Jakarta - Serangan siber atau pencurian data pribadi sulit diatasi hingga saat ini. Kebocoran data begitu banyak, tetapi masyarakat idak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi.
"Karena itulah, Undang-undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020-2021," kata pakar keamanan siber Pratama Persadha dalam keterangannya, Jumat, 24 Desember 2021.
Selain itu, ancaman ransomware juga akan terus tumbuh. Pratama memperkirakan serangan ini akan meningkat di industri kritis di mana membayar penjahat siber terpaksa dilakukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan data demi keberlangsungan institusi atau perusahaannya.
Berdasarkan tren global yang ada dengan melihat pola penyerangan dan inovasi teknologi yang terus berubah , maka serangan ransomware diprediksi bakal meningkat di tahun 2022.
"Kerentanan perangkat IoT yang kemungkinan akan menambah ancaman terhadap keamanan siber. Kita sudah melihat serangan ransomware ke perusahaan pipa minyak Amerika pada awal Mei. Ini merupakan salah satu serangan siber paling massif di tahun ini," ujar Pratama yang juga chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.
Colonial Pipeline, operator jaringan BBM terbesar AS, terpaksa membayar uang tebusan 5 juta dolar AS setelah terkena serangan siber ransomware juga mencuri hampir 100 GB, dan pelaku mengancam akan merilisnya ke internet kecuali uang tebusan dibayarkan. Serangan itu memicu krisis energi sementara, juga perusahaan menghentikan operasi pipa selama beberapa saat.
“Di tahun 2022 adopsi pada cloud meningkat tajam. Penyedia jasa cloud harus mempersiapkan diri menjadi target serangan seiring dengan semakin masifnya migrasi industri dan pemerintah ke cloud. Jadi mau tidak mau standar keamanan dan SDM harus ditingkatkan,” kata Pratama.
Pratama menambahkan, peristiwa seperti bocornya data institusi pemerintah dari Polri, BPJS Kesehatan,e-HAC, dan banyaknya peretasan pada web pemerintah. Contohnya Setkab DPR diharapkan bisa ditekan pada tahun mendatang, sehingga meningkatkan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia. Karena itu, Pratama menggarisbawahi, pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi selesai segera pada 2022.
“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada 2021, tapi hingga saat ini masih belum tampak untuk disahkan," ujarnya.
Kendalanya, karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo. Kemenkominfo sendiri masih bersikeras untuk Komisi PDP berada di bawah Kementeriaan Kominfo, sedangkan Komisi 1 DPR serta elemen masyarakat termasuk CISSReC ingin Komisi PDP berdiri sendiri seperti Komisi negara lainnya.
Belum lagi isu Metaverse, Menurut Pratama, ini menjadi tantangan serius, apakah negara punya cukup regulasi untuk mengatur metaverse nantinya. Karena metaverse ini seperti tanah wilayah tetapi di wilayah siber. Kemudian bagaimana regulasinya, apakah kita siap atau tidak, masih ada waktu satu hingga dua tahun untuk negara siap menghadapi ini, karena bila negara tidak siap maka masyarakat akan secara otodidak dan otomatis masuk tanpa bekal apa pun.
"Ini berbahaya sebab bisa menyedot potensi ekonomi Indonesia, transaksi terjadi di metaverse misalnya tanpa melewati negara," katanya. []
Baca Juga
- Puan: Integrasi NIK & NPWP Harus Jamin Keamanan Data Warga
- Puan: Pembukaan Pintu Bali Harus Buat Ekonomi Menggeliat
- Puan Pastikan DPR RI Siap Jadi Tuan Rumah P20 2022
- Tinjau Vaksinasi, Puan: Antisipasi Lonjakan Covid-19