan senjata dibandingkan komunitas-komunitas lain.
Alex Nguyen dari Pusat Hukum Giffords untuk Pencegahan Kekerasan Bersenjata mengatakan, meningkatnya masalah keamanan -- banyak di antaranya terkait dengan pandemi dan meningkatnya kejahatan rasial anti-Asia -- telah menyebabkan lonjakan pembelian senjata di kalangan kelompok minoritas ini.
Lebih dari 27 persen toko senjata melaporkan mendapatkan lebih banyak konsumen Asia pada tahun 2021, menurut data terbaru dari National Shooting Sports Foundation, sebuah yayasan olahraga menembak. “Orang-orang Amerika keturunan Asia merasa ketakutan dan mereka membeli senjata karena perasaan kurang aman dan adanya prasangka rasial,” kata Nguyen.
David Liu, pemilik took senjata Arcadia Firearm & Safety tidak membantah itu. Tapi ia mengatakan, jumlah pembelian senjata secara total tidak meningkat.
"Setelah penembakan massal, kami tidak melihat banyak orang datang dan membeli senjata karena alasan itu, tetapi kami mendapat lebih banyak pertanyaan, dan orang-orang bertanya bagaimana cara mengajukan CCW, izin membawa senjata secara tersembunyi," jelasnya.
Bagi banyak orang Amerika keturunan Asia, menurut Tom Nguyen, instruktur senjata di sekolah menembak Progressive Shooters, senjata api bukanlah bagian dari proses bagaimana mereka dibesarkan.
Dua tahun lalu, ia mendirikan sekolah itu untuk orang-orang yang ingin belajar menggunakan senjata, tetapi sempat terintimidasi oleh suasana lapangan tembak yang dipenuhi orang-orang berkulit putih dan konservatif.
Sekolah itu sukses dan berkembang pesat. Dari 600 siswa yang ia miliki sekarang, sekitar sepertiganya keturunan Asia.
Ia mengatakan, tragedi seperti Monterey Park dan Half Moon Bay meningkatkan minat orang pada apa yang dilakukannya dan meningkatkan jumlah pendaftaran.
“Berdasarkan pengalaman, setiap kali ada penembakan massal, bisnis saya meningkat, minat terhadap senjata meningkat, karena banyak orang merasa seperti 'Saya tidak ingin menjadi rentan. Saya tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang rentan saat seseorang menyerang saya dengan senjata.' Jadi saya kira akan ada lebih banyak orang Amerika keturunan Asia yang ingin belajar tentang senjata karena penembakan massal ini," komentarnya. (ab/lt)/AFP/voaindonesia.com. []